Berita

Ilustrasi/Net

Publika

Industri Aceh Abad Pertengahan

MINGGU, 09 AGUSTUS 2020 | 03:06 WIB

ADALAH hal yang sangat menarik apabila kita menelusuri keberadaan jejak Industri yang pernah berkembang di Kerajaan Aceh, khususnya era abad pertengahan, sekitar abad 16-17 Masehi.

Pertanyaan umum yang sering diajukan orang awam, apakah Kerajaan Aceh memiliki industri teknologi yang setara dengan Eropa pada abad pertengahan? Apakah teknologi itu dibangun seperti desain industri modern? Lalu jika ada, di mana jejaknya saat ini?

Tiga pertanyaan dasar di atas sesungguhnya memiliki fakta historis. Pertanyaan pertama, apakah Aceh memiliki industri teknologi yang setara dengan eropa pada abad pertengahan?

Sejarah mencatat, pada era awal berdiri Kerajaan Aceh di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1523 Masehi), teknologi telah ada dan berkembang dalam konteks kebutuhan masyarakat di wilayah Achen saat itu (Pra kerajaan Aceh atau sebelum maklumat pendirian kerajaan Aceh).

Teknologi yang dimaksud adalah kemampuan mengolah logam (besi, emas, perak, tembaga, perunggu, dan lain-lain) dalam cara-cara kerja industri metalurgi (logam) yang juga sama dengan Barat ketika itu.

Kemampuan ahli metalurgi (pande) memproduksi berbagai benda-benda besi untuk keperluan warga, misalnya benda kebutuhan rumah tangga (pahat, parang, timbangan), benda kebutuhan militer (pedang, perisai, baju dan berbagai kebutuhan lainnya) adalah produk rumahan yang dikendalikan insinyur-insinyur lokal.

Pada Era Ali Mughayat Syah, kebutuhan memenuhi sarana perdagangan dikelola langsung kerajaan dalam wujud industri kemaritiman yang memproduksi perahu untuk keperluan perdagangan dan militer ketika itu.
Bukti langsung dikemukakan CR Boxer (1950). Dia menuliskan cerita tentang ekspor Aceh terutama lada, selain diangkut saudagar Gujarat maupun pedagang asing lainnya, saudagar Aceh turut aktif melakukan perdaganganya sendiri sampai berniaga ke laut merah (Mesir).

Kemampuan teknologi pelayaran Aceh adalah faktor yang menjadi sarana diplomasi perdagangan karena didukung kemajuan industri kemaritiman (memproduksi kapal dagang), tidak lain menjadi sebab-sebab semakin ramainya pelabuhan Aceh didatangi pedagang dari Malabar (India), Arab, dan Mesir di kemudian hari.

Demikian juga pada era kepemimpinan Sultan Alauddin Ri’Ayat Syah atau Al-Kahar (1537-1571 Masehi), perdagangan dan kemaritiman semakin berkembang hingga mendatangkan banyak pedagang maupun pekerja asing untuk tinggal di Achen, dan mereka membentuk perkampungan-perkampungan sesuai dengan asal bangsanya.

Pertanyaan kedua, apakah teknologi abad pertengahan di kerajaan Aceh di bangun seperti disain industri yang modern? Jawabannya, “iya”.

Khususnya mengenai industri kemaritiman. Terdapat divisi kemaritiman yang khusus bekerja menangani kebutuhan dan seluk beluk kemaritiman; wilayah ini termasuk pelabuhan dan aturan main yang mengikat interaksi manusia di dalamnya.

Dalam catatan sejarah, jabatan kerajaan yang mengatur segala hal ikhwal itu oleh syahbandar. Namun dalam praktiknya, umum diketahui bahwa syahbandar juga bekerja sama dengan dan orang-orang kaya menjalankan amanah Sultan Aceh mengelola bidang tersebut.

Terkait dengan kebutuhan militer dan rumah tangga, penjelasan yang sangat kuat bahwa kehadiran orang-orang asing dari berbagai belahan dunia khususnya negeri-negeri yang menjadi kontak dagang langsung dengan Kerajaan Aceh, datang dengan pengetahuan teknologinya.

Tidak sedikit catatan sejarah memperlihatkan bahwa Kerajaan Aceh memanfaatkan orang-orang yang datang dan memiliki kemampuan teknik tinggi, dipekerjakan dengan baik.

Sebagai contoh, pada masa Sultan Alauddin Ri’Ayat Syah atau Al-Kahar (1537-1571 Masehi), mereka memutuskan memindahkan pusat administrasi kerajaan dari lokasi bernama Achen (Kawasan Kecamatan Kutaraja dan Meuraksa saat ini). Untuk itu, beliau meminta bantuan berbagai suku membantunya mendirikan istana.

Di masa sultan ini juga, telah disebutkan bergabungnya seorang teknisi militer berkebangsaan Portugis, seorang muallaf dan berganti nama menjadi Khoja Zainal Abidin. Melalui seorang muallaf inilah Kerajaan Aceh mampu memaksimalkan kualitas kapal-kapal Kerajaan Aceh menjadi modern sesuai standar dunia saat itu.

Bahkan menurut catatan Muhammad Said (1981), dapat dikatakan hampir semua pertukangan dan kerajinan yang dikerjakan orang-orang di luar negeri, sudah dapat dibuat sendiri di Aceh masa Al-Kahhar ini.

Lebih khusus lagi kemajuan industri meriam dan senjata di Aceh, meningkat dan terkenal di nusantara dan banyak pesanan dari negara lain, di antaranya dari Demak dan Bantan (Banten). Alat-alat itu ditempah di Aceh dan diantar ke sana.

Pertanyaan ketiga, ke mana jejak segala kemampuan teknologi Kerajaan Aceh tersebut saat ini? Jejak teknologi Kerajaan Aceh semakin sempurna dengan kedatangan teknisi militer dari Turki buah tangan diplomasi “lada si cupak” (1567). Jumlahnya mencapai 300 ahli sebagaimana sumber yang berasal dari catatan Fernando Mendez Pinto (Portugis).

Demikian juga berbagai peralatan sehari-hari, berbagai peninggalan berbentuk mata uang, perhiasan, dan lain sebagainya diproduksi dari satu pemerintahan sultan ke pemerintahan sultan yang lain. Dalam hal ini, diyakini telah terjadi proses pewarisan teknologi dari generasi ke generasi di sepanjang waktu.

Namun, harus dipahami bahwa kemajuan industri era Kesultanan Aceh baik itu terkait industri militer, industri alat rumah tangga maupun lainnya adalah langsung dikelola oleh kesultanan di bawah pengawasan pejabat khusus.

Dan, ini yang signifikan membedakan cara kerja penanganan dan pengembangan industri dengan negara-negara barat di mana umumnya industri Barat era abad pertengahan dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan swasta.

Berdasarkan kondisi yang demikian maka tentu saja kita akan kesulitan menemukan adanya dokumen nama atau grafik pertumbuhan industri, baik itu terkait militer, rumah tangga, perdagangan dan lain sebagainya di Kesultanan Aceh.

Tetapi, jika cara pandangnya berdasar bukti-bukti materiil, maka tidak dapat dipungkiri bahwa pada era Kerajaan Aceh, bangsa ini telah mengembangkan berbagai produk industri yang bukti-buktinya masih ada sampai hari. Baik bukti itu berbentuk benda (materiil) ataupun berbentuk bukti catatan sejarah yang diriwayatkan dalam dan luar negeri.

Ambo Asse Ajis

Anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Aceh-Sumatera Utara

Populer

BANI Menangkan Anak-Anak Soeharto, OC Kaligis: Kami Gugat dan Lawan

Selasa, 03 Desember 2024 | 15:57

Lebih Mulia Dagang Es Teh daripada Dagang Agama

Rabu, 04 Desember 2024 | 06:59

Haris Moti Yakin Pilkada Jakarta Lanjut Dua Putaran

Kamis, 05 Desember 2024 | 16:33

Jokowi Tekor Ratusan Miliar di Pilkada Jakarta

Senin, 02 Desember 2024 | 01:26

Informasi Dirut BNI Terlibat Pembiayaan Usaha Michael Timothy-KoinWorks Menyesatkan

Jumat, 06 Desember 2024 | 15:44

Try Sutrisno Minta LaNyalla Tetap Perjuangkan UUD 1945 Naskah Asli

Sabtu, 07 Desember 2024 | 07:00

Wall Street Pecah Rekor, Saham Meta Terbang 2,4 Persen

Sabtu, 07 Desember 2024 | 07:57

UPDATE

Fraksi PKS Usul Program One Day One Fish

Kamis, 12 Desember 2024 | 01:59

Pemda Jangan Peras Rakyat Lewat Kebijakan HET Elpiji 3 Kg Bersubsidi

Kamis, 12 Desember 2024 | 01:49

Kapal Perang AL Berhasil Hancurkan Sasaran Strategis Musuh

Kamis, 12 Desember 2024 | 01:37

Sistem E-Katalog Versi 6.0 Wujudkan Transparansi Pengadaan Pemerintah

Kamis, 12 Desember 2024 | 01:23

Infrastruktur Buat Rakyat

Kamis, 12 Desember 2024 | 01:09

Tiga Unit Kerja BNN Raih Penghargaan WBK 2024

Kamis, 12 Desember 2024 | 00:55

Mahasiswa Indonesia Kenalkan Budaya Bangsa di Spanyol

Kamis, 12 Desember 2024 | 00:43

Usaha Nasabah PNM Mekaar Makin Moncer Usai Kantongi Izin BPOM

Kamis, 12 Desember 2024 | 00:15

Perkuat Konektivitas, AHY Dampingi Prabowo Resmikan Flyover Madukoro

Rabu, 11 Desember 2024 | 23:56

Rembuk Perempuan Pesisir Dorong Pemenuhan Air Bersih dan Sanitasi

Rabu, 11 Desember 2024 | 23:31

Selengkapnya