Turki menepis dugaan bahwa perjanjian ekstradisi dengan pemerintah China akan berimbas pada pengiriman Muslim Uighur secara massal ke negara China. Pernyataan itu ditegaskan oleh konsulat China di Istambul saat menerima 20 perwakilan Uighur berkewargaan Turki.
Kedatangan mereka tidak lama setelah parlemen China mengumumkan pengesahan perjanjian ekstradisi 2017 dengan pemerintah Turki.
Ankara sebenarnya belum meratifikasi perjanjian itu, tetapi persetujuannya di Beijing telah membuat komunitas Uighur Turki yang diperkirakan berjumlah 50.000 orang diterpa kecemasan. Banyak yang mengkhawatirkan bahwa perjanjian itu akan digunakan Beijing untuk mempercepat pemulangan pengungsi Uighur yang dicurigai melakukan terorisme.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu tidak mengatakan kapan parlemen Turki akan menegaskan lagi kesepakatan tersebut. Dia hanya mengatakan bahwa persetujuan Turki terhadap perjanjian ekstradisi tidak berarti Turki akan mendeportasi pengungsi Uighur ke China.
“Hingga saat ini, masih ada permintaan pemulangan dari China terkait Uighur di Turki. Dan Anda tahu Turki belum mengambil langkah seperti ini," kata Cavusoglu, seperti dikutip dari Al Arabiya, Rabu (30/12).
Ia menambahkan, alangkah tidak adil jika kesepakatan ekstradisi itu berarti mendeportasi pengungsi Uighur.
"Kami lebih sensitif terhadap masalah seperti itu dibanding yang lain,†katanya.
Salah seorang etnis Uighur berkewarganegaraan Turki merasa optimis bahwa Turki akan melakukan yang terbaik, sementara dirinya sendiri mah dicekam kekhawatiran karena anak-anaknya masih tertahan di Xinjiang.
“Insya Allah, kami berharap negara kami tidak akan menyetujui hal seperti itu,†katanya. “Tapi jika ya, kami sangat khawatir. Karena bagi China, 50 ribu orang Uighur yang tinggal di sini adalah penjahat."
Aktivis hak asasi manusia mengatakan Xinjiang adalah rumah bagi jaringan luas kamp interniran di luar hukum yang telah memenjarakan setidaknya satu juta orang
China mengatakan kmap-kamp tersebut pusat pelatihan kejuruan untuk melawan ekstremisme.
Di wilayah Xinjiang (barat laut), China telah memulai kebijakan pengawasan maksimum terhadap warga Uighur setelah terjadi banyak serangan mematikan terhadap warga sipil di sana. Beijing menyalahkan serangan kepada separatis Uighur dan gerakan Islamis.
Menurut para ahli asing, otoritas China telah menahan setidaknya satu juta orang, termasuk Uighur, di ‘kamp’ mereka. Beijing menolak tuduhan yang dilancarkan Barat itu.
Berulang kali otoritas China mengatakan bahwa kamp yang dituduhkan pihak Barat adalah ‘pusat pelatihan kejuruan’, bukan penjara atau tahanan. Kamp itu dimaksudkan untuk membantu melatih kembali penduduk yang sempat terlibat ekstremisme dengan berbagai keahlian.
Beberapa orang Uighur yang diyakini menjadi korban penganiayaan telah melarikan diri ke Turki.