Berita

Said Didu saat hadiri Catatan Demokrasi tvOne bertema Komunitas PKI Bangkit lagi?/Repro

Politik

Said Didu Beberkan 3 Pelanggaran Dibongkarnya Diorama, Dudung Abdurrachman dan AY Nasution Bisa Dijerat Pidana

SELASA, 28 SEPTEMBER 2021 | 22:11 WIB | LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL

Pembongkaran diorama atau miniatur tokoh bersejarah pembasmi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berada di Makostrad kemungkinan terjadi beberapa pelanggaran.

Pernyataan itu itu disampaikan oleh pengamat kebijakan publik, Said Didu di acara Catatan Demokrasi bertajuk "Komunis Bangkit Kembali?" yang disiarkan langsung oleh tvOne pada Selasa malam (28/9).

"Ini ada tiga pelanggaran yang kemungkinan terjadi dari pembongkaran diorama tersebut. Pertama adalah pidana penghilangan aset negara. Kedua, pidana terhadap kelalaian menjaga aset negara, itu pidana. Ketiga, pelanggaran tata kelola pemerintahan yang baik," ujar mantan Sekretaris BUMN Said Didu seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Selasa malam (28/9).

Said Didu pun membeberkan secara jelas terkait ketiga pelanggaran tersebut.

Yang pertama terkait pelanggaran pidana menghilangkan aset negara. Menurut Said, jika diorama menggunakan dana APBN, maka dipastikan sebagai aset negara. Jika hilang, harus dipidana.

"Kalau dapat dari sumbangan dan atas nama institusi orang menyumbang, maka itu juga aset negara, bukan asetnya Letjen (Purn) AY Nasution. Kalau duit pribadinya AY Nasution, dan sudah dicatat sebagai aset museum, maka itu juga aset negara," kata Said Didu.

Sehingga kata Said Didu, harus dijelaskan pembuatan diorama tersebut menggunakan dana darimana.

"Kalau aset negara, maka Letjen (Purn) AY Nasution terancam pidana penghilangan aset negara. Jadi saya pikir itu harus diclearkan supaya jangan terulang dikemudian hari ada pendapat seseorang tidak setuju sesuatu, dan dia datang minta dibongkar, padahal itu aset negara. Itu bahaya sekali," jelas Said Didu.

Meskipun sebagai penggagas kata Said Didu, tidak bisa berbuat sesukanya karena diorama tersebut dibuat atau ide sebagai pejabat, bukan pribadi.

"Jadi saya (contoh) punya ide, saya punya juga bangunan-bangunan di Lab Biotek saya itu saya ada lambang, tahu tahu saya nanti 'oh salah tuh, saya mau bongkar'. Padahal itu aset negara, saya kena, tidak boleh," terang Said Didu.

Selanjutnya pelanggaran yang kedua adalah terkait kelalaian menjaga aset negara. Di sini kata Said Didu, penjaga aset negara adalah pimpinan lembaga yang menguasai.

"Jadi kalau ada orang yang mau ambil aset negara dalam hal ini Pangkostrad sekarang, dia harus melindungi. Tidak boleh membongkar apalagi mengizinkan. Jadi kalau terbukti nanti bahwa ini aset negara, maka Pangkostrad kena. Kenapa anda izinkan orang mengambil aset negara," tegas Said.

Apalagi, jika diorama tersebut sudah masuk di situs sejarah karena sudah museum Nasional yang perlindungannya lebih tinggi lagi karena menghilangkan situs.

"Bahayanya, menakutkan kalau ini dibiarkan itu akan terjadi, orang tidak setuju patungnya Bung Karno suatu saat, 'bongkar aja, aku yang bangun kok'. Nah itu bisa hilang semua," kata Said.

Yang ketiga adalah, terkait pelanggaran good governance. Said menyoroti adanya pendapat pribadi seseorang yang menjadi keputusan lembaga.

"Coba bayangkan, pendapat pribadi pensiunan mantan Pangkostrad yang dijadikan landasan untuk menghapuskan sesuatu, bahwa pertentangan sejarahnya boleh diperdebatkan, tapi menghapuskan itu harus keputusan institusi. Nah institusinya, kalau minimal bahwa didapatkan ditingkat angkatan darat TNI. Kalau itu di museum nasional, maka minimal diputuskan oleh Kemendikbud, bukan keputusan Pangkostrad pribadi," beber Said Didu.

Dengan demikian, pendapat pribadi dianggap sangat berbahaya untuk menjadi keputusan lembaga.

"Jadi saya pikir ini sangat serius bagi saya. Karena kalau ini berlanjut, maka bisa hilang semua hanya karena pendapat pribadi seseorang, terus itu biarkan dan diputuskan oleh pimpinan lembaganya mengizinkan orang itu," pungkas Said.

Dalam acara ini, juga dihadiri oleh Fadli Zon, Prof Hermawan Sulistyo, Prof Salim Haji Said yang mengikuti secara daring, Eko Kunthadi dan KH. Syarif Rahmat.

Populer

Gempa Megathrust Bisa Bikin Jakarta Lumpuh, Begini Penjelasan BMKG

Jumat, 22 Maret 2024 | 06:27

KPK Lelang 22 iPhone dan Samsung, Harga Mulai Rp575 Ribu

Senin, 25 Maret 2024 | 16:46

Pj Gubernur Jawa Barat Dukung KKL II Pemuda Katolik

Kamis, 21 Maret 2024 | 08:22

KPK Diminta Segera Tangkap Direktur Eksekutif LPEI

Jumat, 22 Maret 2024 | 15:59

Bawaslu Bakal Ungkap Dugaan Pengerahan Bansos Jokowi untuk Menangkan Prabowo-Gibran

Rabu, 27 Maret 2024 | 18:34

Connie Bakrie Resmi Dipolisikan

Sabtu, 23 Maret 2024 | 03:11

KPK Lelang Gedung Lampung Nahdiyin Center

Selasa, 26 Maret 2024 | 10:12

UPDATE

Jelang Piala AFF dan AFC, 36 Pemain Masuk Seleksi Tim U-16 Tahap Dua

Jumat, 29 Maret 2024 | 08:02

Gunung Semeru Kembali Erupsi, Warga DIminta Tak Beraktivitas

Jumat, 29 Maret 2024 | 07:25

Kemnaker Gelar Business Meeting Pengembangan SDM Sektor Pariwisata

Jumat, 29 Maret 2024 | 07:11

2.098 Warga Terjangkit DBD, Pemkot Bandung Siagakan 41 Rumah Sakit

Jumat, 29 Maret 2024 | 07:01

Sebagian Wilayah Jakarta Diprediksi Hujan Ringan

Jumat, 29 Maret 2024 | 06:21

Warga Diimbau Lapor RT sebelum Mudik Lebaran

Jumat, 29 Maret 2024 | 06:11

Generasi Z di Jakarta Bisa Berkontribusi Kendalikan Inflasi

Jumat, 29 Maret 2024 | 06:04

Surat Dr Paristiyanti Nuwardani Diduga jadi Penyebab TPPO Farienjob Jerman

Jumat, 29 Maret 2024 | 06:00

Elektabilitas Cak Thoriq Tak Terkejar Jelang Pilkada Lumajang

Jumat, 29 Maret 2024 | 05:42

Satpol PP Diminta Jaga Perilaku saat Berinteraksi dengan Masyarakat

Jumat, 29 Maret 2024 | 05:31

Selengkapnya