Berita

Test Covid-19 di India/The Guardian edisi 28 Januari 2021

Publika

Belajar Dari India, Tinggalkan Pencitraan, Dan Bersikaplah Kesatria

MINGGU, 18 APRIL 2021 | 11:45 WIB

SAYA terkejut ketika membaca berita pernyataan Presiden Jokowi tentang penanganan Indonesia mengatasi Covid-19. Saat menyampaikan sambutan pada sidang MPL-PGI 2021 beberapa hari lalu, dia menyatakan bahwa negara kita termasuk yang bisa mengendalikan 2 krisis sekaligus. Baik di bidang kesehatan maupun ekonomi (Baca: Presiden Jokowi Bersyukur Bisa Kendalikan Krisis Kesehatan dan Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19).

Pernyataannya justru disampaikan dalam waktu yang hampir bersamaan dengan penjelasan Budi G. Sadikin. Menteri Kesehatan yang baru diangkatnya beberapa waktu lalu itu, justru secara terbuka mengungkapkan sejumlah kekeliruan dalam penangan yang dilakukan pemerintah selama ini.

Bahwa pelaksanaan tes yang kita lakukan ternyata tak sesuai pedoman epidemiologi. Dia pun meragukan sistem informasi dan pendataan kementerian yang dipimpinnya. Padahal sangat penting dan strategis untuk menyukseskan vaksinasi yang kini sedang digalakkan (Baca: Budi Sadikin yang Ksatria).

Berselang sehari kemudian, Presiden Joko Widodo  justru mengutarakan keprihatinan. Ketika jumlah kasus positif di Indonesia menembus angka 1 juta. Padahal tanda-tanda 'pencapaian' itu, sesungguhnya begitu mudah 'terbaca'. Karena jumlah kasus yang kita catatkan, dari hari ke hari sedang cenderung mencetak 'rekor' lebih tinggi (Baca: Jokowi Berduka, Kasus Positif Covid-19 Indonesia Tembus 1 Juta Orang).

Kemarin, Lowy Institute sebuah lembaga think tank non partisan yang berpusat di Sidney, Australia, justru mempublikasikan kesimpulan yang bertolak belakang dengan pernyataan Joko Widodo. Dari 98 negara yang diteliti soal efektivitas menangani pandemi, Indonesia justru  menempati posisi 85 (skor 24,7). Setingkat lebih baik dari India yang menempati posisi 86 (skor 24.3). (Baca: Covid Performance Index)

Australia sendiri berada pada urutan ke 8 dengan skor 77,9. Sementara yang terbaik penanganannya, menurut lembaga itu, adalah Selandia Baru (skor 94,4).

Di kalangan negara-negara Asia Tenggara, Thailand  berada di urutan ke empat dengan skor 84,2. Singapore ke 13 (74,9). Malaysia ke 16 (71,0). Sementara Filipina hampir seburuk Indonesia. Meski mereka menempati urutan ke 79 dengan skor 30,6.

Lowy Institute melakukan pemeringkatan berdasarkan data yang tersedia hingga tanggal 9 Januari 2021.  Indikator-indikator yang mereka gunakan adalah jumlah kasus dan kematian yang terkonfirmasi. Baik secara absolut maupun per sejuta penduduk. Juga memperhatikan perbandingan jumlah kasus terkonfirmasi terhadap tes yang dilakukan. Lalu jumlah tes terhadap jumlah penduduk masing-masing negara.

Perkembangan keenam indikator tersebut dicermati secara harian selama 36 minggu terakhir. Kemudian dikorelasikan dengan sistem politik setiap negara, jumlah penduduk, kondisi geografi, dan tingkat kemajuan ekonominya.

Tentu benar jika Joko Widodo menyampaikan pandangannya dengan membandingkan negara kita terhadap Amerika. Sebab, negara adikuasa yang di bawah kepemimpinan Donald Trump kemarin, memang kacau balau dalam menangani pandemi ini. Lowy Institute menempatkan mereka pada posisi ke 94. Empat negara lain yang berada di bawahnya adalah Iran, Columbia, Mexico, dan Brazil sebagai negara yang memiliki skor terburuk (4,3).

Saat ini, ketika informasi demikian mudah diperoleh dan mampu tersebar luas dalam waktu yang begitu singkat, masing-masing pihak mestinya menahan diri dan bersikap hati-hati sebelum menyampaikan pernyataan. Apalagi bagi seorang kepala negara dan pemimpin pemerintahan. Sebab sangat terkait dengan kredibilitas yang bersangkutan.

Sikap bijaksana untuk mengelaborasi lebih lanjut setiap pernyataan yang sudah dikeluarkan, andai menimbulkan kontroversi, tentu sangat diharapkan. Agar tak menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Termasuk mengakui kekeliruan. Jika memang demikian adanya.

Sebab, kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap kepemimpinan pemerintahan yang sedang berupaya mengatasi persoalan berat dan rumit sekarang, perlu dijaga. Bagaimana pun pandemi ini harus kita hadapi dengan cara bahu-membahu. Partisipasi dan dukungan publik kepada pemerintah yang (kerap) diragukan kepemimpinannya, tentu tak bakal mudah diperoleh.

Sebagaimana yang telah disampaikan pada tulisan sebelumnya (re: 'Budi Sadikin yang Kesatria', 27 Januari 2021), kemungkinan besar vaksinasi adalah satu-satunya cara terbaik yang tersisa untuk mengatasi pandemi ini. Pernyataan Joko Widodo yang mengatakan, penanganan krisis kesehatan dan krisis ekonomi di tengah pandemi sekarang telah ditangani pemerintah dengan baik, tentu terkesan bertolak belakang dengan pernyataan menteri yang justru menangani urusan teknisnya.

Saat ini, memang bukan saatnya untuk saling menyalahkan. Presiden Joko Widodo sebaiknya dapat bersikap tak kalah ksatria. Dengan cara mendukung penuh segala upaya perbaikan yang dibutuhkan. Atas kekeliruan penanganan yang dilakukan pemerintahannya kemarin. Semata agar upaya vaksinasi yang sedang berlangsung dan mempertaruhkan begitu besar sumberdaya bangsa yang sedang sekarat ini, berhasil dan tak sia-sia.

Soal harapan terjadinya kekebalan komunal (herd immunity) lewat vaksinasi untuk mengatasi pandemi, pengalaman India mungkin dapat dijadikan sebagai salah satu acuan (Baca: Dramatic Drop in Covid Cases Gives India Hope of Return to Normal Life).

Kini, jumlah kasus sehari-hari di India berada pada kisaran 12 ribu. Penurunan drastis (3 bulan lalu mereka masih mencatat 90 ribuan kasus harian) tersebut, telah membangkitkan harapan mereka untuk kembali pada kehidupan normal.

Negara dengan jumlah kasus positif tertular virus corona terbanyak kedua di dunia itu, efektivitas penanganan yang dilakukannya memang dinilai buruk. Mereka menempati peringkat ke 86 (tepat di bawah Indonesia).

Tapi salah satu dugaan terkait penurunan drastis jumlah kasus tersebut, disinyalir dari perkembangan tingkat imunitas komunalnya. Survey yang pernah dilakukan akhir-akhir ini, mengindikasikan 50 hingga 60 persen respondennya telah memiliki antibodi di tubuh mereka. Hanya terpaut sedikit dari standar 60 hingga 70 persen yang ditetapkan WHO untuk memutus rantai penularan.

Dugaan berkembangnya herd immunity 'tak sengaja' di sejumlah kota besar penyumbang utama kasus Covid-19 di India tersebut, terkait dengan besarnya jumlah penduduk yang telah terpapar virus corona selama ini. Apalagi dengan tingkat disiplin masyarakatnya yang rendah terhadap penggunaan masker dan menjaga jarak. Tapi, setelah musim perayaan tradisi di bulan Oktober dan November kemarin, ternyata mereka tak mengalami lonjakan jumlah kasus yang besar lagi.

Dr Nirmalya Mohapatra dari rumahsakit Ram Manohar Lohia, New Delhi, yang diwawancarai The Guardian, mengatakan bahwa belakangan ini mereka tak lagi dikunjungi satu pasien pun yang terkait dengan Covid-19. Sejak April tahun lalu, jumlah pasien yang mereka tangani sekarang, merupakan yang terendah.

Sekitar 70 persen kasus di India, memang terkonsentrasi di 7 negara bagian yang kini mencatat penurunan angka harian yang drastis. Tapi setengah jumlah kasus baru saat ini, justru tercatat di Kerala, kawasan yang sebelumnya dinyatakan berhasil mencegah penularan.

Belajar dari kasus di India tersebut, Indonesia mungkin perlu mempertimbangkan untuk memperioritaskan vaksinasi pada kawasan maupun lingkungan yang selama ini mencatat jumlah kasus yang rendah terlebih dahulu. Sebab di sanalah imunitas komunal (herd community) yang perlu segera terbentuk.

Berbicara kawasan atau lingkungan yang mencatat kasus terkecil, artinya berkaitan dengan sistem informasi dan pendataan epidemiologi yang baik. Jadi, keresahan yang melatar belakangi pernyataan jujur Budi Sadikin beberapa waktu lalu itu, benarlah adanya.

Maka memang bukan upaya pencitraan lewat klaim yang tak cukup didukung data ilmiah, yang perlu dilakukan sekarang ini. Tapi menyusun dan mengembangkan langkah berdasarkan kajian ilmiahlah yang perlu dilakukan.

Semoga Presiden Joko Widodo paham.

Jilal Mardhani

Pengamat ekonomi dan keuangan daerah

Populer

Ini Kronologi Perkelahian Anggota Brimob Vs TNI AL di Sorong

Minggu, 14 April 2024 | 21:59

Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Resmi Tersangka KPK

Selasa, 16 April 2024 | 07:08

Rusia Pakai Rudal Siluman Rahasia untuk Bombardir Infrastruktur Energi Ukraina

Jumat, 12 April 2024 | 16:58

Pemberontak Menang, Pasukan Junta Ngacir Keluar Perbatasan Myawaddy

Kamis, 11 April 2024 | 19:15

Megawati Peringatkan Bakal Terjadi Guncangan Politik Setelah Jokowi Jadi Malin Kundang

Kamis, 11 April 2024 | 18:23

Tim Kecil Dibentuk, Partai Negoro Bersiap Unjuk Gigi

Senin, 15 April 2024 | 18:59

Megawati Bermanuver Menipu Rakyat soal Amicus Curiae

Kamis, 18 April 2024 | 05:35

UPDATE

TKN Bentuk Satgas Antisipasi Kehadiran Relawan dan Pendukung di MK

Jumat, 19 April 2024 | 23:32

Jawab Berbagai Tuduhan Miring, PT NDK Resmi Bubar Sesuai Hukum

Jumat, 19 April 2024 | 23:05

Gara-gara Peta Maroko, Kesebelasan Renaissance dari Berkane Dilarang Masuk Aljazair

Jumat, 19 April 2024 | 23:04

Bukan Farhan, Nasdem Ternyata Siapkan Sosok Ini untuk Pilwalkot Bandung

Jumat, 19 April 2024 | 22:49

Prabowo Minta Pendukung Tidak Turun Aksi saat Putusan MK

Jumat, 19 April 2024 | 22:34

Relawan Desak MK Buka Jalan Kemenangan Prabowo-Gibran

Jumat, 19 April 2024 | 22:05

Bertemu Menkeu Selandia Baru, Sri Mulyani Tukar Cerita Soal Kelola APBN

Jumat, 19 April 2024 | 21:58

Buntut Serangan ke Israel, AS Batasi Akses Teknologi Iran

Jumat, 19 April 2024 | 21:40

Viral Video Mesum Warga Binaan, Kadiv Pemasyarakatan Jateng: Itu Video Lama

Jumat, 19 April 2024 | 21:35

Ajukan Peninjauan Kembali, PT BMI Bawa 7 Bukti Baru

Jumat, 19 April 2024 | 21:33

Selengkapnya