Ketua LPBI, M. Ali Yusuf/Net
Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) PBNU, M. Ali Yusuf mengatakan, kesadaran publik tentang risiko bencana harus terus ditumbuhkan dengan cara memperkuat literasi kebencanaan.
Selain literasi, masyarakat perlu ditingkatkan kapasitasnya agara dapat melakukan pengelolaan risiko bencana sehingga diharapkan budaya sadar risiko bencana akan muncul.
Menurutnya, saat ini budaya sadar risiko bencana masih menjadi pekerjaan rumah besar di Indonesia.
Padahal sadar risiko bencana harus menjadi gaya hidup. Banyak orang yang tidak tahu potensi risiko bencana yang ada di tempat dan daerahnya.
“Di situasi pandemi Covid-19 saat ini, betapa banyak orang atau pihak yang belum sadar risiko yang akan dihadapi jika tidak melaksanakan protokol kesehatan. Bahkan, masih ada yang tidak percaya bahwa pandemi itu ada dan menebar risiko bagi siapa pun," ujar Ali, Jumat (23/10).
Dijelaskan Ali Yusuf, jika budaya sadar risiko pandemi Covid-19 sudah tumbuh, maka protokol kesehatan pasti akan dijalankan. Dengan demikian potensi infeksi Covid-19 dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan.
Dikatakan Ali Yusuf, sadar risiko bencana itu bukan berarti tidak sekadar tahu dan pasif. Tetapi, aktif melakukan upaya pengelolaan risiko bencana secara serius berbasis penilaian kapasitas yang dimiliki agar risiko dapat dikurangi atau bahkan bisa jadi dihilangkan.
"Karena sadar risiko bencana bukanlah sesuatu yang dihasilkan dari proses yang instan dan membutuhkan komitmen yang tinggi," demikian kata Ali Yusuf.
Secara khusus santri, lanjut Ali, harus melakukan upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan pengelolaan risiko bencana.
Ali kemudian menyebutkan bahwa di kalangan pesantren upaya tersebut dapat dilakukan melalui banyak cara misalnya melalui program Santri Siaga Bencana.
Ia mengatakan, para santri perlu mengawalinya dengan melakukan penilaian risiko, menyusun rencana aksi mitigasi dan kesiapsiagaan dan melaksanakannya, melakukan advokasi kebijakan, memperkuat koordinasi dengan berbagai pihak dan melakukan uji sistem dan mekanisme kesiapsiagaan melalui serangkaian simulasi.
"Proses dan tahapan tersebut harus terus menerus dilakukan secara kontinyu oleh santri dan pesantren jika ingin menumbuhkan budaya sadar risiko bencana," pungkasnya.