Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai/Net
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mengaku tidak mempersoalkan penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe (LE). Akan tetapi, dia mempersoalkan pernyataan dari pemerintah, dalam hal ini Menko Polhukam Mahfud MD dan PPATK.
Hal itu disampaikan oleh Pigai di acara iNews Room berjudul "Lukas Enembe Mangkir Lagi" yang disiarkan langsung pada Senin sore hingga petang (26/9).
Mantan Komisioner Komnas HAM ini mengatakan, semua proses hukum adanya ketaatan hukum berdasarkan asas formil, mengingat Indonesia menganut negara hukum.
"Karena itu kalau dilihat secara umum, penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK atas Rp 1 miliar gratifikasi UU Tipikor kemudian dikenakan Pasal 5. Saya kira itu wajar-wajar saja," ujar Pigai seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Senin petang (26/9).
Pigai pun tidak mempersoalkan ketika aparat penegak hukum melakukan proses hukum jika menemukan adanya indikasi kerugian negara.
"Saya kira setiap warga negara dari Sabang sampai Merauke memiliki kewajiban asasinya. Tentu penegak hukum menghormati hak asasi warga negara. Karena itu kita menghormati semua ketika proses hukum yang dilakukan oleh KPK secara independen, secara profesional, secara jujur, secara adil," kata Pigai.
Pigai mengaku bahwa dirinya satu di antara sedikit aktivis yang selalu bersama KPK. Baik ketika KPK digoncang hingga saat ini dan selamanya. Namun, Pigai mempersoalkan ketika pemerintah ikut campur dalam proses penegakan hukum.
"Tetapi menjadi persoalan yang serius itu ketika Menko Polhukam melakukan konferensi pers, kemudian PPATK juga menyampaikan informasi tentang dugaan. Menko Polhukam konferensi persnya itu di situ ada angka-angka yang disebut dan nama Pak Lukas disebutkan. Kan etikanya tidak boleh. Inisial saja cukup gitu," jelas Pigai.
"Apalagi PPATK, saya tidak tahu apakah ada aturan di PPATK yang ketika ditemukan indikasi ada dugaan transaksi yang janggal, kemudian angkanya disebut dan nama orangnya disebut, saya kira bukan melanggar HAM, melainkan melanggar hukum dan kode etik. Karena gini, itu rahasia negara, termasuk rahasia itu dokumen dan tidak boleh," sambung Pigai menutup.