Lebih dari lima bulan pandemik menyerang hampir semua negara-negara di dunia. Setiap negara memiliki cara penanganan yang berbeda sesuai dengan kondisi negara masing-masing, latar belakang politik, dan -satu yang sangat dominan- cara pandangan setiap pemimpinnya.
Amerika Serikat dengan angka kasus positif virus corona tertinggi, juga memiliki penanganan yang berbeda. Talmiz Ahmad, mantan diplomat, dalam artikelnya di The Wire mengatakan, Trump memiliki kepribadian dan latar belakang yang berbeda dengan pemimpin negara lainnya dan memiliki sifat-sifat tertentu. Bahkan, Ahmad menggambarkan Trump adalah seorang pemimpin yang populis.
Jika kita menengok sebentar ke belakang, selama kampanye kepresidenannya pada Juli 2016, Trump menggambarkan Amerika tengah menghadapi ancaman terorisme, kekerasan dan kekacauan, dan 180.000 imigran gelap dengan catatan kriminalnya.
Trump juga berbicara soal pendapatan rumah tangga yang merosot, defisit perdagangan yang tinggi sepanjang masa di bidang manufaktur, dan infrastruktur yang berantakan. Seperti catatan Adam Tooze dalam bukunya,
How a Decade of Financial Crises Changed the World. “Bisnis besar, media elit, dan donor besar, semuanya bersekongkol selama puluhan tahun untuk memperkuat sistem."
Lalu bagaimana Trump saat ini jelang pemilihan AS 2020?
Peran Trump selama pandemik Covid-19 serta tantangan domestik terbesar kepresidenannya, mendapat sambutan cemohan. Richard Haass, diplomat hubungan internasional dan dewan luar negeri AS mengatakan, respon Amerika saat menghadapi pandemik menambah daftar keraguan kualitas kompetensi AS.
“Bahwa virus corona akan mencapai pantai Amerika, tidak bisa dihindari. Apa yang tidak terhindarkan adalah bahwa penyakit itu akan memakan korban. Kurangnya peralatan pelindung terutama untuk staf rumah sakit, ketidakmampuan untuk memproduksi pada skala yang akurat, tes cepat virus corona, protokoler yang tidak berjalan baik terutama soal aturan menggunakan masker dan jaga jarak... kegagalan ini adalah milik negara. Hasilnya adalah lebih dari 100.000 kematian, jutaan infeksi, dan program Amerika yang mematikan,†kata Haass.
Sementara, kritikus dan ilmuwan terkenal AS, Francis Fukuyama, ikut menyampaikan pandangannya, bahwa Amerika Serikat telah mengacaukan responnya terkait Covid-19.
“Melihat prestise-nya tergelincir dengan sangat dalam, dan masyarakatnya yang sangat terpolarisasi, juga pemimpin yang tidak kompeten, semua itu menghalangi negara untuk berfungsi secara efektif. Presiden telah memicu perpecahan daripada mempromosikan persatuan,†ujar Fukuyama.
Komentar-komentar itu masih ditambah lagi dengan pendapat Robert Bernard Reich, Mantan Menteri Tenaga Kerja AS yang menilai Trump tidak melaksanakan pemerintahan Amerika Serikat.
“Dia tidak mengelola apa pun, dia juga tidak bisa mengatur siapa pun, atau tidak tahu bagaimana mengawasi dan diawasi,†ujar Reich dalam artikelnya di sebuah media di AS. Ia menekankan bahwa Gedung Putih berada dalam kekacauan abadi. “Penasihatnya bukan pencerita kebenaran. Mereka toadies, antek, dan penjilat.â€
Menyedihkan mengetahui penilaian mereka. Trump akan menghadapi masa pemerintahannya di periode kedua, jika ia terpilih kembali, dan dukungan sangat dibutuhkan.
Namun, banyak penjelasan telah disuarakan untuk situasi yang menyedihkan ini, semuanya berpusat pada Trump sebagai presiden.
“Ada kelemahan struktural dalam penanganan pandemik di tingkat puncak. Para pengamat telah menunjukkan bahwa Trump telah mewarisi infrastruktur pandemik yang baik ketika ia memasuki Gedung Putih,†ujar Ahmad. Namun, pemerintahan Trump tidak memiliki input ilmiah untuk menyiapkan tanggapannya.
Di minggu kedua Maret, Trump meminta semua warga tetap tenang akan berita wabah virus corona. Bahwa ini adalah bakteri, bahwa itu tidak akan menyebabkan pandemik, bahwa itu akan dibunuh dengan cuaca hangat dan sinar matahari.
“Dia juga berulang kali mempromosikan obat yang belum diuji keefektifannya. Titik jatuhnya wibawa Trump saat ia menyarankan meminum disinfektan untuk membunuh virus,†ujar Ahmad.
Komentator AS telah dengan hati-hati menganalisis ‘kebohongan Trump tentang virus corona’. Menulis di The Atlantic , Christian Paz mencatat beberapa kesempatan khusus ketika Trump membuat pernyataan palsu tentang pandemik.
Salah satunya: penguncian (lockdown) yang berkelanjutan akan menyebabkan lebih banyak kasus bunuh diri daripada kematian karena virus itu sendiri. Faktanya, kasus bunuh diri per tahun sekitar 50.000, dan kematian karena Covid-19 di AS sudah melampai 150.000 jiwa.
Lalu dalam kesempatan lain, Trump mengatakan bahwa AS memiliki kapasitas pengujian yang tak tertandingi oleh negara mana pun. Spesialis kesehatan telah menyatakan bahwa AS tertinggal jauh di belakang negara lain dalam pengujian dan penelusuran kasus Covid-19.
“Ketika AS menjadi hotspot global untuk pandemik ini, Trump, dengan gaya populis yang baik, menemukan dua kambing hitam, yaitu China dan WHO,†kata Ahmad.
Trump mulai menyoroti kesalahan China untuk penyebaran virus dan peran WHO dalam mendukung China. Namun belakangan, tuduhan terhadap China dan WHO tidak melindungi dirinya dari kecaman berbagai kalangan.
Masih banyak deretan kelemahan lainnya. Penanganan pandemik ala Trump telah mengungkapkan beberapa kekurangan pribadinya sebagai seorang pemimpin.
Trump dianggap gagal membangun struktur administrasi untuk memberikan panduan bagi upaya nasional, peralatan untuk perlindungan, dan pengujian, yang sangat dibutuhkan oleh petugas kesehatan di seluruh negeri. Lebih serius, Trump gagal menemukan saran yang tepat dari spesialis medis dan kesehatan.
Di saat kondisi yang berantakan, Trump malah memecat beberapa pejabat teknisnya yang berkualifikasi. Ia juga bersikeras bepergian tanpa masker, walau belakangan mulai terlihat ia mengenakannya atas desakan dan ancaman hukuman. Trump juga meremehkan manfaat dari penguncian dan jarak sosial.
Dengan egonya yang tinggi dan mementingkan diri sendiri, bagaimana Trump bisa memimpin dengan baik?
“Sejak awal krisis, tidak jelas siapa yang seharusnya bertanggung jawab,†ujar Ahmad.