Direktur Indonesia Future Studies (INFUS), Gde Siriana Yusuf/Net
Pernyataan Jurubicara Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rachman, yang menyebut influencer adalah ujung tombak demokrasi digital terus menuai kritik.
Salah satu kritikan datang dari Direktur Indonesia Future Studies (INFUS), Gde Siriana Yusuf.
Dia berpandangan, pembangunan demokrasi Indonesia tidak bisa berpatokan pada dunia digital. Sebab jauh sebelum era digital hadir, demokrasi telah kuat karena keterlibatan masyarakat di dalam penentuan kebijakan.
"Di era sebelum digital atau sekarang era digital, baik atau buruknya demokrasi dijalankan tergantung pada kekuatan
civil society. Semakin kuat
civil society, maka demokrasi makin berkualitas," ujar Gde Siriana saat dihubungi
Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (2/9).
Namun, di era digital sekarang ini, banyak kelompok masyarakat yang mulai menyampaikan hak berpendapatnya melalui media digital dengan mendapat bayaran seperti
influencer yang mendapat kucuran dana dari APBN hingga Rp 90,45 miliar.
"Aktivitas
civil society tidak berbayar, termasuk para netizen. Jika Fadjroel bilang sekarang masyarakat partisipatif dalam kebijakan, ya mestinya
influencer ini tidak dibayar pemerintah," sambung Gde Siriana.
Dari situ, aktivis Bandung Intiative ini menegaskan bahwa
influencer yang dibayar pemerintah tidak bisa bersifat objektif dalam menyampaikan informasi. Berbeda halnya dengan masyarakat yang cenderung kritis untuk membangun bangsa.
"Netizen plat merah karena dibayar pemerintah tidak bisa dibilang partisipasi masyarakat lagi, karena ini menjadi corong suara pemerintah, seperti biro agitasi propaganda pemerintah," katanya.
Bahkan, Gde Siriana menyebut
influencer yang dibayar pemerintah akan semakin memperkuat keterbelahan di masyarakat, yang ujungnya akan timbul kutub netizen publik dan netizen plat merah.
"Justru hal ini menimbulkan perlawanan atau gap di masyarakat. Antara netizen yang murni partisipasi masyarakat dalam mengkritisi kebijakan publik vs netizen plat merah berbayar yang mendukung kebijakan pemerintah. Potensi konflik horisontal pun besar," ungkapnya.
"Jika ini (
influencer) gunakan APBN maka harus ikuti prosedur pengadaan barang dan jasa yang perlu dalam pemilihan netizen berbayar. Netizen plat merah ini tak lebih statusnya dari vendor seperti vendor-vendor lainnya," demikian Gde Siriana Yusuf.