BARU saja saya menerima Elena Aguero yang menjabat sebagai Sekjen Club de Madrid di KBRI Madrid.
Â
Club de Madrid adalah sebuah organisasi nirlaba tingkat global yang bermarkas di Madrid. Organisasi yang kini dipimpin oleh Danilo Turk yang menjadi Presiden Slovenia (2007-2012) berdiri pada tahun 2001.
Â
Kedatangan Elena di samping mengharapkan kerjasama yang lebih erat dengan RI dalam banyak isu global, juga mengundang saya untuk bertemu Danilo Turk yang akan datang ke Madrid pada Februari mendatang.
Â
Club de Madrid memfokuskan diri pada kegiatan mendorong dan mempromosikan demokrasi, penegakkan HAM, perlindungan lingkungan, dan sejumlah isu yang berkaitan dengan masa depan bersama sebagai umat manusia penghuni bumi.
Â
Sejumlah pejabat negara dan pemimpin berbagai lembaga internasional baik yang masih aktif maupun yang sudah purna bakti menjadi anggota Club de Madrid, seperti mantan Sekjen PBB, perdana menteri, dan menlu sejumlah negara di kawasan Eropa, Asia, dan Afrika. Sejumlah nama petinggi Indonesia juga menjadi anggota club ini.
Â
Indonesia dipuji karena dinilai sukses dalam melakukan transisi demokrasi, pada saat sejumlah negara gagal melakukannya. Bahkan di saat sejumlah negara yang sebelumnya dinilai cukup maju dalam demokrasi, ternyata indeks demokrasinya melorot tajam beberapa tahun terakhir.Â
Â
Lebih dari itu, Indonesia sebagai negara muslim yang mengadopsi nilai-nilai Islam dalam institusi negara, telah memberikan contoh yang unik dan menarik, sehingga bukan saja menginspirasi sesama negara muslim, tapi juga menjadi kajian dari sejumlah tokoh penting dunia.
Â
Bali Democracy Forum (BDF) sebagai sarana untuk berbagi pengalaman berdemokrasi bagi banyak negara, sekaligus tukar gagasan bagaimana menghadapi situasi mutakhir, agar demokrasi bergerak maju dan mendukung pembangunan ekonomi, sehingga bermuara pada kesejahteraan rakyat, merupakan salah satu saja dari konstribusi yang tidak ternilai dari Indonesia untuk masyarakat global.
Â
Kini dalam menghadapi kemajuan teknologi digital, khususnya terkait dengan masifnya penggunaan media sosial di dunia politik, yang diiringi dengan erupsi hoax yang semakin canggih, serta ujaran kebencian yang diumbar secara vulgar oleh sejumlah aktor politik di banyak negara, membuat ide-ide kreatif yang orisinal dan visioner yang mendidik publik semakin diperlukan.
Â
Sebenarnya masih banyak lagi konstribusi Indonesia yang tidak disadari oleh banyak aktor politik di dalam negeri, tetapi dirasakan sangat besar manfaatnya bagi para dutabesar yang sedang bertugas di luar negeri, yang mebuat para diplomat Indonesia kini bisa menegakkan kepala dalam melakukan diplomasi baik secara bilateral maupun multilateral.
Â
Tidak jarang perguruan tinggi, lembaga kajian, dan kelompok-kelompok kepentingan di tingkat global mengundang para diplomat kita, baik dalam forum informal yang terbatas maupun forum resmi yang terbuka, untuk menyampaikan berbagai gagasan tentang demokrasi, lingkungan, HAM, dan berbagai isu global lainnya.
Â
Dalam situasi seperti ini Zulkifli Hasan yang posisinya tidak bisa dipisahkan dari seorang ketua partai atau sebagai seorang pejabat negara yang memiliki posisi penting di Parlemen, menyampaikan Pidato Kebudayaan dengan judul
Indonesia Butuh Islam Tengah. Tentu inisiatifnya layak untuk diapresiasi.
Â
Ada beberapa alasan, mengapa pidato kebudayaan ini menjadi sangat penting. Pertama, dalam tingkat global, Indonesia sebagai sebuah negara yang sedang berkembang, dinilai sukses dalam proses “Transisi Demokrasiâ€, sehingga terus menjadi perhatian.
Bagi negara-negara yang kini masih menerapkan otoritarianisme, atau yang masih dikendalikan oleh “Junta Militerâ€, ingin mendapatkan pengalaman Indonesia, agar pada saatnya nanti mereka dapat menggunakannya, sehingga tidak gagal sebagaimana yang dialami sejumlah negara yang tergesa-gesa melakukannya.
Â
Kedua, bagi banyak ilmuwan sosial politik baik yang mengajar di perguruan tinggi maupun yang meimpin lembaga riset, terus mengikuti inovasi demokrasi yang unik dan orisinil yang tidak pernah dialami oleh sejumlah negara dalam sejarah panjang mereka menerapkan sistem demokrasi di negara-negara Barat.
Akomodasi kearifan lokal, nilai-nilai agama, ikut mewarnai sistem demokrasi di Nusantara.
Â
Ketiga, sejak berdirinya Republik Indonesia (RI), pada 17 Agustus 1945, walaupun Pancasila sebagai  ideologi negara sudah disepakati, dan Undang Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum, serta sejumlah perangkat ketentuan sebagai bagian dari instrumen yang lazim digunakan dalam kehidupan bernegara pada sebuah negara modern, akan tetapi sosialisasi ke seluruh masyarakat tampaknya menjadi pekerjaan lanjutan yang tidak boleh berhenti.
Pergantian generasi, perkembangan situasi yang memerlukan jawaban, serta godaan-godaan ideologi baru yang datang dari luar negeri, merupakan sumber penyebabnya.
Â
Keempat, munculnya para politisi rabun jauh, dan mereka yang hanya berpikir kepentingan pribadi atau kelompok, serta individu-individu yang rela mengorbankan kepentingan umum yang bersifat jangka panjang, sehingga gelap-mata menggunakan cara-cara Machiavelli dalam mengejar kekuasaan.
Termasuk dalam kelompok terakhir ini adalah mereka yang menggunakan bungkus Islam, kemudian “membentur-benturkan†(istilah yang dipilih oleh Zulkifli Hasan) rakyat, serta kerap menggunakan kata-kata kasar dan sarkasme, sembari mengumbar kebencian dengan menumpangi atau mengeksploitasi kesulitan ekonomi rakyat, tanpa memberikan jalan keluar atau solusi dalam berbagai persoalan yang dihadapi bangsa dan negara.
Â
Langkah Zulkifli Hasan tentu akan menimbulkan gelombang positif yang lebih besar jika diikuti oleh sejumlah tokoh politik baik yang berada di parlemen, eksekutif, maupun yang memimpin partai politik di pusat maupun di daerah, untuk mengisi kekosongan narasi politik yang positif, menawarkan gagasan dan visi, untuk melawan erupsi
hoax yang muncul akibat masifnya penggunaan media sosial, yang semakin lama-semakin canggih dan ilmiah.
Â
Lebih dari itu, penting untuk mengajarkan generasi muda kita agar melek politik, atau mereka yang menjadi pendatang baru di dunia politik, bagaimana menggunakan cara yang elegan dalam berkompetisi mengejar kekuasaan.
Semua ini tentu merupakan bagian dari tanggung jawab para pemimpin politik dalam kontek membangun bangsa dan negara, serta sebagai tanggungjawab untuk menjaga kepentingan  bersama dalam jangka panjang.
Â
Berbagai pendidikan politik untuk publik dirasakan semakin mendesak, mengingat meningkatnya kecendrungan pragmatisme di kalangan politisi muda, semakin ditinggalkannya etika dan sopan santun, sehingga kata-kata kasar diumbar di publik sekadar untuk meningkatkan popularitas atau memojokkan pesaing.
Semua ini jelas sudah keluar dari nilai-nilai luhur dan karakter bangsa yang diwariskan oleh leluhur kita, yang seharusnya kita jaga dan rawat, serta kita junjung tinggi.
Â
Tanggungjawab yang lebih besar tentu berada pada punggung aktifis politik Islam, yang seharusnya tidak lepas dari koridor nilai-nilai ke-Islaman yang sudah menyatu dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan.
Bangunan negara di atas fondasi nilai-nilai yang kokoh yang diwariskan oleh para pendiri bangsa harus diyakini sebagai rumusan yang terbaik, sehingga energi tidak kita habiskan untuk terus-menerus mengotak-atik atau mempermasalahkannya.
Â
Dengan demikian, waktu dan tenaga yang kita miliki, bisa lebih produktif dengan cara menggunakannya, untuk mengisi bangunan negara agar lebih dekat pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan sebagai tujuan bersama.
Â
Munculnya sejumlah gagasan baru dari sejumlah tokoh Islam, seperti khilafah atau negara syariah, yang hanya menawarkan bungkus dan mengabaikan isi, bukan saja mengabaikan realitas masyarakat Indonesia yang beragam, baik dari suku, etnis, maupun agama, tetapi sudah sampai pada tingkatan mengelabui umat Islam sendiri.
Â
Harus diingat bahwa sekali kita salah dalam melangkah atau keliru dalam mengambil keputusan, maka tidak mudah untuk menemukan jalan kembali.
Kita harus mengambil pelajaran dari sejumlah negara di Timur Tengah yang porak-poranda, rakyatnya kehilangan rasa aman sehingga harus meninggalkan negaranya sebagai pengungsi, selama lebih dari sepuluh tahun sudah berlangsung, dan belum ada tanda-tanda kapan akan berakhir.
Penulis adalah Dutabesar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Kerajaan Spanyol