Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Wawan Wardiana (kanan), dalam acara International Business Ethics Conference (IBEC) 2021 dengan tema "Ethics in Business: Big Challenge" yang digelar secara daring pada Kamis, 9 Juli/RMOL
Praktik bisnis yang baik dan berintegritas dianggap juga menyumbang pengurangan angka korupsi di Indonesia.
Begitu yang disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Wawan Wardiana, dalam acara International Business Ethics Conference (IBEC) 2021 dengan tema "Ethics in Business: Big Challenge" yang digelar secara daring pada Kamis (8/7).
"Indikator survei Transparency International dalam mengukur Indeks Persepsi Korupsi (IPK) juga banyak yang berkaitan dengan dunia usaha," ujar Wawan.
Selain aspek bisnis yang baik, Wawan juga menyebut sistem politik ikut menentukan IPK di Indonesia. Sehingga katanya, keberhasilan pemberantasan korupai tidak melulu soal penindakan.
"Jadi kalau kita lihat bukan semata-mata bagaimana penegakan hukum, tapi terkait juga proses bisnis yang terjadi di lapangan dan sistem politik," jelasnya.
Di hadapan 200 peserta dari berbagai sektor usaha yang hadir dlam acara itu, Wawan menjelaskan definisi korupsi, jenis-jenis korupsi, kewenangan KPK dalam pendidikan antikorupsi, pencegahan dan penindakan korupsi, dampak perbuatan tindak pidana korupsi (tipikor) serta bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi.
Wawan juga mengatakan bahwa peran masyarakat dalam partisipasi pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan cara melaporkan dugaan tindak pidana korupsi di sekitarnya kepada KPK, atau menjadi
whistleblower.
Berdasarkan survei perilaku antikorupsi Badan Pusat Statistik (BPS) yang diterimanya, Wawan melihat nilai yang baik dari tahun ke tahun terkait pelaporan dugaan tindak pidana korupsi.
"Artinya perilaku antikorupsi masyarakat di Indonesia sudah baik. Walaupun masih ada 17,63 persen masyarakat yang masih memberikan sesuatu dalam hal pelayanan publik baik secara sukarela maupun tidak. Hal ini menjadikan masyarakat permisif atau serba membolehkan," jelasnya.
Di sisi lain, Wawan memaparkan data yang dimiliki KPK yang menunjukkan 80 persen kasus korupsi yang melibatkan sektor swasta dan sektor publik atau instansi pemerintah memiliki berbagai modus.
Yaitu, penyuapan, gratifikasi dan pengadaan barang jasa. Untuk sektor swasta, baru tahun 2016 lalu Indonesia memiliki regulasi yang dapat menjerat perusahaan yang melakukan tipikor yaitu dengan PERMA nomor 13/2016.
Hingga kini sambung Wawan, sudah ada 6 perusahaan yang dijerat dengan aturan tersebut.
Selain itu, Wawan juga menekankan pentingnya membangun dan menanamkan integritas dalam diri sendiri dan lingkungan terdekat seperti keluarga dan tempat kerja. Sebab, lanjutnya, tidak sedikit orang melakukan korupsi karena tuntutan lingkungan terdekat.
"Kalau kita tidak dapat mempengaruhi lingkungan, lingkungan lah yang akan mempengaruhi kita. Di Indonesia, kalau hanya mengandalkan penindakan, tidak akan turun kasus korupsi," ungkanya.
Untuk itu, Wawan menuturkan bahwa KPK menggunakan tiga pendekatan dlam memberantas korupsi. Yaitu, penindakan agar ada efek jera, pencegahan dengan perbaikan sistem agar tidak bisa korupsi, dan pendidikan dengan membangun nilai, karakter antikorupsi pada individu agar tidak ingin korupsi.
"Serta peran serta masyarakat pada setiap strategi tersebut yang dijalankan secara bersamaan," imbuhnya.
Dalam sektor bisnis, Wawan menyebutkan bahwa KPK memiliki kerja sama dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, agar sektor swasta berperan serta dalam program pencegahan dan kampanye antikorupsi.
Hal itu dilakukan juga untuk mendorong penerapan panduan pencegahan korupsi untuk dunia usaha (CEK). Salah satunya adalah penerapan
Whistle-Blowing System (WBS) yang independen. Saat ini, setidaknya sudah ada WBS dari 27 BUMN yang terintegrasi dengan KPK.
Maka dari itu, Wawan menekankan bahwa kesuksesan KPK dalam menindak kasus korupsi adalah karena partisipasi dari masyarakat yang memiliki keberanian dan bergerak melaporkan tipikor.
"Berikutnya KPK menyarankan digitalisasi sistem pengaduan WBS untuk keamanan pelapor, komitmen dari pimpinan organisasi dalam pelaksanaan WBS, serta pengelola WBS yang berintegritas dan independen," pungkas Wawan.