BUKU yang ditulis sendiri oleh Presiden RI ke-6 Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini sangat relevan dengan dinamika sosial-politik global dan juga nasional kontemporer.
Sebab, selama 2019 hingga awal 2020, tepatnya sebelum pandemi Covid-19 menyebar ke 215 negara, setidaknya ada sekitar 35 negara-negara besar di kawasan Eropa, Asia dan Amerika Latin yang menghadapi gejolak instabilitas politik dan keamanan akibat masifnya gerakan sosial yang mendeligitimasi moral politik pemerintahan di negara masing-masing.
Melalui buku kecil ini, Pak SBY menghadirkan analisa tajam yang membantu pembaca untuk menemukan pola gerakan sosial dan mengklasifikasikannya berdasarkan skala gerakan dan juga penyebab terjadinya gerakan sosial.
Dari aspek skala gerakan, buku ini meng-highlight contoh-contoh mutakhir sejumlah gerakan sosial yang berskala besar, hingga yang lebih moderat.
Sedangkan dari aspek penyebabnya, Pak SBY mengklasifikasikan ke dalam beberapa faktor mendasar. Pertama, pengelolaan ekonomi negara yang tidak prudent sehingga menghadirkan kontraksi ekonomi yang menekan kehidupan rakyat di akar rumput.
Kedua, munculnya rasa tidak adil sehingga memantik sentimen kolektif warga untuk berhadap-hadangan langsung dengan pemerintah. Ketiga, tata kelola pemerintahan yang kurang mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas sehingga memunculkan kritisisme publik.
Keempat, pelaksanaan Pemilu yang memaut kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif. Kelima, kebijakan publik yang ceroboh sehingga menghancurkan kekayaan lingkungan alam di sekitar masyarakat.
Kelima faktor itu dinilai Pak SBY mampu memunculkan nalar kritis publik, yang selanjutnya berimplikasi pada hadirnya ketidaktertiban sosial (
social disorder). Jika kondisi itu direspon secara tepat, maka social disorder akan berubah secara cepat menjadi pembangkangan sosial berskala besar (
big scale of social disobedience).
Uniknya, menurut Pak SBY, kelima faktor itu seringkali tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkelindan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sehingga sebuah gerakan sosial seringkali dipicu oleh rasa ketidakadilan yang lahir dari “akumulasi kekecewaan publik†terkait faktor-faktor di atas.
Karena itu, buku ini memberikan refleksi pemikiran yang genuine sekaligus sintesa pemikiran dan pengalaman seorang SBY yang pernah merasakan manis dan pahitnya berada pada posisi tertinggi dalam struktur kekuasaan negara.
Seorang pemimpin akan selalu dihadapkan pada berbagai tekanan berat, untuk mengelola berbagai ekspektasi publik yang sangat kompleks dan beragam. Setiap keputusan harus dibaca dengan matang.
Bukan gaya seorang SBY untuk mudah dan ‘asal’ menyetujui setiap keputusan, yang kemudian dengan mudahnya mencabut sebuah keputusan hanya dengan alasan remeh-temeh ‘belum membaca’ atau bahkan ‘belum paham substansi kebijakan’.
Karena pengalaman pribadinya untuk turun tangan secara langsung menyelesaikan konflik Aceh yang berkepanjangan, konflik Poso dan Ambon yang sangat berdarah, bencana Tsunami Aceh dan Gempa Jogjakarta yang berskala besar, tekanan internasional terkait tragedi Timor Leste dan embargo militer Amerika Serikat terhadap Indonesia, hingga tekanan resesi global yang hampir melumpuhkan ekonomi nasional tahun 2008.
Semua itu menjadi catatan bahwa setiap tawaran analisa dan rekomendasi yang disampaikan penulis buku ini, merupakan analisa yang sahih, kaya akan nilai, sarat makna dan layak untuk dijadikan bahan refleksi bersama tentang bagaimana sebuah kepemimpinan politik dan kepemimpinan publik itu harus dijalankan.
Untuk itu, melalui buku ini, Presiden ke-6 RI ini berusaha mengingatkan seluruh komponen pengambil keputusan, baik di pemerintahan maupun di luar pemerintahan, agar senantiasa berpijak pada nilai-nilai keadilan, sebagai fondasi dasar terwujudnya perdamaian.
Pak SBY untuk mengingatkan agar para pemimpin nasional tidak mudah terlena dengan kekuasaan. Jika seorang mulai tergoda, secara tidak sadar ia akan bertransformasi dari yang semula demokratis menjadi otoriter atau semi-otoriter.
Sehingga gemar menyalahgunakan lembaga-lembaga negara sebagai alat kepentingan politiknya untuk menjaga dan mempertahankan kekuasaannya dalam arti sempit. Di sinilah, rasa ketidakadilan publik akan terpantik.
Karena itu, buku ini menjadi refleksi pemikiran yang kaya dan patut dibaca oleh para generasi muda calon pemimpin bangsa. Buku ini yang ditulis dengan gaya bahasa popular, santai, tapi sarat makna ini juga baik untuk dijadikan sebagai bahan referensi bagi para pengambil kebijakan, baik di tingkat pusat maupun pemerintahan lokal.
Melalui sintesa pemikiran dan pengalaman panjangnya di dunia politik dan pemerintahan, Pak SBY merefleksikan betapa politik adalah seni tingkat tinggi yang menentukan hajat hidup masyarakat, bangsa dan negara.
Untuk itu, komitmen dan integritas kepemimpinan harus menjadi jangkar yang kuat agar kepemimpinan itu kokoh dan tidak mudah goyah diterpa berbagai ujian.
Melalui buku ini, Pak SBY berusaha mengingatkan kepada kita semua seluruh anak bangsa bahwa puncak dari perjuangan hukum adalah ‘keadilan’. Sedangkan puncak dari perjuangan politik adalah ‘amanah’.
Bertemunya ‘keadilan’ dan ‘amanah’ itulah yang akan menghadirkan ‘kemaslahatan umat’. Ketika kemaslahatan itu hadir, maka perdamaian dunia akan terwujud. Sebagai penggalan judul buku ini, ‘
No Justice, No Peace’.
Jika ditarik ke dalam ranah teoritik, nasehat SBY ini ternyata juga senada dengan refleksi pemikiran tokoh ilmuwan yang juga filsuf spektakuler Abad 20 Albert Einstein (1950) dan juga pakar studi konflik dan perdamaian Johan Galtung (1996), yang menekankan bahwa kepemimpinan politik publik harus diorientasikan kepada kemaslahatan yang ditandai oleh hadirnya ‘
positive peace’.
Di mana perdamaian tidak sepatutnya hanya dimaknai sebagai ketiadaan perang dan kekerasan di tengah masyarakat (
the absence of war and violence), tetapi harus lebih dipahami sebagai hadirnya rasa keadilan sosial, ekonomi dan hukum di tengah-tengah masyarakat.
Keadilan adalah jembatan masa depan yang akan menjaga fondasi persatuan bangsa. Di situlah letak urgensi dan relevansi buku ini.
Selamat membaca!
Ahmad Khoirul Umam
Penulis adalah Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI)