Klaim batas wilayah Provinsi Aceh sesuai peta pada 1956/Net
Permintaan informasi yang diajukan Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, terkait peta perbatasan Provinsi Aceh, merujuk pada peta tahun 1956, tak bisa dipenuhi Kementerian Sekretariat Negara maupun Kementerian Hukum dan HAM RI.
Peta ini adalah batas Provinsi Aceh yang tercantum dalam salah satu poin Kesepakatan Damai Helsinki yang ditandatangani oleh Pemerintah Aceh dan Gerakan Aceh Merdeka.
Surat yang dikeluarkan oleh Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Kementerian Sekretariat Negara, Eddy Cahyono Sugiarto, senada dengan surat yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Kementerian Hukum dan HAM menulis, informasi yang diminta YARA tidak dalam penguasaan kementerian itu. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 127 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2011 tentang BAdan Informasi Geospasial, peta itu disimpan oleh Badan Infomrasi Geospasial (BIG).
"Jadi dalam MoU Helsinki disebutkan bahwa Aceh itu wilayahnya kembali lagi kepada peta Aceh pada 1 Juli 1956. Artinya, wilayah Aceh, berdasarkan sejumlah referensi, sampai ke Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara,†jelas Safaruddin kepada
Kantor Berita RMOLAceh, Senin (14/6).
Lanjut Safaruddin, Dewan Pimpinan Partai Aceh selaku partai yang didirikan sebagai buah dari perjanjian damai tersebut, juga tidak menyimpan salinan informasi mengenai peta Aceh.
Padahal Safaruddin menilai Partai Aceh sangat berkepentingan untuk memiliki informasi mengenai peta itu sebagai pihak yang menandatangani perjanjian damai tersebut.
Dalam surat yang dikeluarkan oleh Kepala Sekretariat DPA Partai Aceh, Lukman Hakim, pihaknya menganggap mereka bukan lembaga yang tepat untuk memberikan informasi publik yang dimintakan Safaruddin.
Namun, menurut Safaruddin, ketiga lembaga itu adalah pihak-pihak yang terlibat langsung dalam proses penandatanganan Perjanjian Damai Helsinki. Safaruddin pun menjelaskan bahwa GAM bertransformasi menjadi Partai Aceh.
“Yang menandatangani dokumen perjanjian itu adalah GAM dan Pemerintah Indonesia. Kalau mereka sepakat, pasti kedua pihak itu mempunyai dokumennya, termasuk peta batas Aceh tahun 1956,†kata Safaruddin.
Safaruddin menambahkan, batas wilayah Aceh, yang tercantum dalam perjanjian damai, adalah hal penting. Sama pentingnya dengan pasal-pasal lain dalam perjanjian damai itu.
Karena itu, YARA merasa mereka berhak menuntut para pihak yang terlibat dalam perjanjian itu untuk menegaskan kembali batas wilayah Aceh yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, peta ini harus diketahui oleh seluruh masyarakat Aceh agar mereka memahami sejarah dan pengorbanan para syuhada Aceh yang meninggal dunia akibat konflik bersenjata itu.
Safaruddin juga meminta Pemerintah Aceh dan Pemerintah Indonesia harus menepati perjanjian itu: mengembalikan wilayah Aceh sesuai peta yang berlandaskan MoU Helsinki.