Mantan Menteri Keuangan RI Fuad Bawazier/Net
Pemerintah Indonesia diharapkan tidak gegabah dalam mengeluarkan kebijakan di tengah situasi sulit saat ini, terlebih menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan suku bunga.
Mantan Menteri Keuangan RI Fuad Bawazier mengingatkan, banyak negara runtuh akibat salah mengambil langkah soal ekonomi nasional.
Dia kemudian terkenang ketika peristiwa krisis moneter (krismon) yang terjadi pada tahun 1999/1998. Kala itu, pemerintah menaikkan suku bunga atas dasar saran dari IMF. Bank Indonesia dan pejabat ekonomi di pemerintah serta penasihat ekonomi termakan iming-iming IMF untuk menaikkan suku bunga.
“Kecuali saya yang bersurat kepada Presiden Soeharto, tidak setuju. Saya kalah suara dan bunga BI dinaikkan gila-gilaan atas saran IMF, dan kurs rupiah tetap tidak terkendali. Itulah jebakan IMF saat itu, 1998,†tegas Fuad kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (1/9).
Setelah berhasil menaikkan suku bunga, kata Fuad, IMF langsung ke langkah berikutnya, yaitu menaikkan harga BBM.
"Kembali saya juga tidak setuju, tetapi kalah suara sehingga Presiden Soeharto menaikkan harga BBM yang kemudian kita tahu tak lama setelah itu Presiden Soeharto juga lengser,†katanya.
Saat ini, Fuad merasakan peristiwa yang sama ketika dirinya menjadi menteri keuangan, dengan tidak menaikkan suku bunga oleh Bank Indonesia, tapi pemerintah seakan-akan tergoda oleh IMF untuk menaikkan BBM.
"Kembali ke tahun 2022. Setelah gagal menaikkan suku bunga, kini pemerintah menyuarakan kenaikan harga BBM sama seperti tahun 1998. Kali ini saya tidak tahu apakah atas saran IMF melalui tangan-tangannya di Indonesia atau bukan,†katanya.
Menurutnya, kenaikan BBM di tengah situasi serba sulit saat ini, belum tepat dilakukan karena akan memantik inflasi yang cukup besar bagi Indonesia.
"Kenapa kita yang sebenarnya relatip sudah selamat dari gelombang inflasi dunia malah mau atau ingin menjadikan Indonesia ikut di barisan inflasi dunia,†demikian Fuad.