Berita

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar/Net

Politik

Pakar Hukum: Pasal 28 UU ITE Bertentangan Dengan Iklim Demokrasi Berdasarkan UUD 1945

JUMAT, 16 OKTOBER 2020 | 16:39 WIB | LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL

Keberadaan Pasal 28 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kembali menjadi sorotan usai digunakan sebagai dasar penangkapan sejumlah aktivis Koalisi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).

Pasalnya, pasal ini dianggap bersifat kolonial dan dijadikan alat untuk memukul lawan politik oleh pihalk yang sedang berkuasa.

Menurut pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, penggunaan pasal-pasal ujaran kebencian yang termuat dalam UU ITE yang menyasar tokoh-tokoh politik dan aktivis bersifat ambigu.

Sulit untuk dibedakan antara penindakan hukum ataupun pemasungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat.

"Karena itu sejak lama kritik terhadap pasal-pasal ini (pasal 28 UU ITE) sebagai pasal karet terus terjadi," kata Abdul Ficar.

Karena, lanjut Abdul Ficar, UU ITE sejatinya adalah UU yang bersifat administratif yang pengaturannya mengenai transaksi yang bersifat dan berdampak komersial.

"Tapi justru lebih banyak digunakan sebagai aturan pidana yang bersinggungan dengan hak berdemokrasi. Padahal pengaturan pasal ini dalam KUHP sebagai pasal hetzei artikelen
Selain itu, tambah Abdul Ficar, diksi berita bohong dan diksi SARA merupakan suatu hal yang tidak pasti dan dapat ditafsirkan secara subjektif.

"Sehingga ketentuan ini lebih bersifat pasal karet yang bersifat kolonial. Karena itu juga sulit untuk tidak mengatakan bahwa ketentuan ini bisa terjebak menjadi alat untuk memukul lawan politik oleh penguasa siapapun juga," pungkas Abdul Ficar.

Populer

UPDATE

Selengkapnya