Berita

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (IRESS) Marwan Batubara/Net

Publika

Listrik Terancam Padam: Rakyat Melawan Oligarki Kekuasaan (2)

SELASA, 16 AGUSTUS 2022 | 22:32 WIB | OLEH: MARWAN BATUBARA

UNTUK mengantisipasi terulangnya krisis pasokan batubara yang dapat berdampak padamnya listrik puluhan juta pelanggan seperti terjadi pada awal 2022, pemerintah telah menerbitkan Kepmen ESDM 13/2022 dan berencana membentuk Badan Layanan Umum (BLU) Batubara.

Dengan terus meningkatnya harga batubara global, tampaknya pemadaman listrik bisa terjadi. Sebab, para pengusaha batubara mengutamakan ekspor dibanding memenuhi kewajiban DMO, sementara aturan pengaman pasokan batubara PLN tak memadai.

Payung hukum implementasi BLU yang rencananya terbit Juli 2022, hingga sekarang tak jelas statusnya. Di sisi lain, Kepmen ESDM 13/2022 yang bertujuan mengamankan pasokan PLN berapa pun kenaikan harga batubara global (ceiling price 70 dolar AS/ton), ternyata memuat ketentuan bernuansa moral hazard. Kepmen 13/2022 telah menyediakan “celah” bagi pengusaha untuk bisa ekspor batubara tanpa memenuhi kewajiban DMO 25 persen.

Moral hazard payung hukum BLU

Setelah digagas Menko Marves LBP enam bulan lalu, BLU Batubara belum juga jalan. Keterlambatan bisa saja karena konsep BLU oleh KESDM tidak sama dengan yang semula digagas LBP. Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan pembentukan BLU Batubara masih dibahas. Dikatakan izin prakarsa masih dibahas dan diperlukan penjelasan tambahan (9/8).

Sebelumnya, pada diskusi publik Majalah Tambang di Jakarta, Kamis (4/8), Staf Khusus Menteri ESDM Irwandy Arif mengatakan usul draft Perpres BLU sudah disampaikan ke Kemenkeu.

Dikatakan, usul tersebut telah ditanggapi dan disebutkan (oleh Kemenkeu atau entah siapa) akan dirubah menjadi Peraturan Pemerintah (PP). Kata Irwandy, akan butuh waktu lebih lama jika dasar hukum BLU berbentuk PP.

IRESS mencurigai ada upaya mengulur waktu, sebab dalam enam bulan terakhir, harga batubara global tetap tinggi (harga Newcastle (15/8) 407 dolar AS/ton). Dalam diskusi publik Majalah Tambang di atas (4/8), IRESS menyatakan payung hukum BLU cukup dengan Perpres. Sebab untuk BLU ekspor CPO dan program Biodiesel B30, payung hukum yang digunakan hanya berupa Permen, yaitu antara lain PMK 113/2015.

Ternyata Komisi VII DPR pun telah bersikap. Dalam Rapat Kerja dengan Menteri ESDM (9/8), Komisi VII meminta pemerintah segera merealisasikan pembentukan BLU Batubara dengan payung hukum Perpres. Karena itu, jika Perpres BLU yang telah diusulkan dan dibahas sejak Maret 2022 dan dibahas kembali Mei 2022 tak kunjung terbit, maka kredibilitas pemerintah bermasalah.

Peraturan yang diterbitkan sendiri dipersoalkan?

Dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, harga batubara yang naik membuat para pengusaha mengutamakan ekspor guna mengejar untung besar. Sehingga industri dalam negeri, termasuk PLN mengalami kekurangan (9/8). Dikatakan, pinalti bertarif rendah bagi yang tidak memenuhi kewajiban DMO, menyebabkan para pengusaha memilih membayar kompensasi dibanding memasok PLN (70 dolar AS/ton).

Kata Arifin: "Untuk itu ada kecenderungan menghindari kontrak dengan industri dalam negeri. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dibentuk BLU Batubara”.

Padahal, sebelum BLU dibentuk pun, jika peraturan yang disusun memadai dan bebas moral hazard, maka masalah kekurangan pasok tidak akan terjadi. Yang jadi masalah, kenapa Arifin mempertanyakan aturan kompensasi yang rendah, padahal aturan tersebut, yakni Kepmen ESDM 13/2022), pejabat pemerintah yang menandatangani adalah Menteri ESDM sendiri?

Beberapa ketentuan termuat dalam Kepmen 13/2022 antara lain: 1) Perusahaan yang berkontrak dengan PLN akan terkena pinalti, denda sebesar harga pasar ekspor (misalnya 400 dolar AS) dikurangi harga DMO 70 dolar ASper ton. Jika kalori batubara yang dibutuhkan PLN 4600 kcal/kg, maka diperkirakan besarnya denda sekitar 188 dolar AS per ton; 2) Penambang yang tidak berkontrak dengan PLN walaupuan spesifikasi batubaranya sesuai kebutuhan PLN, hanya dikenai pinalti berupa kompensasi yang sangat rendah. Besaran kompensasi, tergantung nilai kalori, berkisar antara 15-25 dolar AS per ton (untuk kalori berkisar antara 4000-6000).

Ketentuan Kepmen ESDM 13/2022 jelas sangat tidak adil dan sarat moral hazard. Sebab, justru mengorbankan para penambang yang patuh berkontrak dengan PLN, termasuk BUMN/PTBA, namun sekaligus memberi untung besar bagi yang tidak berkontrak dengan PLN.

Bahkan, setelah melanggar hukum atas kewajiban DMO, sanksi hukumnya pun diperhalus dengan istilah “kompensasi”. Konon “kompensasi” yang dibayar perusahaan oligarkis tersebut malah tidak pula masuk ke APBN. Dana kompensasi yang tidak masuk APBN bisa dipakai mendanai kepentingan melanggengkan kekuasan oligarkis.

Di sisi lain, perusahaan-perusahaan yang patuh DMO, justru dikorbankan. Mereka harus menjual dengan harga DMO (70 dolar AS), kehilangan kesempatan menikmati harga global yang tinggi, dan bahkan terpaksa menjual dengan volume lebih dari 25 persen kewajiban DMO.

Ternyata Kementrian ESDM pun tidak menerapkan kewajiban DMO 25 persen secara pro-rated kepada seluruh perusahaan batubara sesuai volume produksi (dan bobot harganya), serta tidak pula menerapkan “settlement” yang berkeadilan terhadap seluruh perusahaan tersebut di akhir tahun.

Artinya, para kontraktor pembangkang DMO “dibiarkan” melenggang menikmati untung besar, sedangkan yang patuh justru didesain untuk buntung, bahkan tidak memperoleh kesempatan “settlement” melalui kewajiban DMO pro-rated yang berkeadilan. Termasuk yang buntung adalah Badan Usaha Milik Negara, PTBA.

Kembali ke pernyataan Arifin Tasrif tentang “sanksi yang rendah” di atas, tampaknya Arifin mengalami fenomena “I did not read what I signed”. Meskipun sangat kecil kemungkinannya, rakyat bisa berspekulasi kalau Arifin sedang berpura-pura.

Atau bisa juga telah terjadi penyeludupan “narasi” oleh oknum-oknum pro oligarki, sehingga beberapa ketentuan Kepmen ESDM 13/2022 menyediakan “celah” bagi para pengusaha oligarkis tetap bisa ekspor tanpa kewajiban DMO, cukup dengan membayar kompensasi alakadarnya.

Apa pun yang menjadi motif di balik ketidakadilan Kepmen 13/2022, pemerintah dan terutama Menteri ESDM harus bertanggungjawab. Jika Menteri ESDM serius mengatasi masalah, Menteri ESDM pun bisa saja segera menerbitkan koreksi/adendum atas Kepmen 13/2022 yang disebut Arifin sendiri bermasalah. Selain itu Presiden Jokowi harus membuktikan kemampuan dan otoritas melawan oligarki dan menertibkan Menteri ESDM.

Uraian di atas menunjukkan oligarki sedang beraksi menikmati untung besar dari naiknya harga batubara global secara egois, melanggar prinsip keadilan, dan mengangkangi konstitusi, Pasal 33 UUD 1945. Untuk itu, penerbitan BLU terus diulur-ulur dan peraturan berbau busuk bernama Kepmen 13/2022 tetap dipertahankan.

Para pejabat dan lembaga terkait yang mengatur hajat hidup orang banyak, sekaligus berpotensi membuat aliran listrik puluhan juta pelanggan padam, justru bersandiwara dan tidak merasa penting untuk menerbitkan aturan yang legal, adil, konstitusional, berkelanjutan dan memihak rakyat.

Akhirnya, tulisan kedua ini ingin mengingatkan pemerintah, terutama Kementrian ESDM dan Presiden Jokowi untuk memihak negara dan rakyat. Saat ini akibat ulah oligarki, diperkirakan stok batubara PLN hanya berkisar 50 persen dari yang seharusnya. BUMN batubara pun dirugikan.

Jika langkah korektif dan preventif tidak segera diambil pemadaman listrik bisa saja terjadi, bahkan saat berlangsungnya Sidang G20, Oktober 2022. Berhentilah memihak atau menjadi bagian dari oligarki.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (IRESS)

Populer

UPDATE