Syahrial Nasution dan M Qodari./Repro
Perseteruan antara Direktur Eksekutif Indo Barometer, Mohammad Qodari dengan Deputi Balitbang DPP PD Syahrial Nasution, dinilai tak perlu terjadi jika pengamat dan politisi memahami fungsi masing-masing dengan baik.
Pengamat tidak boleh memposisikan diri sebagai “dewa†kebenaran. Apalagi jika pengamatannya belum didukung oleh basis riset yang memadai. Mereka juga dituntut menggunakan diksi bahasa yang netral dan tidak kontroversial dalam komentar-komentarnya.
Sebaliknya, politisi juga tak perlu terlalu reaktif jika pendapatnya disanggah pengamat. Sebab, sanggahan pengamat sekeras apapun masih bisa diuji kesahihannya dalam diskusi-diskusi di ruang publik.
Demikian dikatakan oleh pengamat dan praktisi strategi komunikasi politik, Fajar Shodik.
Seperti diketahui, awal mula polemik ini terjadi saat Qodari meremehkan proyeksi duet AHY-Airlangga di Pilpres 2004. Ia bahkan menggunakan kata “halu†atau halusinasi saat mengomentari wacana untuk mengusung pasangan tersebut.
Komentar pedas Qodari itu dibalas dengan ungkapan “periuk nasinya retak†oleh Syahrial. Sang Deputi Balitbang juga menyoroti posisi Qodari yang dianggap cenderung pro-Moeldoko dalam perseteruan perebutan PD. Respon ketus Syahrial menjadikan Qodari berang sehingga meminta Ketua Umum PD mencopot Syahrial dari jabatannya.
“Saya kira, lebih baik Qodari dan Syahrial bertemu dan saling mengklarifikasi. Tindakan untuk mengakhiri polemik akan baik dampaknya bagi hubungan pengamat dan politisi secara umum,†ujar alumnus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) itu kepada redaksi, Rabu (9/6).
Menurut Fajar, selain perlunya pengamat dan politisi saling menghormati, garis tegas yang membedakan pengamat dan politisi juga harus selalu dijaga.
Mantan penasehat media Fraksi Hanura DPR RI itu prihatin, akhir-akhir ini publik kerap bingung lantaran sulit membedakan pengamat dan politisi. Pendapat-pendapat sebagian pengamat secara terang benderang cenderung mewakili salah satu kubu dalam pertikaian politik.
“Sebagian pengamat cenderung berat sebelah. Seharusnya wadah organisasi pengamat atau lembaga survei dapat mendiskusikan isu-isu etika jika ada anggota mereka yang dianggap terlalu berpihak sehingga kurang jujur,†lanjutnya.
Fajar menilai, jika organisasi pengamat dan lembaga survei tak merasa perlu mendiskusikan isu-isu etika dalam pengamatan, komentar, maupun survei mereka, dikuatirkan perseteruan pengamat dan politisi makin banyak muncul di masa mendatang.