DUNIA pendidikan tinggi memang memerlukan perhatian serius saat ini. Bisa dikatakan, perguruan tinggi sebagai ujung tombak sumberdaya manusia di dunia ini. Para pemimpin dan penggerak berbagai sektor: sosial, budaya, agama, politik dan ekonomi, mulai berproses dari perguruan tinggi, walaupun berkiprah dengan cara dan kreativitas masing-masing. Perguruan tinggi sebagai wadah lahirnya sumber daya manusia perlu mendapatkan prioritas dari berbagai pihak, baik pemimpin politik, aktivis masyarakat, penggerak ekonomi, dan seluruh elemen bangsa.
Saat ini kita sudah menyaksikan berhasilnya pembangunan infrastruktur yang memperlancar komunikasi, transportasi, dan fasilitas-fasiliatas lainnya. Dalam administrasi saat ini salah satu prestasi yang kasat mata dan dinikmati rakyat adalah kesuksesan pengadaan fasilitas-fasilitas umum. Prestasi immaterial lain yang patut juga disyukuri adalah stabilitas politik dan sosial disertai dengan penguatan faham moderasi yang mengeser ideologi intoleran.
Maka, sudah saatnya memberi prioritas pada sektor pendidikan tinggi guna meningkatkan daya saing bangsa ini untuk masa depan, dan terutama dalam menghadapi persaingan globalisasi yang semakin terbuka. Kuncinya, salah satunya adalah memperkokoh perguruan tinggi.
Salah satu syarat utama dalam memperkuat perguruan tinggi adalah stabilitas dan otonomi akademik kampus. Stabilitas akan menjamin lancarnya proses pendidikan formal dan informal di dalam dan luar kelas. Para dosen, para mahasiswa dan tenaga administrasi memerlukan jaminan kenyamaan dalam berkarya. Maka, otonomi akademik juga merupakan agenda tidak kalah pentingnya.
Salah satu upaya penguatan akademik dalam kampus adalah mengurangi imbas dinamika sosial dan politik dalam menjaga kreativitas dan etos kecendikiawanan. Khusus tentang stabilitas perguruan tinggi dalam lingkungan Kementerian Agama Republik Indonesia diatur dalam Peraturan Mentri Agama (PMA) 68 yang mulai berlaku sejak tahun 2015. Salah satu dari dampak positif dari pemberlakuan PMA 68 itu adalah berkurangnya getaran dinamika kepentingan lokal dari berbagai kelompok di masing-masing kampus.
Penulis baru menemukan satu penelitian saja yang diadakan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementrian Agama tahun 2019 tentang kondisi itu. Penelitian itu pun belum dipublikasikan dalam bentuk artikel jurnal.
Salah satu temuan penelitian itu pada 10 kampus perguruan tinggi di bawah Kementrian Agama adalah proses pemilihan kepemimpinan dan imbasnya pada kenyamanan, stabilitas, dan pengurangan dampak dinamika kepentingan-kepentingan lokal. Dari sisi aspek tata kelola adalah sikap leluasa para pimpinan, karena sederhananya proses dan leluasanya otoritas pimpinan, dalam mengakomodasi kepentingan yang berbeda, atau berseberangan.
Studi menunjukkan sikap positif dari pimpinan untuk merangkul dan bersikap lebih bijak dalam meredam gejolak lokal. Dalam suasana demikian stabilitas diciptakan secara bersama-sama. Dengan begitu kegiatan tridharma perguruan tinggi: pengajaran, penelitian dan pengabdian, bisa dilaksanakan dengan lebih tenang.
Idealnya perguruan tinggi adalah tempat produksi ilmu pengetahuan. Hal-hal selain dari itu bukan prioritas. Kenyataannya, pengelolaan perguruan tinggi tidak sederhana, dan sangat berbeda dengan pendidikan jenjang dasar, menengah dan atas. Pengelolaan sekolah pada level-level itu sedikit menyinggung berbagai dinamika politik lokal. Pengajaran masih sederhana, dan relasi antar guru dan murid tidak serumit di perguruan tinggi. Persoalan dinamika lokal di perguruan tinggi memerlukan sikap dewasa, bijak, dan waskita.
Pemimpin tidak selalu mendikte yang dibawahnya, tetapi harus seperti korporasi zaman globalisasi. Relasi antar pimpinan tidak bisa semata-mata relasi kuasa, tetapi lebih kolegial dan rasional. Antar kelompok yang berbeda, baik pandangan, ideologi, mazhab dan organisasi, harus saling menahan diri dan menghargai agar damai dicapai. Dengan perdamaian, kegiatan belajar-mengajar, penelitian dan pengabdian lebih nyaman. Itu semua harus dilakukan secara bersama-sama, karena kampus adalah milik semua yang terlibat. Itu tidak mudah. Tetapi dengan usaha keras saling memahami antar kolega, semua mungkin dicapai.
PMA 68 telah berkontribusi pada penyederhaan proses. Beberapa kampus, menurut studi Puslitbang tadi, terbukti lebih stabil. Memang beberapa kampus dalam studi itu mempunyai akar sejarah tensi lokal dan internal. PMA 68 berperan dalam menahan melebar dan naiknya tensi dan temperatur.
Tentu ada beberapa kasus pasca PMA 68, karena tidak bisa dipukul rata begitu saja, yang masih memperlihatkan dinamika lokal. Patut dicatat satu rumus memang tidak bisa diterapkan di tempat lain, karena itu hukum ilmu sosial. Masing-masing daerah mempunyai kondisi yang berbeda. Faktor etnisitas, budaya, tradisi, dan pengalaman masing-masing kampus berbeda. Kedewasaan bersikap dan waskita bisa dipelajari dari satu kampus ke kampus lainnya. Bagaimana cara menerapkan nilai-nilai itu bersifat kondisional dan situasional.
Pekerjaan rumah kampus masih banyak. Peningkatan riset, publikasi jurnal, ketepatan kurikulum, beban SKS mahasiswa, dan lain-lain masih menanti. Kebetulan kampus Penulis, UIN Sunan Kalijaga, mengalami akreditasi internasional, sarana yang baik untuk belajar tata kelola dan bercermin ke kampus luar Indonesia.
Beberapa saran dari badan akreditasi internasional seperti FIBAA (
Foundation for International Business Administration Accreditation) tertuju pada ketepatan kurikulum, tata kelola yang lebih efisien dan sederhana, sarana, bobot riset, dan kesadaran semua pihak tentang hasil luaran (
outcome dan output). Begitu juga saran dari AUN-QA (
Asian University Network-Quality Assurance) tentang proses belajar yang sesuai dengan kebutuhan dan target. Kemandirian dan masa depan alumni menjadi catatan tersendiri.
Tidak kalah pentingnya adalah etika, termasuk akhlaq (
character building), di dalam kampus. Kampus adalah tempat produksi pemimpin. Akhlak harus kita utamakan. Para pengajar dan pimpinan harus berusaha menunjukkan etika itu agar menjadi suri tauladan para mahasiswa. Etika termasuk etos, mental, dan integritas yang semua bersifat dinamis harus dibentuk secara bersama-sama.
Jika negeri kita saat ini masih disoroti kualitas demokrasinya, kampus pun harus juga merasa bertanggung jawab menyediakan manusia yang menopangnya. Beberapa negara maju di Barat menggunakan sistem demokrasi yang berbeda. Jerman dan Inggris tidak memilih kanselir atau Perdana Mentri secara langsung.
Amerika, seperti Indonesia, menganut pemilihan langsung dengan presidentiel. Inggris melahirkan Rishi Sunak, Amerika Barack Obama, dan Jerman Angela Merkel. Sistem apapun harus disertai dengan berlakunya etika, akhlaq, dan komitmen integritas pemimpin dan rakyat.
Begitu juga dengan kampus. Sistem apapun yang dipilih pasti mengandung plus dan minus. Akibat dari sistem tentu ada, tidak ada yang sempurna. Keterbukaan kita untuk belajar agar menjadi bijak dan waskita dibutuhkan demi terjaminnya suasana yang kondusif bagi pengerjaan tugas-tugas yang banyak menanti: ketepatan kurikulum, finansial, otonomi akademik, kualitas riset, publikasi, pengabdian, jejaring global, penyederhaan birokrasi, dan masih banyak lagi. Kampus adalah tempat belajar bersama.
Penulis adalah Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta