Berita

Ilustrasi/Net

Bisnis

Walau Terus-terusan Ditekan AS, China Tetap Menjadi Pusat Pemulihan Ekonomi Dunia Pasca Resesi Karena Pandemi

RABU, 14 OKTOBER 2020 | 11:26 WIB | LAPORAN: RENI ERINA

Presiden Amerika Serikat Donald Trump semakin meningkatkan serangannya terhadap ekonomi China. Perang dagang terus-terusan dikerahkan dengan basis politik Trump, yang berharap bahwa serangan ekonomi terhadap China akan secara ajaib menciptakan kemakmuran ekonomi bagi mereka.

Pada 2018, Trump memberlakukan tarif pada berbagai barang China senilai lebih dari 200 miliar dolar AS. Kemudian, pemerintahan Trump mengejar perusahaan teknologi tinggi China seperti Huawei, ZTE, ByteDance (pemilik TikTok), dan WeChat.

Alih-alih sukses dengan serangannya, Trump malah mendapat serangan balik dan menghadapi penilaian hukum negatif. Ditambah lagi dengan ekonomi AS yang tergelincir jatuh.

Bukan hanya Trump yang ingin China menyerah. Partai Republik dan Partai Demokrat berkomitmen agar China menyerah pada kebijakan AS, menurut peneliti senior di Chongyang Institute for Financial Studies, John Ross.

Pemerintahan Trump telah mengumumkan tarif terhadap berbagai macam impor China. Pemerintah China pun secara resmi menangani masalah tersebut melalui mekanisme sengketa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Setelah melalui studi yang cukup, akhirnya WTO kembali dengan sebuah putusan. Gugatan hukum di WTO dan di Pengadilan Distrik AS untuk Distrik Utara California ternyata  bertentangan dengan apa yang diharapkan Trump.

Pada 15 September 2020, panel WTO yang beranggotakan tiga orang menemukan bahwa AS telah melanggar ketentuan Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) 1994. Ini merupakan kekalahan serius bagi Amerika Serikat.  Pemerintahan Trump memiliki waktu 60 hari untuk mengajukan banding.

Tidak mau kalah, AS mengutus Perwakilan Dagang-nya, Robert Lighthizer, yang kemudian merilis kutukan terhadap pernyataan WTO.

"Laporan WTO menegaskan apa yang telah dikatakan oleh pemerintahan Trump selama empat tahun. WTO sama sekali tidak memadai untuk menghentikan praktik teknologi berbahaya China. AS telah melumpuhkan kemampuan WTO untuk menjatuhkan putusan akhir yang mengikat, karena pengadilan banding WTO saat ini tidak lagi berfungsi karena penolakan Washington untuk menerima anggota baru untuk itu," ujar pernyataan Lighthizer, seperti dikutip dari Globe Troter, Rabu (14/10).

Pada tahun 1994, AS mendorong pembentukan WTO dengan menulis banyak aturannya. AS juga membawa China ke dalam WTO pada tahun 2001. Karena AS merasa menguasai dunia, WTO pun dikerahkan untuk bekerja untuk memajukan kepentingan AS. Sekarang setelah ekonomi China tumbuh kuat, AS menganggap aturan WTO memberatkan.

Seorang hakim menandatangani perintah untuk menghentikan upaya Trump yang mencegah penduduk AS menggunakan WeChat sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan orang-orang di China. Tekanan pada TikTok juga dapat mereda setelah pemilihan AS.

Seorang analis senior di Federal Reserve Bank St. Louis yang tidak disebutkan namanya ini mengatakan bahwa dampak ekonomi dari 'kekacauan' penguncian di AS akan menciptakan gangguan besar setidaknya untuk satu generasi.

"Tidak mungkin AS dapat pulih dengan mudah," katanya. Ketika ditanya tentang pemulihan China, dia mengatakan bahwa sejauh ini semuanya terlihat jauh lebih baik.

"Tetapi ketergantungan China yang terus-menerus pada pasar AS akan berdampak negatif pada pertumbuhan China," katanya lagi.

Pada kuartal kedua tahun 2020, produk domestik bruto (PDB) China naik menjadi 3,2 persen di atas tingkat tahun sebelumnya; Sementara itu, PDB AS turun 9 persen di bawah level tahun lalu.

China sudah dalam proses pemulihan dari Covid-19, sementara AS bahkan tidak tahu apakah infeksinya telah memuncak atau tidak. Pemulihan ekonomi Tiongkok jauh lebih dinamis, perdagangan Tiongkok pun pulih jauh lebih cepat daripada di Amerika Serikat.

Akibat dari tren tersebut adalah bahwa China akan menjadi pusat pemulihan ekonomi dunia dari resesi Covid-19, sementara AS hampir tidak memberikan kontribusi apa-apa.

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Kaki Kanan Aktor Senior Dorman Borisman Dikubur di Halaman Rumah

Kamis, 02 Mei 2024 | 13:53

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

UPDATE

Pilkada 2024 jadi Ujian dalam Menjaga Demokrasi

Sabtu, 04 Mei 2024 | 23:52

Saling Mengisi, PKB-Golkar Potensi Berkoalisi di Pilkada Jakarta dan Banten

Sabtu, 04 Mei 2024 | 23:26

Ilmuwan China Di Balik Covid-19 Diusir dari Laboratoriumnya

Sabtu, 04 Mei 2024 | 22:54

Jepang Sampaikan Kekecewaan Setelah Joe Biden Sebut Negara Asia Xenophobia

Sabtu, 04 Mei 2024 | 22:43

Lelang Sapi, Muzani: Seluruh Dananya Disumbangkan ke Palestina

Sabtu, 04 Mei 2024 | 22:35

PDIP Belum Bersikap, Bikin Parpol Pendukung Prabowo-Gibran Gusar?

Sabtu, 04 Mei 2024 | 22:16

Demonstran Pro Palestina Capai Kesepakatan dengan Pihak Kampus Usai Ribuan Mahasiswa Ditangkap

Sabtu, 04 Mei 2024 | 21:36

PDIP Berpotensi Koalisi dengan PSI Majukan Ahok-Kaesang di Pilgub Jakarta

Sabtu, 04 Mei 2024 | 21:20

Prabowo Akan Bentuk Badan Baru Tangani Makan Siang Gratis

Sabtu, 04 Mei 2024 | 20:50

Ribuan Ikan Mati Gara-gara Gelombang Panas Vietnam

Sabtu, 04 Mei 2024 | 20:29

Selengkapnya