Berita

Ilustrasi media sosial/Net

Publika

Gulungan Isu Publik Di Media Sosial

KAMIS, 22 OKTOBER 2020 | 15:31 WIB | OLEH: YUDHI HERTANTO

DINAMIS. Pasang surut pergerakan isu di media sosial penuh ketidakpastian. Agenda publik yang dimuat dalam media sosial, kerap kehabisan napas untuk bersuara dalam durasi panjang. Lalu isu itu tenggelam dan menghilang dengan berbagai bentuk serta cara. Pertarungan wacana mengemuka, disertai berbagai kebisingan -noise yang menutup ruang aspirasi publik.

Hal tersebut, sebagaimana temuan Fahmi I, 2020, dalam rilis Tren Penolakan Terhadap Omnibus Law Semakin Turun, yang dapat diakses melalui pers.droneemprit.id. Dari sekitar 2.8 juta percakapan di berbagai kanal media, baik media online maupun media sosial, terbaca bila terjadi pergeseran isu publik.

Situasi ini terlihat pada cluster besar #tagar yang terbentuk, yakni #OmnibusLawBasmiKorupsi #RakyatButuhUUCiptaKerja. Counter wacana pihak pro RUU menggulung isu utama.

Dalam kajian LP3ES terkait hal serupa, Pasukan Siber, Omnibus Law dan Kemunduran Demokrasi (18/10) pada presentasi berjudul Bertepuk Sebelah Tangan, diketahui bila terjadi tendensi kehilangan stamina dari suara-suara penolak RUU, hingga kemudian bergeser menjadi narasi pro RUU. Kondisi ini tercipta melalui berbagai kondisi yang menyertai, termasuk penggunaan pasukan siber -cyber troops.

Kajian LP3ES tersebut, memberikan penekanan pada dominasi kerja buzzer yang menjadi pendengung RUU Ciptaker, untuk melakukan upaya perlawanan wacana. Lebih jauh lagi, parpol dan tokoh elite parpol pendukung RUU Omnibus Law relatif tidak terlihat memainkan peran. Hal ini kemudian dianalogikan sebagai ‘tinggal glanggang colong playu’ -meninggalkan gelanggang lari dari tanggung jawab.

Tulisan ini berfokus pada kajian media sosial, di mana kontroversi dalam isu Omnibus Law menjadi sebuah studi kasus yang menarik, terkait kerentanan menghilangnya sebuah isu publik dalam gulungan isu di lautan maha luas media sosial.

Momentum penyerta dari beringsutnya isu penolakan yang beralih rupa menjadi dukungan terhadap RUU Ciptaker adalah kombinasi kompleks beberapa kejadian, seperti timbulnya unjuk rasa yang berakhir anarkis, hingga penangkapan sekelompok pihak yang ditengarai terlibat dalam menciptakan kerusuhan. Apakah isu ini akan berakhir sesuai kehendak publik? Apa indikasi dari moderasi isu di sosial media?

Formulasi isu diproyeksi akan terbentuk dalam beberapa kondisi: Pertama, ruang publik kembali membahas diskusi terkait isu Omnibus Law dengan sangat berhati-hati, sebagai konsekuensi atas memori penangkapan yang membayangi.

Kedua, para tokoh parpol dan pejabat negara mulai muncul ke berbagai ruang media untuk melakukan sosialisasi dan penjelasan atas pentingnya peraturan tersebut, sebuah sikap reaktif untuk mempertahankan posisi paska kejadian -post event. Ketiga, ruang antara waktu pendinginan isu akan terdisrupsi bersamaan dengan kemunculan isu baru.

Agenda Setting: Publik dan Media

Dalam ilmu komunikasi, dikenal apa yang disebut sebagai teori Agenda Setting, McCombs, M.E. & Shaw, D. (1972). Pada masa dimana McCombs & Shaw merumuskan teori tersebut, media yang disebut mengacu pada konteks keberadaan media mainstream, dengan demikian maka media massa memiliki peran untuk membentuk apa yang ada dibenak publik. Sehingga, agenda media dapat dinyatakan sebagai representasi dan mewakili agenda publik untuk sampai pada pembentukan agenda kebijakan.

Kini, di era media sosial, terdapat perubahan perilaku yang signifikan dari kehadiran teknologi bermedia, yakni sifat prosumer, dimana khalayak yang sebelumnya dianggap pasif dalam melakukan konsumsi informasi kini bisa bersikap aktif bahkan untuk memproduksi informasi itu sendiri, bersifat producer sekaligus consumer.

Meski begitu, teori Agenda Setting tetap dapat dijadikan sebagai alat bantu untuk menjelaskan turun naik sebuah isu. Termasuk memperlihatkan bagaimana wacana dan narasi diproduksi oleh para aktor yang terlibat, beserta dengan relasi untuk saling mempengaruhi di ruang media.

Keberadaan ruang media -media space tidaklah hampa, bahkan media membawa kepentingannya. Di era digital, dengan keberadaan media sosial tercipta posisi yang relatif setara bagi khalayak -audience dalam membangun sinergi kepentingan.

Keseimbangan relasi dan interaksi tercipta antara agenda media dan agenda publik secara berkesinambungan, diharapkan mewujud dalam agenda kebijakan.

Problemnya, agenda kebijakan adalah ranah kekuasaan yang sarat juga dengan kepentingan berbeda dari dua kepentingan yang disebut sebelumnya, yakni agenda media dan agenda publik.

Bahkan, dengan menggunakan kajian kritis kita melihat bagaimana kekuasaan itu bersifat menyebar dan terpusat dalam upaya memenangkan wacana kekuasaan. Karena itu proses konstruksi, hingga distorsi informasi dapat dilakukan sebagai langkah dalam melakukan persuasi.

Para pendengung -buzzer, baik yang organik maupun anorganik bertindak sebagai pasukan siber yang ditempatkan sebagai upaya meneguhkan agenda kekuasaan. Tentu saja agenda media dan agenda publik bisa menjadi pihak yang berseteru ataupun bersekubu dari agenda kekuasaan.

Bentuk relasi keseimbangan antara para pihak yang terkait dalam sebuah agenda setting, akan tergantung pada kemampuan mempertahankan tarik-menarik kepentingan itu sendiri.

Jika kembali merujuk pada studi kasus Omnibus Law, ketika ruang agenda publik yang dicerminkan melalui media sosial sudah mulai terkuras energinya. Temuan penelitian memperlihatkan meredupnya pembahasan isu tersebut, maka ruang medan pertarungan wacana terakhir akan terkonsentrasi pada media massa mainstream. Sekaligus jadi momen pertaruhan, pihak yang memenangkan wacana.

Bila agenda publik mampu diakselerasi dan teramplifikasi di media massa mainstream guna mengimbangi agenda kekuasaan, maka terbentuk sebuah keseimbangan ekosistem. Dalam hal ini kita masih berharap atmosfer demokrasi tetap terjaga dan tidak menjadi sesak.

Dalam gelombang tsunami informasi dan pada pasang surut isu yang terjadi, publik sesungguhnya memiliki kemampuan dan kecerdasan untuk melihat berbagai wacana yang merepresentasikan kepentingan para pihak, meski terbungkam dan tidak mampu untuk bersuara.

Saat publik telah mulai senyap dalam menanggapi berbagai agenda permasalahan bersama, kita justru semakin khawatir dengan nasib masa depan demokrasi.

Penulis Tengah Menempuh Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Populer

Gempa Megathrust Bisa Bikin Jakarta Lumpuh, Begini Penjelasan BMKG

Jumat, 22 Maret 2024 | 06:27

KPK Lelang 22 iPhone dan Samsung, Harga Mulai Rp575 Ribu

Senin, 25 Maret 2024 | 16:46

Pj Gubernur Jawa Barat Dukung KKL II Pemuda Katolik

Kamis, 21 Maret 2024 | 08:22

KPK Diminta Segera Tangkap Direktur Eksekutif LPEI

Jumat, 22 Maret 2024 | 15:59

Bawaslu Bakal Ungkap Dugaan Pengerahan Bansos Jokowi untuk Menangkan Prabowo-Gibran

Rabu, 27 Maret 2024 | 18:34

Connie Bakrie Resmi Dipolisikan

Sabtu, 23 Maret 2024 | 03:11

KPK Lelang Gedung Lampung Nahdiyin Center

Selasa, 26 Maret 2024 | 10:12

UPDATE

Jelang Piala AFF dan AFC, 36 Pemain Masuk Seleksi Tim U-16 Tahap Dua

Jumat, 29 Maret 2024 | 08:02

Gunung Semeru Kembali Erupsi, Warga DIminta Tak Beraktivitas

Jumat, 29 Maret 2024 | 07:25

Kemnaker Gelar Business Meeting Pengembangan SDM Sektor Pariwisata

Jumat, 29 Maret 2024 | 07:11

2.098 Warga Terjangkit DBD, Pemkot Bandung Siagakan 41 Rumah Sakit

Jumat, 29 Maret 2024 | 07:01

Sebagian Wilayah Jakarta Diprediksi Hujan Ringan

Jumat, 29 Maret 2024 | 06:21

Warga Diimbau Lapor RT sebelum Mudik Lebaran

Jumat, 29 Maret 2024 | 06:11

Generasi Z di Jakarta Bisa Berkontribusi Kendalikan Inflasi

Jumat, 29 Maret 2024 | 06:04

Surat Dr Paristiyanti Nuwardani Diduga jadi Penyebab TPPO Farienjob Jerman

Jumat, 29 Maret 2024 | 06:00

Elektabilitas Cak Thoriq Tak Terkejar Jelang Pilkada Lumajang

Jumat, 29 Maret 2024 | 05:42

Satpol PP Diminta Jaga Perilaku saat Berinteraksi dengan Masyarakat

Jumat, 29 Maret 2024 | 05:31

Selengkapnya