HAJI Ona Sutra (1954-2022) baru saja pergi. Kita doakan semoga damai dengan dangdutnya di sana. Terimakasih hiburannya. Pelantun ini mengingatkan kita pada musik dangdut tempo dulu, era akhir Orde Baru dan Reformasi awal. Lagu terbayang-terbayang sebagai awal dari terkenalnya penyanyi asal Langkat Sumatera Utara itu begitu menghibur.
Lagu itu dengan syair beraturan seperti pantun Melayu, nada pelan suara melantun hampir seperti lagu gambus padang pasir atau bahkan qira’ah. Dangdut memang musik Indonesia, yaitu campuran dari berbagai unsur: ketipung, seruling, gitar dan unsur-unsur inovatif kreatif yang lainnya.
Unsur-unsur itu menggambarkan perjalanan akhir Orde Baru yang juga kreatif. Inovasi-inovasi yang menuntun bangsa kita mengadopsi teknologi dan sains yang bukan semata berasal dari budaya Indonesia, tetapi ramuan dan temuan-temuan dari bangsa asing.
Lagu terbayang-bayang dirilis Agustus tahun 1990. Era itu adalah simbol kemakmuran Orde Baru. Anak-anak lulusan SMA dan Aliyah banyak mendapatkan kesempatan kuliah di universitas di kota-kota. Urbanisasi, yang artinya semua lari ke Jakarta mencari kesempatan lebih baik, menandai pembagian kue kemakmuran masa itu.
Sayup-sayup, seperti lagu terbayang-bayang, para mahasiswa belajar menyuarakan apa itu demokrasi, hak asasi manusia, keadilan, dan nilai-nilai yang dibawakan para seniornya yang lebih dahulu menjadi aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
Dengan diiringi lagu dangdut terbayang-bayang, goyangan para mahasiswa saat itu terasa nikmat. Hiburan untuk unjukrasa waktu itu yang masih mencekam. Banyak yang merasa tembok seperti mempunyai telinga. Pohon-pohon bisa melapor. Gedung-gedung mempunyai mata untuk melihat gerak-gerik para mahasiswa. Diskusi dan kumpul-kumpul terus diintai. Arus bawah terus dicurigai dan diintimidasi.
Namun, itu malah mendewasakan para mahasiswa dan juga bangsa Indonesia. Dengan diiringi suara merdu Ona Sutra yang kadangkala lebih dulu mengalun tanpa musik, atau musiknya pelan mengikuti suara, Reformasi digerakkan.
Era 1990-an adalah tahun-tahun produktifnya Ona Sutra. Tak lama lagu Asam di Gunung Garam di Laut pun menyusul. Itu pun sukses. Para mahasiswa berjoget. Masyarakat Indonesia terhibur. Kemunculan Ona Sutra yang gondrong dengan kacamata hitamnya bersamaan dengan lajunya masyarakat Indonesia berdialog secara kolektif.
Ona Sutra menemani bangsa Indonesia belajar makna demokrasi. Ona Sutra menghibur bangsa yang belajar tentang cek dan balance, authoritarian, desentralisasi, autonomi, multi-partai, dan Pemilu langsung.
Lagu Bola dan Barcelona sama dengan goyangan pinggul, ayunan kaki dan lambaian tangan yang mengikuti irama. Lagu ini lebih ceria dibandingkan dengan Terbayang-Bayang.
Lagu Terbayang-bayang lebih melankolis, menceritakan masa lalu. Pacar lama yang telah pergi membuat Ona Sutra, Haji lain selain Rhoma Irama dalam belantara musik dangdut, menjadikan inspirasi. Bola lebih ceria. Rekaman di Youtube masih tersedia. Seperti pada masa 1990-an pedangdut pria yang memegang gitar atau mikrofon saja, diiringi dengan penari latar perempuan cantik nan ceria. Lagu Bola di video-klipnya juga begitu.
Ona Sutra cukup produktif. Tetapi dibandingkan dengan dangdut akhir-akhir ini lantunan pria Langkat ini hampir tenggelam. Wajah-wajah baru muncul dengan nada dan khas musik yang berbeda, Via Vallen, Nella Kharisma, dan lain-lain. Dangdut memang dinamis. Era 1990-an tidak bisa diulang lagi. Selera masyarakat juga berubah.
Ona Sutra juga berusaha untuk menampilkan budaya Bataknya dengan lagu Margondang Ria. Kembali ke tempat kelahiran dengan menampilkan khas etnisnya. Kita pun begitu, merasa asing dengan perkembangan dunia kita cenderung kembali ke asal muasal, identitas primordial. Itu tentu sah-sah saja, dan kadangkala memang tempat menghibur diri.
Namun, jika itu dipertajam akan berbenturan dengan identitas-identitas lain. Kita harus kompromi. Jangan sering-sering menampilkan identitas primordial lah. Cari hal-hal yang menyatukan, bukan yang memecahbelah atau membedakan golongan kita dengan golongan lain.
Dangdut mengajarkan kita banyak hal. Inovasi dan watak eklektiknya menggambarkan bangsa Indonesia yang siap meramu apa saja yang datang dari luar lalu disesuaikan dengan selera lokal.
Dangdut menerima guitar, drum, lampu laser, dan unsur-unsur jazz, rock, atau country. Penampilan para penyanyi dangdut juga begitu. Mereka tidak hanay menampilkan baju daerah, tetapi mereka juga melihat para penyanyi Barat.
Ona Sutra penampilannya cukup update, rambut panjang dan kacamata hitam. Waktu itu adalah penampilan terkeren. Saat ini penampilan pria metro seperti Korea lah yang menjadi standar. Pria tidak gagah dan bohemian seperti era 1990-an. Tetapi anak-anak muda cukup mengkilap dengan rambut rapi jali, celana agak meninggi di mata kaki dan runcing. Itulah perkembangan fashion.
Dangdut sama dengan demokrasi. Kita mempertahankan budaya sendiri, tetapi mengambil prinsip-prinsip yang telah berkembang dan diuji di negara lain. Kita tidak bisa kembali pada sistem kerajaan, perdatuan, kesultanan, kesukuan, dan sistem-sistem tradisional yang lain yang tidak demokratis.
Demokrasi kita impor dari Barat, tetapi semangat ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan kita ambil dari berbagai tradisi lisan dan oral di semua suku kita yang kaya.
Demokrasi kita perbaiki terus di negeri ini, seperti musik dangdut. Dangdut lama hanya ketipung, kendang, rebab, gitar, dan seruling. Setiap masa dangdut diperbaiki. Sinar laser, unsur jazz, pop, rock, dan music alternatif seperti koplo. Dangdut berkembang dan terbuka. Dangdut bukan sistem tertutup. Demokrasi juga begitu. Terimakasih Ona Sutra, terimaksih demokrasi.
Penulis adalah Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta