Setuju Threshold Nol Persen, PKS Jabar juga Minta Biaya Kampanye Ditanggung Negara
SELASA, 14 DESEMBER 2021 | 17:31 WIB | LAPORAN: AGUS DWI
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jawa Barat setuju dengan harapan Ketua KPK, Firli Bahuri, terkait Threshold nol persen. Sebab, KPK menerima banyaknya keluhan kepala daerah dan anggota legislatif terkait besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengikuti Pilkada maupun Pileg.
Dikatakan Ketua DPW PKS Jabar, Haru Suandharu, Firli Bahuri telah menyampaikan hal tersebut dalam lawatannya ke DPRD Jabar beberapa waktu lalu. Saat itu Firli menyampaikan bahwa sebaiknya tidak usah ada Electoral Threshold untuk calon kepala daerah (Cakada), calon anggota legislatif (Cakada), maupun calon presiden (Capres).
"Biar banyak yang ikut dan biaya politik jadi berkurang, bahkan sekecil-kecilnya. Jadi saksi (dalam Pemilu) kalau bisa kita pakai electronic vote supaya enggak usah ada biaya saksi," ungkap Haru kepada Kantor Berita RMOLJabarmelalui sambungan telepon, Selasa (14/12).
"Saya kira bagus, Pak Firli bicara seperti itu. Kami setuju dengan Ketua KPK," tegasnya.
Tak hanya itu, Haru juga mengusulkan biaya kampanye sebaiknya ditanggung oleh negara. Sehingga para calon cukup memegang teguh kejujuran untuk mewujudkan negara yang lebih baik. Sebab, biaya politik untuk kampanye, sosialisasi, operasional tim, dan atribut memang sangat besar.
"Enggak usah mikirin cari duit, kalau kandidat dipusingkan nyari duit ya nanti dia bisa jadi segera nyari duit buat bayar utang yang kemarin dan persiapan untuk Pemilu selanjutnya," paparnya.
Seperti pada Pilgub Jabar 2018 silam, atribut kampanye dibuatkan oleh KPU dan hal ini dinilai sangat membantu para kandidat. Sehingga, kandidat terpilih cukup membawa diri, visi, dan misi untuk menyejahterakan rakyat.
"Pokoknya kandidat tinggal bawa diri, enggak usah nyari duit, pokoknya bikin rakyat sejahtera saja. Kalau misalkan kita masih begini-begini terus, ya kita masih senang lihat orang ditangkap. Itu saja masalahnya," sambungnya.
Seperti diungkap Ketua KPK, Firli Bahuri, besarnya biaya Pilkada dan Pileg menjadi pemicu seorang kepala daerah maupun anggota legislatif melakukan korupsi agar modal yang telah dikeluarkan untuk pencalonan bisa kembali.
Sama seperti mencalonkan presiden, setiap kepala daerah wajib diusung oleh partai politik yang sedikitnya memiliki 20 persen kursi di DPRD.
"Semua para kepala daerah mengeluhkan besarnya biaya Pilkada, anggota legislatif juga mengatakan mahal. Sehingga banyak yang melakukan korupsi," kata Firli seperti diberitakan Kantor Berita Politik RMOL, Minggu sore (12/12).