Indonesia telah lama menghindari keterlibatan dengan kekuatan besar yang dapat merusak legitimasi domestik. Salah satu alasannya adalah ketidakpercayaan yang mendalam. Barangkali itu juga yang membuat Indonesia disebut sebagai 'tidak siap' di antara pertarungan dua negara adidaya di Indo-Pasifik.
Peneliti senior Evan A Laksmana, dalam artikelnya di Foreign Policy mengatakan, Indonesia tidak mempercayai satu kekuatan besar secara inheren lebih unggul, baik secara ekonomi, militer, maupun moral.
"Indonesia memiliki sejarah bahwa setiap kekuatan besar telah merusak tatanan domestik Indonesia atau bertindak bertentangan dengan kepentingan strategisnya. Dengan pengalaman tersebut, Indonesia telah mengembangkan visi tatanan regional yang terpaku pada menjaga stabilitas dan legitimasi di dalam negeri, mencari otonomi strategis, dan menolak hegemoni kekuatan besar di kawasan," tulis Evan.
Sebagai negara yang memiliki posisi strategis yang dikelilingi lautan samudera Pasifik dan Hindia, Indonesia menjadi negara yang berada di jalur persimpangan lalu lintas dunia dan menarik perhatian banyak negara, di era persaingan kekuatan besar AS-China.
Setiap langkah Indonesia, dari latihan militer sampai dengan diplomasi vaksin, selalu menjadi perhatian.
Lalu apakah kemudian Indonesia akan lebih condong ke Amerika atau ke China?
Yang satu menawarkan pertumbuhan dan kemakmuran, meskipun mengintimidasi. Yang lain telah membangun jaringan global dan menjanjikan hubungan keamanan yang bertahan lama, tetapi komitmennya sering meragukan.
Ternyata Indonesia tidak condong kepada keduanya. Alasannya, seperti dikemukakan di awal; ketidakpercayaan yang mendalam.
Indonesia juga tidak ingin keterlibatan dengan kekuatan besar membatasi bagaimana mendefinisikan dan membela kepentingannya.
"Jika AS mencoba untuk mengajak Indonesia melawan China di Laut Natuna Utara, seperti yang sudah dilakukan sebelum-belumnya, beberapa pembuat kebijakan melihatnya sebagai pelanggaran terhadap otonomi strategi Jakarta, walaupun mereka secara diam-diam setuju dengan Beijing," tulis Evan, yang beraktifitas di Pusat Asia dan Globalisasi di Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew di Universitas Nasional Singapura.
Sebagai bangsa yang besar, Indonesia tidak ingin kekuatan-kekuatan besar menekan dan menyetirnya. Pembuat kebijakan Indonesia berpegang teguh pada persepsi sebagai 'pemimpin regional'.
Hal ini dibuktikan dengan peran Indonesia di di ASEAN.
"ASEAN memang bermanfaat bagi Jakarta, meskipun blok tersebut memiliki banyak kelemahan dan perpecahan," menurut Evan.
Dengan membantu menciptakan ASEAN pada tahun 1967, negara terbesar dan terpadat di Asia Tenggara itu mengisyaratkan pengekangan diri secara strategis dan menunjukkan bahwa mereka tidak akan menjadi pengganggu, menurut Evan.
Munculnya ASEAN juga mengakhiri kebijakan konfrontasi Indonesia dengan Singapura dan Malaysia, yang telah meningkatkan ketegangan regional dan sangat menguras perekonomian Indonesia.
Indonesia juga telah mampu memanfaatkan ASEAN sebagai multiplier untuk kepentingannya di luar Asia Tenggara. "Memang, Beijing dan Washington sering menyebut kepemimpinan Indonesia di ASEAN sebagai salah satu alasan keterlibatan mereka dengan Jakarta," kata Evan.
Namun, ASEAN baru-baru ini mengambil fungsi lain, terkait erat dengan pendekatan negatif Indonesia terhadap kebijakan luar negeri. Blok tersebut telah menjadi alasan bagi Indonesia untuk mengabaikan tanggung jawab dan menghindari politik kekuatan besar di Indo-Pasifik.
Tidak memilih salah satu kekuatan besar menjadi kebijakan aktif yang telah berakar kuat pada doktrin Indonesia adalah negara yang 'mandiri dan aktif'. Namun, saat ini China lebih terlihat sebagai mitra dagang utama Indonesia dan menjadi salah satu investor utama.
Terutama di tengah pandemi saat ini, ketergantungan Indonesia pada China jauh lebih besar daripada ke AS. Interaksi antara Partai Komunis China dan partai politik besar Indonesia juga telah berkembang. Menimbulkan kecaman di mata masyarakat bahwa Presiden Joko Widodo sebagai antek Beijing.
Sejauh ini, Jakarta telah mengkotak-kotakkan keterlibatannya: Pengadaan vaksin dari Beijing belum diterjemahkan ke dalam penyelarasan kebijakan luar negeri atau penyerahan klaim maritim China yang meragukan atas perairan Indonesia.
"Tidak jelas apakah China akan menggunakan pengaruh ekonominya yang semakin besar untuk mengancam kepentingan strategis Indonesia di kemudian hari. Tetapi dengan ketergantungan yang lebih besar, muncul kerentanan yang lebih besar," ujar Evan.
Pada dasarnya, Beijing dan Washington akan membuka diri untuk Jakarta. Sementara itu, Indonesia mencari aman dengan berupaya bisa memanfaatkan salah satu kekuatan besar, dengan tetap berpegang teguh pada ASEAN untuk menjaga ketertiban regionalnya.