Berita

Ilustrasi/Net

Publika

Pertanian Adalah Kunci

KAMIS, 06 AGUSTUS 2020 | 11:18 WIB | OLEH: FARID GABAN

KEMARIN Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pertumbuhan GDP kita pada kuartal II tahun ini minus 5,32%. Jika kuartal depan juga minus, ekonomi Indonesia resmi terjerembap ke dalam resesi.

Saya tidak terlalu senang mengunggulkan GDP sebagai ukuran sukses (atau gagal) pembangunan. Tapi, jika melihat lebih detail data ini, kita sedikit punya gambaran tentang apa yang semestinya dilakukan. Tak hanya di musim wabah dan resesi, tapi dalam mengubah paradigma pembangunan kita keseluruhan.

Kita harus melihat GDP dalam detail per sektornya, bukan sekadar agregat keseluruhan. Sektor pertanian ternyata tumbuh positif 16% di musim wabah, saat sebagian besar sektor lain rontok.

Padahal, inilah sektor yang cenderung dipandang sebelah mata oleh para ekonom dan pengambil kebijakan. Beberapa tahun lalu misalnya, Menteri Chatib Basri, Menteri Ekonomi-Keuangan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengatakan pertanian sebaiknya kita abaikan saja karena sumbangannya terhadap GDP relatif kecil.

Chatib Basri menyarankan agar Indonesia mendorong sektor manufaktur atau lainnya. Pemerintahan Joko Widodo, yang tampak lebih obsesif terhadap pertumbuhan GDP, melanjutkan kebijakan itu dengan lebih agresif: menggenjot sektor transportasi, manufaktur, dan pariwisata. Dan cenderung menganaktirikan pertanian dan perikanan.

Chatib Basri benar untuk sebagian. Sumbangan sektor pertanian/perikanan kita terhadap GDP memang terus merosot dari tahun ke tahun dan kini hanya sekitar 13%. Tapi, itu semestinya bukan alasan untuk mengabaikannya. Justru memacu kita untuk memperkuatnya.

Pertanian masih tetap merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja (35% angkatan karja). Dan jika dibenahi, sektor ini tak hanya menjadi penyedia lapangan kerja ketika yang lain melempem di masa wabah, tapi juga mengentaskan kemiskinan banyak orang (petani dan nelayan) serta melumasi mesin ekonomi.

Bahkan jika kita setuju mengejar pertumbuhan GDP, sektor pertanian dan perikanan lah yang layak dimajukan. Bukan membangun jalan tol, kereta cepat, atau "10 Bali Baru" dan obsesi berlebihan pada "Revolusi Industri 4.0".

Pada kenyataannya, fondasi kokoh sektor pertanian adalah prasyarat penting industrialisasi. Jepang dan Korea Selatan menjadi seperti sekarang karena ditopang oleh sektor pertanian/perikanan yang kuat.

Kita sebaliknya, sudah mengabaikan pertanian tapi sektor manufaktur yang kita kejar pun tidak hebat-hebat amat, mengingat begitu banyak barang yang masih impor dari luar.

Memuliakan sektor pertanian dan perikanan mengubah banyak paradigma dalam pembangunan. Sektor ini bertumpu pada keragaman hayati (baik darat maupun laut) dan kelestarian alam, termasuk ketersediaan sumber air di dalamnya. Artinya, menuntut paradigma pembangunan yang ramah alam.

Aspek kedua adalah lahan. Kita menghadapi problem serius dengan ketimpangan kepemilikan lahan. Pemerintah harus lebih nyata melakukan reforma agraria, pemerataan lahan dan hak pengelolaan. Bukan cuma retorika.

Pemerintahan Jokowi, misalnya, mencanangkan program perhutanan sosial pada 2015. Selama periode pertama berjanji akan menyerahkan pengelolaan sekitar 13 juta hektar tanah negara kepada petani sekitar hutan. Tapi, sampai lima tahun kemudian sekarang ini baru sekitar 3-4 juta hektar yang direalisasi (30%).

Rasio lahan pertanian per penduduk kita cenderung rendah, kalah dari Vietnam dan Thailand. Tapi bahkan lahan pertanian yang ada sekarang pun banyak yang rawan bencana (kekeringan/banjir) serta rusak akibat penggunaan pupuk kimia yang tak ramah alam, sehingga produktivitasnya cenderung rendah. Teknik pertanian yang tidak sehat itu juga terus menerus mempermiskin keragaman hayati kita, modal utama sektor ini.

Yang tak kurang kalah penting jika kita ingin membangun pertanian adalah pembangunan sumberdaya manusia (petani dan nelayan) terutama di pedesaan. Pendekatan pemberdayaan yang sifatnya karitatif (dan charity) harus ditinggalkan, digantikan dengan program yang lebih substantif.

Salah satu problem paling serius dalam pertanian kita di luar soal budidaya adalah aspek organisasi. Sudah resource-nya sedikit, para petani dan nelayan tercerai berai, bersaing satu sama lain. Pengembangan koperasi pertanian (yang genuine) adalah prasyarat penting dalam pengembangan pertanian. (Sekitar 90% petani Jepang adalah anggota koperasi).

Dengan koperasi, petani dan nelayan bisa meningkatkan kapasitasnya, memperkuat daya tawar, belajar pengetahuan dan keterampilan baru, termasuk manajemen usaha tani yang lebih maju (dari budidaya, pengolahan hingga pemasaran).

Tapi, prasyarat terbesar untuk memperkuat pertanian adalah political will pemerintah, termasuk kesediaan untuk mengubah paradigma pembangunan: menjadi pertanian sebagai fondasi dan penggerak ekonomi. Ini juga harus diikuti pengarus-utamaan model pembangunan yang ramah alam dan ramah sosial (antiketimpangan).

Salah satu ujian terpenting apakah pemerintah serius mendorong pertanian adalah Omnibus Law, yang tidak ramah alam maupun sosial. Jika pemerintah (presiden maupun parlemen) meloloskan Omnibus Law, maka kita sebenarnya belum beranjak dari kubangan kekeliruan masa lalu.

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Melalui Rembug Ngopeni Ngelakoni, Luthfi-Yasin Siap Bangun Jateng

Minggu, 02 Februari 2025 | 05:21

PCNU Bandar Lampung Didorong Jadi Panutan Daerah Lain

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:58

Jawa Timur Berstatus Darurat PMK

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:30

Dituding Korupsi, Kuwu Wanasaba Kidul Didemo Ratusan Warga

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:58

Pelantikan Gubernur Lampung Diundur, Rahmat Mirzani Djausal: Tidak Masalah

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:31

Ketua Gerindra Banjarnegara Laporkan Akun TikTok LPKSM

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:57

Isi Garasi Raffi Ahmad Tembus Rp55 Miliar, Koleksi Menteri Terkaya jadi Biasa Saja

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:39

Ahli Kesehatan Minta Pemerintah Dukung Penelitian Produk Tembakau Alternatif

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:18

Heboh Penahanan Ijazah, BMPS Minta Pemerintah Alokasikan Anggaran Khusus Sekolah Swasta

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:58

Kecewa Bekas Bupati Probolinggo Dituntut Ringan, LIRA Jatim: Ada Apa dengan Ketua KPK yang Baru?

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:42

Selengkapnya