Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti saat penutupan Muscab dan pelantikan pengurus Majelis Pimpinan Cabang (MPC) Pemuda Pancasila Kabupaten Tulungagung, Minggu (19/12).
Ciri utama dari demokrasi Pancasila adalah semua elemen bangsa harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama di dalam sebuah lembaga tertinggi di negara ini, sudah tidak ada.
Atas dasar tersebut, Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menilai konstitusi Indonesia saat ini sudah tidak nyambung lagi dengan Pancasila dan Teks Pembukaan UUD 1945.
"Itu sudah terjadi selama 20 tahun berjalan sejak negara ini melakukan amandemen konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam," katanya dalam penutupan Muscab dan pelantikan pengurus Majelis Pimpinan Cabang (MPC) Pemuda Pancasila Kabupaten Tulungagung, Minggu (19/12).
Desakan reformasi, katanya, telah mendorong amandemen konstitusi hingga 4 tahap. Awalnya, amandemen bermaksud untuk penyempurnaan atas UUD 1945 naskah asli, tapi ternyata malah membongkar total.
"UUD 1945 naskah asli yang terdiri dari 1.500 kata, menjadi 4.500 kata yang secara substansi juga sangat berbeda dengan naskah aslinya. Hasilnya Konstitusi Indonesia hasil amandemen 2002 berubah jauh dari struktur konstitusi asli yang dihasilkan para pendiri bangsa," tegasnya.
Dalam konstitusi yang asli, sebelum dilakukan amandemen, MPR adalah lembaga tertinggi negara. MPR menjadi perwujudan kedaulatan rakyat dari semua elemen bangsa ini. Baik itu elemen partai politik, daerah-daerah, dan golongan-golongan.
“Dengan demikian utuhlah demokrasi kita, menjadi demokrasi yang berkecukupan, karena semua terwakili sesuai ciri demokrasi Pancasila," paparnya.
Tetapi dalam konstitusi hasil amandemen 2002 MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Utusan daerah dan golongan dihapus diganti Dewan Perwakilan Daerah.
Lalu presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai politik dan dipilih langsung oleh rakyat.
"Sebaliknya DPD RI sebagai wakil dari daerah, wakil dari golongan-golongan, wakil dari entitas-entitas civil society non-partisan, terpinggirkan. Semua simpul penentu perjalanan bangsa di tangan partai politik. Inilah yang kemudian menghasilkan pola
the winner takes all,†tutupnya.