PERDANA Menteri Israel Benjamin Netanyahu didampingi Kepala Mossad Yossi Cohen, diberitakan diam-diam terbang ke Saudi Arabia pada Minggu (22/11/2020) waktu setempat.
Jika benar, maka ini untuk pertamakalinya seorang Perdana Menteri negara Zionis menginjakkan kaki di negara yang disebut sebagai pelayan dua kota suci Islam (Hadamun Haramain). Harian Israel Haaretz menkonfirmasi kepergian dua tokoh penting Isreal ini dengan menunjukkan flight-tracking.
Di Saudi, Netanyahu dilaporkan bertemu dengan Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman, yang dikenal dengan panggilan MBS di kota baru Neom, yang terletak di sisi Barat Hijaz di tepi Laut Merah. Tidak ada informasi apa yang dibicarakan antara keduanya, menunjukkan kerahasiaan tingkat tinggi dari pertemuan ini.
Kantor berita bergengsi yang bermarkas di London
Reuters, juga mempublikasikan berita ini pada Senin (23/11/2020), dengan merujuk pada laporan radio publik Israel,
Kan dan
Army Radio yang menyebut bahwa Netanyahu juga bertemu Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Mike Pompeo, yang juga sedang berkunjung ke Saudi. Tampaknya terjadi pertemuan segitaga antara Netanyahu, Pompeo, dan MBS.
Aljazeera yang bermarkas di Doha menkonfirmasi pertemuan diantara ketiga orang penting Amerika, Israel, dan Saudi Arabia ini melalui Yoav Gallant yang menjabat sebegai Menteri Pendidikan Israel.
Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Faisal bin Farhan sebagaimana dilansir
AFP yang bermarkas di Paris, telah membantah pertemuan antara Netanyahu dengan MBS, walakin bantahan itu disampaikan hanya melalui akun Twitternya, bukan dalam bentuk konprensi pers resmi atau melalui pernyataan terbuka dalam kapasitasnya sebagai Menlu.
Saudi Arabia seringkali menyangkal pemberitaan para petingginya yang berhubungan dengan Israel, meskipun faktanya hal tersebut telah dilakukannya berulangkali, dan salah satunya ketika MBS secara diam-diam mengunjungi Tel Aviv. Bagi rakyat Saudi Arabia, dan bangsa Arab pada umumnya berhubungan dengan Zionis Israel merupakan aib besar.
Sebaliknya, Israel berkepentingan untuk memberitakan pertemuan para pejabatnya dengan para petinggi dunia Arab, disamping hal ini memberikan kredit poin sebagai capaian politik dalam kontek politik domestik dan sebagai bentuk upayanya mengabaikan Palestina, hal ini sekaligus untuk menekan negara-negara Arab yang belum mau berhubungan dengan negara Zionis tersebut.
Mengingat kebanyakan para pejabat negara Arab yang dikunjungi para petinggi Israel tidak ingin pertemuan-pertemuan seperti ini diketahui publik, maka Israel memilih dengan cara membocarakannya seolah tidak sengaja.
Langkah-langkah politik yang dilakukan Pompeo, Netanyahu, dan MBS tentu tidak bisa dilepaskan dari kekalahan Donald Trump dalam pilpres di Amerika beberapa hari yang lalu. Netanyahu dan MBS sebagai sekutu dekat Trump tampaknya tidak ingin menyerah begitu saja, sebelum Trump meninggalkan Gedung Putih.
Bisa dibayangkan kesulitan Israel dan Saudi Arabia bila Joe Biden yang memiliki kebijakan berbeda dengan pendahulunya saat menghuni Gedung Putih, mengingat keduanya telah kewalahan menghadapi Turki dan Iran meskipun didukung penuh oleh Presiden Trump saat menjadi orang nomor satu di Amerika.
Saudi Arabia kalah dalam
proxy war melawan Iran di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman. Sementara Israel kewalahan menghadapi Hizbullah di Lebanon, Hammas di Palestina, dan Rezim Basyar Al Assad di Suriah, yang semuanya didukung Iran.
Saudi Arabia juga kewalahan dalam
proxy war -nya melawan Turki di Suriah, Libia, Tunisia, dan Qatar. Kini mereka sedang bertarung di Sudan. Saudi Arabia hanya menang di Mesir, ditandai dengan tergulingnya Presiden Muhammad Mursi yang didukung Ikhwanul Muslimin.
Jadi Israel dan Saudi Arabia seperti memiliki
common enamy . Kini keduanya bersatu untuk menghadapi Turki dan Iran. Karena tidak mungkin menghadapi keduanya secara bersamaan, maka tampaknya koalisi Saudi-Israel memilih menghadapi Iran terlebih dahulu. Hal ini bisa dilihat dari upaya Raja Salman mendekati Presiden Turki Erdogan, dan upaya Presiden Mesir Gendral Sisi meredakan ketegangan dengan Turki.
Perjalanan tidak lazim Pompeo selaku tangan kanan Donald Trump yang menjabat Menlu Amerika ke Israel dan sejumlah negara Arab, saat transisi kekuasaan yang tidak mulus di negaranya sedang berlangsung, tentu menimbulkan kecurigaan.
Michael Fuchs menulis artikel di
The Guardian dengan judul:
Mike Pompeo is the number one evangelists of Trumpism in the world . Ideologi politik kelompok evangelist sejalan dengan ideologi Zionis Israel, karena itu di masa Donald Trump menghuni Gedung Putih, kedua kekuatan ini bergabung untuk menghancurkan Palestina dan negara-negara yang memusuhi Israel.
Sebelum menyerahkan kekuasaannya kepada Biden pada 20 Januari mendatang, tampaknya Trump masih melakukan manuver politik bersama Netanyahu dan MBS. Bagi Trump yang tidak rela menyerahkan kekuasaan kepada Biden yang sangat dibencinya, bukan mustahil di sisa masa jabatannya akan mengambil tindakan tertentu terhadap Iran yang nantinya akan menjadi beban tidak terselesaikan untuk sang pengganti.
Jadi semacam perangkap yang disiapkannya untuk menggagalkan Joe Biden sebagai Presiden Amerika. Mungkin Trump lupa bahwa beban ini tidak hanya akan ditanggung Joe Biden sebagai pribadi, akan tetapi juga oleh seluruh rakyat Amerika.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.