PEMERINTAH Indonesia dan DPR RI terus mendorong agar RKUHP (Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana) dapat disahkan di tahun 2022 ini. Di satu sisi yang lain, sejumlah penolakan dari masyarakat sipil terhadap draf RKUHP tersebut masih terus berlangsung hingga kini baik dalam bentuk aksi demonstrasi di jalanan maupun melalui tulisan konten-konten kampanye publik di media sosial.
Salah sekian alasan penolakannya adalah karena di dalam substansi RKUHP masih menyertakan pengaturan Living Law yang dianggap sebagai perluasan Asas Legalitas sebagaimana termaktub di dalam Pasal 2 ayat 1 dan 2 RKUHP, dan ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, penghukuman yang sewenang-wenang, dan akan berdampak pada masifnya praktik pelanggaran HAM terhadap warga sipil.
Rumusan "Asas Legalitas 2.0 RKUHP" secara substansial menyatakan bahwa seseorang dapat dipidana akibat perbuatan yang ia lakukan, meskipun tidak ada aturan tertulis yang mengatur perbuatan tersebut sejauh perbuatan itu dianggap bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat (Living Law).
Dengan rumusan substansi seperti ini, sebagian besar kelompok masyarakat, intelektual hukum, maupun praktisi hukum merasa keberatan terhadap perluasan Asas Legalitas Hukum Pidana di dalam RKUHP, mengingat bila substansi aturan tersebut diberlakukan maka akan potensial menimbulkan praktik persekusi dan main hakim sendiri atas nama penegakan "nilai yang hidup di masyarakat".
Di satu sisi yang lain terdapat kontradiksi tersendiri, dimana penggunaan istilah "nilai yang hidup di masyarakat" juga bermasalah secara rumusan dan eksistensinya, mengingat tidak ada indikator yang jelas untuk menentukan sebuah nilai hidup di masyarakat atau tidak, serta tidak ada juga institusi berdaulat yang cukup legitimate untuk menentukan apakah sesuatu tersebut merupakan sebuah nilai yang hidup di masyarakat atau tidak.
Selama ini apa yang dimaksud sebagai Asas Legalitas hukum pidana modern atau The Principle of Legality seperti yang tertuang di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan sebagaimana berikut: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah adaâ€.
Secara teoritis, Asas Legalitas ini juga dapat dilihat dari adagium legendaris Von Feuerbach (ahli hukum pidana Jerman) yang menyebutkan “
nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenaliâ€, dimana artinya adalah: “tidak ada tindak pidana (delik) dan tidak ada hukuman, tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinyaâ€.
Bila ditelaah secara seksama, keberadaan asas legalitas ini mengandaikan jika penghukuman terhadap suatu perbuatan haruslah berdasarkan aturan perundang-undangan yang ada, dimana perbuatan seseorang tidak dapat diadili ataupun diberi sanksi, sejauh perbuatan tersebut tidak diatur dalam sebuah aturan hukum perundang-undangan pidana secara tertulis.
Dengan adanya dasar hukum peraturan perundang-undangan secara tertulis, maka penghukuman terhadap seseorang dapat dikatakan memiliki legitimasi yang jelas, karena aturan hukum tersebut eksis secara resmi lewat produk hukum yang jelas dan diterbitkan oleh institusi kekuasaan yang berwenang dalam hal ini Negara. Ia eksis untuk menjamin adanya kepastian hukum, serta mencegah terjadinya praktik penghukuman yang sewenang-wenang yang dilakukan oleh pejabat aparat penegak hukum.
Secara historis, asas legalitas Hukum Pidana Modern lahir seiring pasca runtuhnya kekuasaan otoritarianisme di Eropa pada kisaran Abad 17-18 Masehi, termasuk pasca Revolusi Perancis 1789-1799. Pada era sebelumnya, apa yang disebut sebagai hukum ditentukan berdasarkan ucapan, titah, atau kekuasaan Raja. Titah Raja tersebut bersifat mutlak dan dengan sendirinya menjadi Hukum itu sendiri. Raja dapat dengan mudah menentukan hukum dan sanksi terhadap seseorang yang melakukan tindakan tertentu, sekalipun hukum tersebut sebenarnya tidak pernah ada sebelumnya secara tertulis ataupun tidak diatur secara jelas.
Praktik seperti inilah yang kemudian kerap menimbulkan kekuasaan negara sangat abusif dan warga menjadi korban dari kesewenang-wenangan penguasa. Penghukuman hanya didasarkan pada pertimbangan suka-tidak suka dan peneguhan dominasi kuasa politik semata. Kondisi inilah yang kemudian menjadikan sebagian banyak sarjana hukum pada saat itu merumuskan ulang kembali landasan berhukum dunia modern agar lebih pasti, rasional dan berkeadilan dengan merumuskan Asas Legalitas. Terdapat beberapa argumen mengapa kemudian Asas Legalitas lahir di kemudian hari.
Pertama, asas legalitas adalah inti-jantung dari keberadaan hukum modern, dimana hukum modern dibangun berdasarkan semangat rasionalisme dan positivisme. Salah satu prinsip rasionalisme dan positivisme dalam hukum modern adalah bahwa segala sesuatu yang diatur di dalam hukum harus memiliki alasan yang jelas, masuk akal dan diterima sebagai nalar rasional umum (
common sense) yang universal, serta apa yang terkandung di dalam hukum tersebut harus terukur serta dapat dibuktikan secara pasti.
Kedua, mengingat ada elemen nalar rasional umum atau common sense yang mesti melekat di dalam hukum, maka apa yang diatur di dalam hukum harus mengesampingkan anasir-anasir yang sifatnya subjektif dan partikular, baik itu moral komunitas tertentu, maupun favoritisme identitas tertentu berdasarkan kategori suku, ras, agama, bangsa, ideologi, dan sebagainya. Pengesampingan anasir subjektif dan partikular ini diupayakan dalam hukum modern agar hukum yang dibentuk dapat mewujudkan objektifitas dan dalam penerapannya bersifat imparsial (tidak memihak), sehingga hukum yang ditegakkan berjalan secara fair dan tidak sewenang-wenang.
Ketiga, asas legalitas juga merepresentasikan semangat kebebasan sipil, dimana setiap orang pada dasarnya memiliki kebebasan untuk melakukan tindakan apapun sejauh tidak ada aturan hukum tertulis yang melarangnya. Kebebasan ini bagian dari hak asasi manusia, karena hanya dengan kebebasanlah manusia dapat mengangkat derajat harkat dan martabatnya sendiri, serta dapat mengaktualisasi potensialitas dirinya ke tingkatan yang lebih tinggi secara maksimal. Semua hak-hak asasi maupun aktivitas hanya bisa digunakan dan dilakukan oleh manusia sejauh manusia itu sendiri memiliki kebebasan bertindak pada dirinya.
Negara bisa saja melakukan pembatasan kebebasan manusia dalam aspek tertentu pada aktivitas manusia, sejauh aktivitas manusia tersebut ternyata berpotensi mendegradasi kebebasan dan hak asasi orang lain. Namun yang jelas, pembatasan tersebut harus proporsional, rasional, terukur, dan tertuang dalam produk aturan hukum yang jelas secara tertulis.
Aturan hukum tertulis mengenai perbuatan pidana tertentu, larangannya, dan sanksinya yang tertuang di dalam hukum pidana misalnya, pada dasarnya merupakan aturan hukum yang berupaya membatasi kebebasan manusia dalam aspek-aspek tertentu karena dianggap membahayakan kepentingan publik dan berpotensi menimbulkan dampak kerugian. Inilah yang kemudian disebut sebagai alasan perlindungan hukum pidana.
Meski ada alasan ideal perlindungan hukum pidana, dimana hukum pidana hadir untuk mencegah kerugian yang ditimbulkan dari dampak tindakan, akan tetapi pembuktian akan dampak beserta kerugiannya harus dapat diukur secara jelas dan terdapat kausalitas antara perbuatan yang diatur atau dilarang dengan dampak yang ditimbulkan.
Dengan pemberlakukan hukum pidana tersebut, maka publik merasa dilindungi dan lewat penegakan hukum, serta negara dapat mencegah potensi kerusakan serta kerugian yang ditimbulkan akibat adanya tindakan-tindakan yang merugikan publik tersebut.
Karena aktivitas serta asumsi potensi kerugian terhadap publik yang diatur di dalam hukum pidana harus ditulis secara eksplisit, jelas, dan terukur, maka dalam kelanjutannya untuk membuat rumusan hukum pidana sebagaimana kerangka asas legalitas hukum pidana modern, wajib merujuk prinsip-prinsip turunan asas legalitas sebagaimana berikut ini:
Pertama, aturan hukum pidana harus dalam bentuk tertulis dan seseorang tidak boleh dipidana hanya karena berdasarkan hukum kebiasaan (
nullum crimen nulla poena sine lege scripta/lex scripta). Artinya, hukum pidana tidak boleh tidak tertulis, dan seseorang tidak bisa dipidana karena perbuatannya bertentangan dengan hukum kebiasaan -yang pada umumnya tidak tertulis- termasuk apa yang disebut sebagai "
living law". Dari sini dapat dilihat jika hukum pidana itu sendiri sudah selalu harus tertulis.
Kedua, rumusan ketentuan pidana harus jelas (
nullum crimen nulla poena sine lege certa/lex certa). Untuk itu, perlu ada konstruksi bahasa norma pidana yang ketat dalam suatu aturan hukum pidana. Implikasinya adalah segala ketentuan yang rumusan pidananya tidak jelas, bersifat “karetâ€, tidak terukur, mengawang-awang dan multitafsir sudah dengan sendirinya bertentangan dengan asas legalitas hukum pidana dan tidak memenuhi syarat sebagai aturan hukum pidana modern.
Ketiga, ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan dilarang melakukan analogi (
nullum crimen poena sine lege stricta/lex stricta). Elemen asas ini menunjukkan jika tidak boleh ada disparitas yang terlampau jauh antara teks norma pidana dengan tafsir juris/aparat penegak hukum. Hal ini untuk mengantisipasi kekacauan penafsiran hukum. Termasuk juga di dalamnya tidak boleh dilakukan analogi terhadap sesuatu perbuatan hanya karena perbuatan tersebut dianggap “mirip†dengan sifat gagasan dalam suatu teks norma ketentuan pidana.
Keempat, terhadap ketentuan pidana, tidak boleh berlaku surut (non retroaktif atau
nullum crimen nulla poena sine lege praevia/lex praevia). Artinya, hukum pidana tidak bisa mengadili perbuatan yang dilakukan di masa lampau saat sebelum diberlakukannya aturan tertulis hukum pidana tersebut. Ia hanya bisa mengadili peristiwa pidana yang terjadi setelah diberlakukannya aturan hukum pidana tersebut.
Dari elemen-elemen asas legalitas tersebut, maka dapat kita pahami jika penegakan hukum pidana mensyaratkan secara mutlak akan adanya aturan hukum pidana secara tertulis yang jelas dan ketat. Bila penegakan hukum dilakukan tanpa ada dasar hukum yang jelas, maka yang terjadi adalah kesewenang-wenangan, baik itu potensial dilakukan oleh penguasa maupun aparat penegak hukum ataupun kelompok masyarakat lainnya. Dalam penegakan hukum yang sewenang-wenang, yang tersisa adalah hukum tidak lagi menjadi panglima, melainkan kekuasaan politik dominatif saja.
*
Penulis adalah Pengacara Publik LBH Jakarta