Berita

Ilustrasi/Net

Dunia

Analis: Paket Sanksi untuk Rusia Bawa Kerugian Besar untuk Uni Eropa, Jerman Paling Menderita

KAMIS, 07 APRIL 2022 | 06:51 WIB | LAPORAN: RENI ERINA

Sejumlah pengamat Tiongkok memperingatkan bahwa menjatuhkan banyak sanksi terhadap Moskow tidak akan mengakhiri krisis, tetapi justru akan membawa kerugian besar bagi Uni Eropa, terutama Jerman sebagai ekonomi UE terbesar.

Menjatuhkan sanksi seberat dan sebanyak-banyaknya kepada Rusia jelas adalah untuk menjaga agar krisis Rusia-Ukraina jauh dari berakhir. Itu adalah tujuan jelas AS.

AS akan diuntungkan paling banyak, dan ini akan menjadi ujian besar dan sulit bagi para pemimpin UE tentang bagaimana menyeimbangkan ekonomi dan menangani krisis yang sedang berlangsung, kata para pengamat.


Pernyataan tersebut datang setelah AS dan Uni Eropa mempertimbangkan lebih banyak sanksi terhadap Rusia atas dugaan "kejahatan perang" di Bucha.

UE sedang mengerjakan paket sanksi baru terhadap Rusia yang kemungkinan akan membatasi penyewaan pesawat terbang, serta impor dan ekspor produk seperti bahan bakar jet, produk baja, dan barang mewah, menurut dua sumber yang mengetahui diskusi tersebut mengatakan kepada CNBC. Eropa juga telah memberi isyarat bahwa mereka dapat memberikan sanksi kepada ekspor energi Rusia.

Rencana untuk meningkatkan sanksi telah memecah belah Barat, karena Jerman, ekonomi terbesar Uni Eropa, sangat bergantung pada impor energi dari Rusia.

Direktur Institut Urusan Internasional di Universitas Renmin China, Wang Yiwei, punya pendapat soal sikap AS dan negara-negara Barat.

"AS adalah salah satu yang tidak mau melihat sinyal positif pada negosiasi di Turki. Saat ini, dugaan 'kejahatan perang' di Bucha telah merusak tren positif menuju perdamaian. Permusuhan antara Rusia dan Ukraina, serta ketegangan antara Uni Eropa dan Rusia, muncul kembali," kata Wang, seperti dikutip dari Global Times.

"Ini membuat situasi kembali ke pedoman yang menguntungkan AS," katanya.

Pakar hubungan internasional yang berbasis di Beijing yang meminta untuk tidak disebutkan namanya berpendapat, jika UE akhirnya memutuskan untuk menjatuhkan lebih banyak sanksi terhadap Rusia, anggota UE perlu membeli energi dan senjata yang lebih mahal dari AS. Lingkungan bisnis di UE, atau zona euro, akan memburuk karena harga energi yang tinggi, meningkatnya jumlah pengungsi, dan inflasi. Bahkan bisa muncul stagflasi.

"Ini artinya sama saja melayani kepentingan AS untuk secara serius merusak baik pesaing strategisnya, Rusia!" ujarnya.

Uni Eropa dilaporkan akan mengusulkan untuk memperluas sanksi terhadap Rusia pada hari Selasa, termasuk larangan impor kayu Rusia, semen, karet, bahan kimia, kaviar, dan vodka, senilai sekitar 5 miliar euro (5,49 miliar dolar AS) per tahun. Uni Eropa juga akan melarang ekspor ke Rusia peralatan di bidang semikonduktor, mesin berteknologi tinggi dan teknologi ekstraksi LNG, menurut laporan media.

Menerapkan larangan langsung terhadap gas, minyak, atau bahkan batu bara Rusia telah menjadi topik perdebatan besar di UE sejak Rusia memulai operasi militernya di Ukraina pada Februari. Sementara beberapa negara mendukung pelarangan energi Rusia, negara-negara Uni Eropa lainnya berpendapat bahwa mereka terlalu bergantung pada energi Rusia dan sanksi akan lebih merugikan ekonomi mereka sendiri daripada ekonomi Rusia.

Eropa mengimpor 40 persen gas alamnya dari Rusia, menurut Bruegel, sebuah wadah pemikir Eropa yang berspesialisasi dalam ekonomi. Gas alam Rusia menyumbang 65 persen dari semua impor gas Jerman pada tahun 2020, dan 67 persen dari impor Finlandia, menurut Eurostat, kantor statistik UE. Semua impor gas Republik Ceko dan Latvia berasal dari Rusia.

Dihitung dengan konsumsi gas alam, Italia sekitar 40 persen bergantung pada gas Rusia. Untuk Austria, Hungaria, Slovenia, dan Slovakia, angkanya kira-kira 60 persen, dan untuk Polandia, 80 persen, menurut laporan Bruegel yang dirilis pada Februari.

Analis mengatakan bahwa tentu saja UE memiliki pilihan sumber gas alam lain, tetapi ini semua tentang harga dan waktu.

"Tanpa gas Rusia, pasokan energi UE tentu akan terganggu dalam jangka pendek. Pemasok gas alam lainnya, seperti AS dan Australia, dapat memasok gas untuk waktu yang singkat, tetapi harganya akan sangat mahal," kata Lin Boqiang, direktur Pusat Penelitian Ekonomi Energi China di Universitas Xiamen.

Gas alam AS, misalnya, dikirim ke Eropa dalam bentuk gas alam cair (LNG), yang perlu dikompres, diangkut, dan didekompresi.

Menurut Lin, UE perlu membangun infrastruktur baru untuk menerima LNG AS. Pembangunan infrastruktur akan memakan waktu paling cepat dua tahun.

Jerman dapat menghadapi krisis ekonomi terbesarnya sejak 1945 jika impor gas dan minyak Rusia dihentikan atau terganggu dalam jangka panjang. Selama ini, Jerman menerima 55 persen gas alam, 50 persen batu bara, dan 35 persen minyak dari Rusia, kata Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck pada bulan Maret.

Christian Sewing, kepala eksekutif Deutsche Bank, mengatakan bahwa situasinya akan lebih buruk jika impor atau pasokan minyak dan gas alam Rusia dihentikan. Resesi yang signifikan di Jerman kemudian hampir tidak dapat dihindari, Reuters melaporkan.

Seorang analis dari Akademi Ilmu Sosial Cina (CASS), yang memilih untuk tidak disebutkan namanya mengatakan, jika Rusia memangkas pasokan pada akhir April, kekurangan energi jangka pendek pasti akan menyebabkan resesi mendalam di Jerman dan memukul ekonomi Uni Eropa.

Uni Eropa dan AS telah memberlakukan lebih dari 6.000 sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Rusia. Cadangan devisa Rusia dibekukan dan tidak dapat memulihkan nilai rubel. Oleh karena itu, menjual gas alam Rusia dalam rubel adalah tindakan balasan, yang bekerja karena nilai rubel terus meningkat setelah terdepresiasi hampir setengahnya di pasar internasional, kata analis.

"Bagaimanapun, AS harus menjadi pemenang besar dalam ketegangan Rusia-Uni Eropa. AS telah berusaha menjual shale gas ke UE. Sebelumnya tidak dapat menjual gasnya karena harganya terlalu tinggi," kata Lin.

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

KPK Usut Pemberian Rp3 Miliar dari Satori ke Rajiv Nasdem

Selasa, 30 Desember 2025 | 16:08

Rasio Polisi dan Masyarakat Tahun 2025 1:606

Selasa, 30 Desember 2025 | 16:02

Tilang Elektronik Efektif Tekan Pelanggaran dan Pungli Sepanjang 2025

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:58

Pimpinan DPR Bakal Bergantian Ngantor di Aceh Kawal Pemulihan

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:47

Menag dan Menko PMK Soroti Peran Strategis Pendidikan Islam

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:45

Jubir KPK: Tambang Dikelola Swasta Tak Masuk Lingkup Keuangan Negara

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:37

Posko Kesehatan BNI Hadir Mendukung Pemulihan Warga Terdampak Banjir Bandang Aceh

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:32

Berikut Kesimpulan Rakor Pemulihan Pascabencana DPR dan Pemerintah

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:27

SP3 Korupsi IUP Nikel di Konawe Utara Diterbitkan di Era Nawawi Pomolango

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:10

Trump ancam Hamas dan Iran usai Bertemu Netanyahu

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:04

Selengkapnya