Presiden China Xi Jinping/Net
Seruan Presiden China Xi Jinping untuk menyatukan Budhisme di Tibet dan Islam di Xinjiang dengan aturan komunis dinilai sebagai sebuah guyonan.
Pasalnya bukan hanya sulit untuk diimplementasikan, melainkan juga akan melanggar hak-hak mereka dalam menganut kepercayaan.
Dalam pidatonya di acara Simposium Pusat ke-7 di Tibet pada 29 Agustus 2020, Xi berkata jika Budha Tibet harus dibimbing untuk beradaptasi dengan masyarakat sosialis dan harus dikembangkan dalam konteks China.
Kemudian pada 16 Juli lalu, dalam kunjunganya ke Xinjiang, Xi meminta para pejabat di sana untuk menegakkan prinsip bahwa Islam dan agama-agama di China harus beradaptasi dengan masyarakat sosialis dan Partai Komunis China (PKC).
Dimuat
ANI News pada Sabtu (22/10), seorang pengamat menyebut PKC dengan tindakan represifnya memang sangat mungkin membuat Islam dan Buddha jatuh ke dalam barisan mereka, tetapi tidak dengan hati dan pikiran mereka.
Menurut pengamat, bobot fakta terlalu berat untuk merealisasikan keinginan para pemimpin PKC untuk membentuk Buddhisme dan Islam, dua agama terbesar di dunia, agar sesuai dengan kerangka partai dinilai terlalu ambisius.
Buddhisme saat ini adalah salah satu agama terbesar di dunia, dengan sekitar 400 juta pengikut. Sementara Islam adalah komunitas agama terbesar kedua di dunia, dengan perkiraan 1,8 miliar pengikut.
Sebaliknya, pada tahun 2022, PKC hanya memiliki keanggotaan 96 juta. China sendiri berpenduduk 1,4 miliar. Dengan demikian, bahkan tidak sampai 10 persen orang China menjadi anggota PKC.
Oleh karena itu, kemungkinannya terlalu berat bagi PKC untuk mengalahkan baik Buddhisme atau Islam di masa depan.
Meski begitu, PKC tak henti-hentinya memaksaan tujuan tersebut melalui serangkaian tindak pemaksaan.
Pihak berwenang China telah menghancurkan biara-biara, institut Buddhisme, dan patung-patung Buddha belakangan ini. Yang paling terkenal adalah penghancuran Larung Gar pada Juli 2016 yang institut Buddhisme Tibet terbesar di dunia.
Selain itu, China juga dilaporkan telah melakukan penindasan terhadap komunitas Uighur penganut agama Islam di wilayah Xinjiang melalui penahanan paksa, pembatasan agama, kerja paksa hingga sterilisasi paksa untuk mengurangi angka keturunan.