Pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad/Repro
Perlu diapresiasi political will (kehendak politik) dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta DPR RI merevisi UU 19/2016 sebagai perubahan UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Namun demikian, bagaimana keinginan politik Presiden itu mampu melahirkan sebuah produk yang betul-betul bermakna secara signifikan menjawab persoalan yang mendasar.
Demikian disampaikan pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof Suparji Achmad saat menjadi narasumber dalam diskusi daring Tanya Jawab Cak Ulung, bertajuk "
Seberapa Pentingkah Revisi UU ITE?" Yang diselenggarakan
Kantor Berita Politik RMOL, pada Kamis (18/2).
"Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden bahwa diduga ada persoalan ketidakadilan dalam proses penegakan hukum," kata Suparji.
Oleh karena itu menurut Suparji, hal yang menjadi sangat penting adalah bagaimana merevisi tentang apa yang dimaksud ketidakadilan dalam proses penegakan hukum di dalam UU ITE sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi itu sendiri.
"Apakah karena tebang pilih menyerang lawan, menyelamatkan teman, atau bagaimana?" tegasnya.
"Jadi ini yang harus diperjelas makna tentang ketidakadilan akibat implementasi UU ITE," imbuh Suparji menegaskan.
Suparji menambahkan, poin Presiden Jokowi soal adanya praktek ketidakadilan dalam penerapan UU ITE menjadi pertanyaan mendasar dari revisi UU ini.
"Apakah mungkin, karena kelompok-kelompok kritis sudah tidak ada lagi? Kemudian ada teman-teman tertentu yang mau dijerat itu kemudian perlu diselamatkan dengan revisi UU ITE ini? sehingga kemudian menjadi adil?" pungkasnya.
Selain Prof Suparji, narasumber lain dalam diskusi daring Tanya Jawab Cak Ulung, bertajuk "
Seberapa Pentingkah Revisi UU ITE?" yakni Wakil Ketua MPR RI dan anggota Komisi III DPR Fraksi PKB Jazilul Fawaid.