Berita

Ilustrasi ekosistem digital/Net

Publika

Kehidupan Rapuh Dunia Digital

RABU, 21 APRIL 2021 | 14:31 WIB | OLEH: YUDHI HERTANTO

MENDUNIA! Bukan prestasi yang patut dibanggakan, tetapi tingkat kriminalitas yang dihasilkan dari kehidupan jejaring online. Dua pemuda di Jawa Timur dicokok karena menjadi penipu digital.

Tidak tanggung, sasarannya adalah warga Amerika, dengan total hasil penipuan senilai Rp 875 miliar. Bukan hanya itu, mekanisme kerjanya pun terintegrasi, membutuhkan pengetahuan serta pemahaman digital.

Kompleksitas kejahatan digital -cybercrime termasuk pelaku penipuan digital -scammer menjadi konsekuensi rasional dari kehidupan masyarakat dunia pada ruang maya.

Kejahatan bisa terjadi dimana saja, dan kapan saja, maka waspadalah, begitu kata bang Napi. Membaca berita mengenai kerja para penipu digital ini cukup menyenangkan. Sistematis dan rinci memasang jebakan penggalian data.

Pertama: para pelaku paham akan adanya program bantuan sosial Covid-19 ala Paman Sam serta pengurusan Pandemic Unemployment Assistance (PUA). Kedua: mereka mempersiapkan website palsu, dan menyebar link tautan melalui broadcast message ke sasaran terdata.

Hingga yang Ketiga: seluruh data tersimpan dikelola dan dijadikan sebagai pemohon bantuan, hingga akhirnya pemerintah Amerika terkelabui dan menggelontorkan dana bantuan. Para penipu ini juga berkolaborasi lintas negara.

Kejahatan yang nyaris sempurna, direncanakan secara spesifik dan dieksekusi secara rapi oleh para kriminal tersebut. Sayangnya, tidak ada kejahatan yang terlahir tanpa cacat, karenanya mereka tertangkap.

Tapi ini bukan soal cerita detektif Conan dalam membongkar tabir gelap misteri penipuan dan pencurian data termasuk penggelapan dana bantuan, tetapi sekaligus menjadi isyarat kuat bahwa integrasi digital memiliki persoalan serius.

Jagat Digital


Kita kini hidup di era digital. Tidak terbantahkan, proses digitalisasi meliputi semua aspek kehidupan. Pandemi dan keharusan untuk menjaga jarak sosial membentuk budaya digital yang semakin mendalam tanpa terkecuali.

Transformasi digital terjadi dalam skala raksasa dan menyentuh seluruh bidang yang dulunya masih dilakukan secara konvensional dan tradisional. Sebuah keniscayaan.

Situasi tersebut jelas memperlihatkan premis Firman Kurniawan, dalam Digital Dilemma, 2020, bahwa realitas kehidupan digital membawa dua sisi baik-buruk secara bersamaan, menciptakan ruang yang menyulitkan tapi harus dilewati.

Lebih jauh, hal serupa juga dinyatakan Agus Sudibyo, pada Jagat Digital, 2020, yang menyebut kehadiran ruang digital menjadi sarana pembebasan sekaligus menciptakan terjadinya penguasaan.

Teknologi yang menjadi motor dari kehidupan digital tidak bebas nilai dan tidak pula bebas kepentingan. Era digital adalah manifestasi dari tahap perkembangan serta modernisasi corak ekonomi kapitalisme.

Jagat digital adalah imajinasi wilayah nir-batas, yang memungkinkan hal positif tercampur berbagai pengotornya. Terdapat motif ekonomi yang dominan tanpa disadari.

Kondisi tersebut juga menandakan kecerdasan tidak lagi hadir sejalan dan bersama dengan kearifan. Sangat mungkin timpang dan pincang.

Kejahatan digital sebagaimana dikemukakan di awal, adalah indikasi sederhana yang mungkin dapat dipergunakan pada level mikro-individual, sebagaimana pencurian data pribadi dan penipuan di ranah online.

Kita masih memiliki celah persoalan di tingkat makro dalam kehidupan sosial yang juga perlu dicermati sebagai lokasi yang rentan dan memiliki kerapuhan dari keberadaan abad digital ini.

Hidup yang Terlipat

Adopsi digital membuat kita harus beradaptasi. Konstruksi sosial dari penggunaan teknologi digital terjadi, sebagaimana Yasraf Piliang melalui Dunia yang Dilipat, 2020 menyebut bahwa fenomena kecepatan dan percepatan teknologi seakan melihat ruang dan waktu dalam sekejap.

Hal tersebut berimbas pada terbentuknya berbagai lipatan dalam kehidupan, rentang waktu dan ruang semakin pendek, terjadi penumpukan, segala sesuatu kemudian bersifat memadat, dan ketergesaan adalah ciri penanda hidup digital.

Tantangan dalam konteks makro kehidupan sosial yang diformulasikan melalui bentuk negara juga berhadapan dengan ancaman digital, meski dalam spektrum yang berbeda.

Polarisasi, berita bohong dan industri buzzer menandai sebuah babak baru dari model dan teknik usang propaganda politik.

Rumus bakunya, kekuasaan membutuhkan alat legitimasi, dan dunia digital dengan segala kompleksitasnya memungkinkan untuk mengakomodasi kepentingan tersebut.

Ditingkatkan mikro kriminalitas digital marak, sementara itu pada level makro terbentuk rezim pengawasan digital yang ketat baik dalam cakupan negara maupun para perusahaan teknologi yang menjadi penyedia platform.

Kita harus memahami, bahwa ada hal-hal yang menyertai kemajuan dan perkembangan digital, lebih dari sekedar bisnis startup berstatus unicorn dengan segala dampaknya, termasuk mengawasi gerak-gerik kehidupan rutin kita.

Pun pada persoalan dan urusan yang terkait isu politik. Manipulasi opini publik mampu terjadi melalui peran teknologi digital dan media sosial, persis dituangkan Agus Sudibyo dalam Tarung Digital, 2021, yang disebut sebagai propaganda komputasional.

Peristiwa kemenangan politik Trump 2016, dan pada saat yang hampir bersamaan keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa yang dikenal sebagai Brexit menjadi momentum reflektif atas dampak buruk dari pola propaganda digital.

Di tanah air kita bertemu dengan sengitnya kontestasi politik pada Pemilu 2019, dampaknya adalah pengelompokan sosial yang rentan serta berpotensi terjadinya konflik horizontal, sebuah situasi yang dimainkan oleh para aktor politik.

Kita tengah berada di sebuah masa yang disebut dalam Oxford Dictionaries 2016 sebagai Post Truth, ketika batas kebohongan dan kebenaran bercampur-baur dan kita kehilangan kemampuan untuk melihat realitas kebenaran sebagaimana adanya. Fakta tidak lagi menjadi relevan.

Kini satu yang dibutuhkan adalah kesadaran kolaboratif untuk keluar dari jebakan lubang tidak berujung dunia digital. Menjadi tanggung jawab bersama. Big power, big money, big responsibility.

Yudhi Hertanto
Penulis beraktivitas di Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

UPDATE

Prabowo-Gibran Perlu Buat Kabinet Zaken

Jumat, 03 Mei 2024 | 18:00

Dahnil Jamin Pemerintahan Prabowo Jaga Kebebasan Pers

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:57

Dibantu China, Pakistan Sukses Luncurkan Misi Bulan Pertama

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:46

Prajurit Marinir Bersama Warga di Sebatik Gotong Royong Renovasi Gereja

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:36

Sakit Hati Usai Berkencan Jadi Motif Pembunuhan Wanita Dalam Koper

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:26

Pemerintah: Internet Garapan Elon Musk Menjangkau Titik Buta

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:26

Bamsoet Minta Pemerintah Transparan Soal Vaksin AstraZeneca

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:16

DPR Imbau Masyarakat Tak Tergiur Investasi Bunga Besar

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:06

Hakim MK Singgung Kekalahan Timnas U-23 dalam Sidang Sengketa Pileg

Jumat, 03 Mei 2024 | 16:53

Polisi Tangkap 2.100 Demonstran Pro-Palestina di Kampus-kampus AS

Jumat, 03 Mei 2024 | 16:19

Selengkapnya