Peneliti Indef Dzulfiyan Syafrian/RMOL
Rencana pengenaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen pada sembilan bahan pokok(Sembako) mengindikasikan keuangan pemerintah Indonesia terancam bangkrut.
Peneliti Indef Dzulfiyan Syafrian mengatakan, dalam situasi ekonomi sulit saat ini, sangat tidak tepat jika pemerintah akan memberlakukan PPN 12 persen pada kelompok Sembako.
Kata Dzulfian, kebijakan itu akan merugikan masyarakat dengan level ekonomi rendah, sedangkan kelompok ekonomi atas tidak akan terdampak.
"Kalau itu berlaku ya benar-benar dzolim karena yang merasakan itu orang kecil orang atas nggak akan merasakan, karena barang primer, 2/3 pendapatan orang miskin jadinya hanya untuk mencukupi untuk makan," demikian kata Dzulfian kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (11/6).
Dijelaskan Dzulfian, andai kata PPN Sembako berlaku, dampaknya akan sangat merugikan masyarakat.
Ia kemudian mengkalkulasi, apabila setiap kepala keluarga memiliki penghasilan Rp 1 juta, kebutuhan kontrakan, listrik dan sekolah anak akan sulit terpenuhi.
Seharusnya, kata Dzulfian dalam situasi ekonomi sulit karena pandemi virus corona baru (Covid-19) pemerintah harus memberi subsidi untuk meringankan.
Secara objektif, Dzulfian menengarai wacana peningkatan PPN yang belakangan disorot publik itu mengindikasikan bahwa keuangan negara sedang mengalami defisit yang terus membesar.
Apalagi, bacaan Dzulfian, untuk menutupi defisit Indonesia belum mendapatkan kepercayaan para pemberi pinjaman.
"Saat krisis pemerintah harus turun tangan menolong masyarakat, itu artinya defisitnya terus membesar. Apakah ditutup dengan utang luar negeri? Masalahnya nggak ada negara yang ngutangi," demikian kata Dzulfian.
Rencana pemerintah terkait dengan PPN Sembaki terungkap dalam draf revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Perpajakan yang bocor ke masyarakat.
Salah satu item rencana peningkatan PPN Sembako dinaikkan menjadi 12 persen.