Presiden AS Joe Biden/Net
AMERIKA Serikat terus mendorong Mesir sebagai mediator, dalam rangka mempertahankan gencatan senjata tanpa syarat antara Israel-Hamas yang berlaku efektif sejak Jumat (21/5/2021).
Ada dua hal yang dilakukan Kairo; Pertama, mengirimkan tim ke Gaza dan Tel Aviv, untuk meyakinkan kedua belah pihak pentingnya mempertahankan gencatan senjata bagi keduanya.
Kedua, membuka pintu gerbang Rafah untuk dijadikan pintu masuk dari Mesir ke Gaza, berbagai bantuan kemanusiaan, seperti: makanan, obat-obatan, dan keperluan sehari-hari, yang datang dari seluruh dunia, baik atas nama negara maupun lembaga amal.
Setelah itu, Washington mengirim Menlunya Antony Blinken untuk mengunjungi Timur Tengah, dalam rangka menemui Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di Tel Aviv dan Otoritas Palestina di Tepi Barat, disamping menemui para pemimpin Arab tetangga Israel, sebagai upaya membangun landasan yang kondusif bagi penyelesaian jangka panjang yang bersifat permanen.
Presiden Joe Biden berkali-kali mengutarakan, bahwa penyelesaian masalah Palestina-Israel dengan formula Two States Solution, merupakan pilihan yang paling rasional dan realistis. Keputusan ini sejalan dengan pandangan PBB dan mayoritas negara di dunia.
Sebagaimana dilaporkan
Reuters, pada waktu berdekatan, Washington juga mengirim Kenneth F. McKenzie yang menjabat sebagai Kepala Pusat Komando Pasukan Amerika (CENTOM), untuk menemui sejumlah pemimpin Arab di Timur Tengah, untuk menjelaskan kepada mereka bahwa Amerika akan menarik pulang sebagian besar pasukannya dari kawasan ini, dan hanya menyisakannya sampai pada tingkat minimal.
Setelah selama sepekan melakukan perjalanan, kepada TV berita berbahasa Arab
Al Arabiya, McKenzie mengungkapkan adanya kekhawatiran dari sejumlah pemimpin Arab yang menjadi sahabat Amerika terhadap kebijakan ini yang perlu ia yakinkan.
McKenzie juga menyinggung kebijakan baru Amerika dengan mengalihkan perhatiannya dari Timur Tengah ke wilayah Asia Pasifik, terkait dengan meningkatnya ancaman terhadap Amerika yang datangnya dari Tiongkok.
Hal ini sejalan dengan agenda Joe Biden yang berusaha membendung kemajuan China yang terus menghantui peran dominan Amerika di tingkat global.
Menurut Kishor Mahbubani mantan duta besar Singapura di PBB yang kini menjadi gurubesar di National University of Singapore (NUS), walaupun secara ekonomi China masih di bawah Amerika, akan tetapi hanya masalah waktu saja untuk bisa menyalip kemudian menempatkan Beijing menjadi yang nomor satu.
Setelah berhasil memajukan ekonominya di dalam negeri, kini Tiongkok mengembangkan mega proyek ekonomi global yang berbasis pada pembangunan infrastruktur yang diberi nama OBOR atau BRI. Sebuah model kerjasama dengan prinsip kemajuan bersama yang sangat menarik bagi parnernya.
Mahbubani menilai prinsip yang tanpa syarat politik ini, sangat efisien dan efektif dibanding model yang dikembangkan Amerika yang sangat mahal, menuntut prasyarat politik dan HAM yang sifatnya sangat subyektif, bahkan tidak jarang disertai pendekatan intimidatif militeristik.
Jika OBOR/BRI sukses, maka dalam jangka panjang secara alamiah Amerika akan termarjinalisasi. Joe Biden tampaknya menyadari semua ini. Karena itu, dia sedang berusaha mengubah strategi ekonomi dan politiknya di tingkat global.
Apakah AS akan sukses atau gagal, sangat ditentukan oleh kemampuan Gedung Putih mengendalikan Tel Aviv yang menjadi anak emasnya di Timur Tengah, yang seringkali bertindak mengacaukan agenda besar Washington.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.