Berita

Foto ilustrasi/Net

Muhammad Najib

Dinasti Politik Dalam Perspektif Sejarah Islam

SENIN, 03 MEI 2021 | 13:41 WIB | OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB

MERUJUK pada kepemimpinan yang dicontohkan oleh Khalifahu Rasyidin atau empat khalifah yang lurus (tercerahkan), penerus kepemimpinan Rasulullah dalam mengurus negara, yang diakui oleh hampir semua ulama dan ahli sejarah Islam (tarikh), sebagai model ideal dalam kepemimpinan politik terkait kekuasaan dalam urusan negara.

Karena itu, para ulama maupun cendekiawan Muslim yang hidup sesudah era tersebut, menggunakannya sebagai rujukan untuk dijadikan pegangan, tentu disamping ayat-ayat Al-Quran yang terkait, hadits atau sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saat menjadi kepala negara Madinah.

Abu Bakar Assiddiq sebagai Khalifah (penerus/pelanjut Rasulullah) yang pertama, terpilih secara aklamasi atas usulan Umar bin Khattab, setelah melalui perdebatan yang panjang (sekitar 2 hari) di Pendopo Bani Saidah.


Khalifah kedua, Umar bin Khattab sebelum diangkat secara resmi setelah Abu Bakar meninggal dunia karena sakit, telah ditetapkan sebagai Putra Mahkota (Waliul Ahdi) terlebih dahulu, berdasarkan usulan Khalifah Abu Bakar yang kemudian didukung para sahabat.

Khalifah ketiga, Usman bin Affan dipilih melalui tim kecil berjumlah enam orang yang diusulkan oleh Khalifah Umar, yang saat itu sudah terluka akibat ditikam dengan menggunakan pisau beracun, saat menjadi imam shalat. Tim kecil ini kemudian menetapkan Usman. Tim kecil ini diberi nama: Ahl al Ikhtiyar atau Ahl al Syura atau Ahl al Hall wa al Aqd.

Saat Usman bin Affan sebagai Khalifah dibunuh, oleh kelompok pemberontak yang tidak puas atas kepemimpinannya yang dianggap nepotis, situasi politik menjadi keos karena adanya kekosongan kepemimpinan.

Ali bin Abi Thalib yang hendak dibaiat oleh para pemberontak menolak. Barulah setelah sejumlah sahabat dekat Rasulullah memintanya, ia bersedia menjadi Khalifah yang keempat.

Merujuk pada proses pemilihan empat khalifah di atas, dengan menggunakan terminologi yang lazim digunakan saat ini, semuanya terpilih secara demokratis melaui proses musyawarah pemuka atau perwakilan.

Memang yang paling banyak mendapatkan kritik, bila diukur dengan kriteria negara demokratis modern adalah proses pengangkatan Umar. Akan tetapi, tuduhan tidak demokratis dengan mudah terbantahkan, karena Umar tidak memiliki hubungan darah secara langsung dengan Abu Bakar.

Selain itu, jasa Umar yang luar biasa terhadap perjuangan Islam, disamping kecerdasan, dan kezuhudannya dalam masalah duniawi. Semua kelebihan Umar yang dilihat Abu Bakar ini semakin tampak nyata, saat beliau menjabat Khalifah, yang berhasil memperluas kekuasaan Islam ke luar wilayah Arab, sampai Persia di Timur dan Romawi di Barat.

Karena itu, tidak ada ulama maupun cendekiawan muslim, khususnya yang menekuni sejarah Islam (tarikh) yang mengkritik apa yang dilakukan Abu Bakar. Bahkan, sejumlah ulama menyanjungnya sebagai bagian dari kearifan sang Khalifah pertama ini.

Sayangnya, tradisi demokratis yang dicontohkan oleh Khalifahu Rasyidin di atas, tidak diteruskan oleh generasi kepemimpinan Islam sesudahnya. Karena masalah suksesi kepemimpinan digantikan dengan model kerajaan yang dipraktikan oleh raja-raja Persia dan Romawi saat itu, yang mewariskan kekuasaan secara turun-temurun.

Dalam sejarah Islam, tercatat yang pertama kali melakukan dinasti politik atau politik dinasti adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, dengan cara mengangkat anaknya Yazid bin Muawiyah sebagi penggantinya.

Meskipun Muawiyah dan para penerusnya meminjam model yang dilakukan oleh Abu Bakar, yakni pengangkatan putra mahkota (waliul ahdi) sebagai legitimasi, akan tetapi dinasti Umayyah selalu mengangkat putra mahkota berdasarkan hubungan darah, seperti: anak, saudara, atau menantu. Dengan kata lain, bukan karena kesalihan, kecakapan, pengabdian, atau pengorbanan yang pernah diberikannya pada negara.

Harus diakui, dibanding negara demokratis modern, ada sejumlah kelemahan tradisi suksesi yang masih dipraktikkan di sebagian dunia Islam sampai saat ini: Pertama, kekuasaan yang diwariskan secara turun-temurun. Hal ini mengakibatkan tertutupnya peluang bagi mereka yang tidak memiliki hubungan darah secara langsung dengan penguasa untuk menjadi kepala negara.

Kedua, tidak adanya pembatasan masa jabatan kepala negara. Hal ini terlihat dari kepemimpinan seumur hidup, yang terus dipraktikan oleh banyak negara di Timur Tengah sampai saat ini, baik yang masih berbentuk kerajaan absolut, maupun yang sudah berubah menjadi republik.

Ketiga, tidak adanya pengaturan suksesi yang dapat dijadikan pegangan secara baku, yang menjamin proses pergantian kepemimpinan akan berlangsung secara damai. Karena itu, seringkali suksesi diiringi dengan pertumpahan darah.

Secara teoritis maupun religius sebenarnya sangat mudah mengatasi persoalan yang dihadapi umat Islam dalam masalah kepemimpinan saat ini, yakni dengan kembali pada model suksesi yang dicontohkan oleh Khalifahu Rasyidin, yang sejalan dengan semangat negara demokratis modern.

Persoalannnya, bagaimana menghadapi para pemegang kekuasaan yang terlanjur menikmati manisnya madu kekuasaan?

Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya