Berita

Ilustrasi/Net

Publika

Era Humanity ke Era Humanoid

SELASA, 03 AGUSTUS 2021 | 00:42 WIB

SEORANG pegawai sebuah perusahaan ternama masuk ke ruangan direksi. Sang direktur mempersilakan duduk karyawannya yang sudah sekitar 4 tahun bekerja untuknya. Ia menyodorkan sebuah amplop kepada karyawan yang nampak bingung.

“Maaf kami terpaksa memberhentikan anda, keuangan perusahaan sedang sulit dan PHK tidak dapat dihindari. Kami yakin anda berbakat, tapi kondisi keuangan mengharuskan kami melakukan ini,” ujar sang direktur berbasa-basi.

Karyawan pulang dengan terhuyung-huyung, entah apa yang harus ia sampaikan kepada istri dan anak-anaknya. Dunia modern telah mengubah tolok ukur kerja seseorang dengan angka-angka statistik kinerja karyawan.

Dan ia –menurut analisis statistik kinerja perusahaan– adalah orang yang harus dikorbankan. Semua diukur oleh angka-angka khayal dengan apa yang disebut dengan timesheet, productivity level dan performance meets.

Timesheet adalah sebuah formalitas “man hours” untuk menagih kepada client dan untuk mengukur kinerja dan kerja. Jam kerja kita dicatat sejak pukul 8 pagi hingga pukul 5 sore, mengerjakan apa dan berapa lama.

Setiap hari kita mengisi timesheettimesheet untuk kebaikan apa dan berapa banyak yang sudah kita lakukan kepada sesama manusia, kepada lingkungan kita dan kepada karyawan kita.

Tetapi apa yang dialami oleh karyawan itu mungkin adalah sebuah permulaan dari kelumpuhan peradaban manusia.

Sekarang kita menyongsong era yang jauh lebih mengerikan, era digital mengubah manusia menjadi robot dan menghargai kemampuan robot melebihi manusia.

Masyarakat dibuat terkagum-kagum ketika humanoid robot mampu berlari, mengambilkan minum, menjabat tangan pengunjung dan dapat berbicara dengan pengunjung. Semua bertepuk tangan, dan kita terkagum-kagum dibuatnya.

Tetapi kita lupa mengucapkan “terimakasih” bahkan ketika pembantu kita mengambilkan minum, kita membentak karyawan kita ketika ia berbincang sebentar di ruang kantor dengan rekan kerjanya setelah berjam-jam bekerja keras demi untuk membayar cicilan Mercedes Benz, dan rumah mewah sang direktur melalui kerja-kerja keras karyawannya.

Dengan apa yang disebut "era digital" ini, secara bertahap namun pasti tampaknya manusia-manusia modern telah mengubah peran manusia dalam peradaban modern dengan peran robot-robot dari hasil rekayasa artificial intellegent.

Baik robot yang secara struktur mirip dengan pria (yang kemudian disebut sebagai Android) atau wanita (Gynoid), atau robot yang humanoid (berkarakter dan bertingkah seperti layaknya manusia) seperti Honda Asimo yang mampu berjalan dan menanjak, robot anjing seperti Sony Aibo, ataupun digital human being Artificial Intelligent (AI) seperti Neon (yang dibuat oleh samsung).

Bahkan sekarang telah diciptakan artis-artis digital. Di Jepang telah dibuat artis anggota AKB48, Amy, dalam bentuk digital pixels, dan begitu pula artis Jepang Hatsune Miku. Ia akan bisa setiap hari menyapa fans berat yang membelinya, dan mengajaknya berbicara.

Tampaknya robot dan AI yang bekerja tanpa rasa akan mengatur kehidupan manusia mendatang. Menggiring manusia pada suatu peradaban baru, yang hanya mengenal manusia dari angka-angka semu.

Tidak lama lagi kehidupan kita akan diatur dan diukur oleh robot, sejak bangun tidur hingga akan tidur. Kualitas kerja kita, kualitas pendidikan kita, bahkan kualitas kebahagiaan kita semua diatur dan diukur oleh robot.

Lihatlah di sekeliling kita. Sopir pribadi telah diganti oleh “kecanggihan” Tesla. Tesla canggih karena manusia mengukurnya dari benda mati lainnya, sedangkan Pak Supir bodoh karena diukur dengan Tesla.

Tentu bayi ketika berhitung satu, dua, tiga, kita anggap pandai, dan mahasiswa tingkat akhir yang tidak lulus karena gagal dalam mata kuliah kalkulus kita anggap bodoh.

Tapi akan sangat konyol jika kita meluluskan bayi karena kita anggap pandai hanya karena mampu berhitung satu, dua dan tiga bukan? Manusia modern tidak perlu lagi mendengar gerutu sopir-sopir ketika jalan macet, dan tidak perlu mendengar keluhan sopir tentang gaji yang tidak mencukupi untuk membayar sekolah anak-anaknya.

Banyak orang rela mengeluarkan uang bermiliar-miliar untuk menikmati sopir digital ini demi mengikuti mode dan zaman. Jam minum obat kita diatur oleh dering waker di "smart" phone kita, yang dulu mungkin orang-orang terkasih mengingatkan kita untuk segera meminum obat, dan kita lebih patuh dengan dering smartphone kita ketimbang seruan anggota keluarga kita untuk meminum obat.

Dalam sebuah perusahaan, kerja puluhan orang sudah bisa digantikan oleh kerja “seorang” robot. Tampaknya ini bukan saja sebuah era baru digitalisasi tetapi juga merupakan era baru kapitalisasi.

Tidak dapat dipungkiri juga bahwa pandemi Covid-19 yang meluas telah berperan jauh dalam mengubah kehidupan manusia hampir di seluruh dunia, dari mulai pendidikan, kerja hingga hiburan dan sosialisasi.

Ruang-ruang keluarga, ruang makan yang dulu kita gunakan untuk bersenda gurau dengan anggota keluarga kini kita ubah menjadi ruang-ruang kerja.

Dulu canda tawa anak-anak yang menghibur kepala keluarga ketika kembali sepulang kerja berbalas pelukan dan ciuman kini berubah menjadi bentakan dan omelan karena terganggu dengan “zoom meeting” dengan klien dan staf. Digitalisasi mengubah karakter manusia.

Lalu apa yang dapat kita perbuat? Arus memaksa kita mengikuti ini semua. Era digitalisasi menghukum mereka yang menentangnya dan melawan arusnya.

Seperti karyawan tadi, ia dianggap tidak mampu mengikuti perkembangan zaman dengan era digital. Man hours yang ia gunakan terlalu banyak dan tidak memenuhi standar performa perusahaan, walaupun ia bekerja dengan gigih dan menggunakan real intelligent ketimbang artifical intelligent.

Mungkin beruntung bagi sebagian orang yang tidak terbawa arus kuat digitalisasi ini dan mempertahankan humanity ketimbang humanoid dalam menjalani akhir hidupnya.

Saya teringat ucapan seorang filusuf dan revolusioner Persia, DR. Ali Syariati: “Jika hanya untuk mengikuti arus sungai, ikan mati pun dapat melakukannya”.

Dan bukankah kita semua adalah ikan-ikan hidup yang berhak bergerak mengikuti atau melawan arus sungai sesuai kebutuhan dan keinginan kita? Bisa saja saya salah, atau mungkin saya hanya mengeluh karena tidak mampu mengikuti perubahan dan perkembangan zaman.

Mochammad Baagil


Populer

Gempa Megathrust Bisa Bikin Jakarta Lumpuh, Begini Penjelasan BMKG

Jumat, 22 Maret 2024 | 06:27

KPK Lelang 22 iPhone dan Samsung, Harga Mulai Rp575 Ribu

Senin, 25 Maret 2024 | 16:46

Pj Gubernur Jawa Barat Dukung KKL II Pemuda Katolik

Kamis, 21 Maret 2024 | 08:22

KPK Diminta Segera Tangkap Direktur Eksekutif LPEI

Jumat, 22 Maret 2024 | 15:59

Bawaslu Bakal Ungkap Dugaan Pengerahan Bansos Jokowi untuk Menangkan Prabowo-Gibran

Rabu, 27 Maret 2024 | 18:34

Connie Bakrie Resmi Dipolisikan

Sabtu, 23 Maret 2024 | 03:11

KPK Lelang Gedung Lampung Nahdiyin Center

Selasa, 26 Maret 2024 | 10:12

UPDATE

Jelang Piala AFF dan AFC, 36 Pemain Masuk Seleksi Tim U-16 Tahap Dua

Jumat, 29 Maret 2024 | 08:02

Gunung Semeru Kembali Erupsi, Warga DIminta Tak Beraktivitas

Jumat, 29 Maret 2024 | 07:25

Kemnaker Gelar Business Meeting Pengembangan SDM Sektor Pariwisata

Jumat, 29 Maret 2024 | 07:11

2.098 Warga Terjangkit DBD, Pemkot Bandung Siagakan 41 Rumah Sakit

Jumat, 29 Maret 2024 | 07:01

Sebagian Wilayah Jakarta Diprediksi Hujan Ringan

Jumat, 29 Maret 2024 | 06:21

Warga Diimbau Lapor RT sebelum Mudik Lebaran

Jumat, 29 Maret 2024 | 06:11

Generasi Z di Jakarta Bisa Berkontribusi Kendalikan Inflasi

Jumat, 29 Maret 2024 | 06:04

Surat Dr Paristiyanti Nuwardani Diduga jadi Penyebab TPPO Farienjob Jerman

Jumat, 29 Maret 2024 | 06:00

Elektabilitas Cak Thoriq Tak Terkejar Jelang Pilkada Lumajang

Jumat, 29 Maret 2024 | 05:42

Satpol PP Diminta Jaga Perilaku saat Berinteraksi dengan Masyarakat

Jumat, 29 Maret 2024 | 05:31

Selengkapnya