Berita

Pemandangan alam di Gunung Merapi/Ist

Publika

Perkutut Manggung: Keselarasan Alam Kembali?

SENIN, 06 JULI 2020 | 14:37 WIB | OLEH: AL MAKIN

SELAMA pandemik virus corona baru (Covid-19) ini, tanpa sengaja saya secara amatur mengamati jenis burung beterbangan di sekitar rumah dan di sepanjang jalan ketika bersepeda. Di pepohonan perdu, rerambatan, puring, bunga sepatu, dan tanaman rendah terlihat beberapa burung cit madu atau sriganti (Nectarinia jugularis). Status burung ini tidak dalam bahaya kepunahan.

Sriganti berbadan kecil dan lincah, berparuh panjang lancip, berbulu mengkilap, dan hinggap ke sana kemari dengan indahnya. Tarian burung ini sering memaksa saya terpukau dalam duduk lama di sekitar pagar rumah untuk menikmati gerak-geriknya dalam menghisap bunga-bunga flexi flora merambat.

Di atas pohon yang lebih tinggi, seperti jati, cemara, randu, sukun, sengon, atau wadang, bernyanyilah kutilang (Pycnonotus aurigaster). Sepertinya populasi kutilang juga meningkat di Yogyakarta.

Di gunung Merapi, lebih banyak lagi terdengar nyanyian jenis jalak (Sturnus contra), kacer (Copsychus saularis), dan lain-lain. Di sawah-sawah, ketika petani membajak dikerubuti kuntul putih (Egretta garzetta). Alam sedang berbaik hati, burung-burung adalah hadiahnya untuk mata dan telinga kita.

Yang mengejutkan adalah seringnya bergetar hati ini, karena terhibur oleh sahutan merdu bunyi perkutut (Geopelia striata). Burung yang mengandung makna mistis dalam budaya Jawa dan sudah menjadi lambang Daerah Istimewa Yogyakarta ini sering terbang rendah di jalan dan halaman rumah. Bahkan beberapa kali sepasang perkutut hinggap di genting rumah dan manggung dengan lantangnya. Seperti suasana mistis dan waktu berputar ke arah tempo dulu.

Bagi generasi yang terlahir tahun 1960-an dan 1970-an tentu mengalami berburu burung di desa-desa. Anak-anak usia sekolah dasar sampai remaja memegang katapel terbuat dari cabang pohon berbentuk segitiga untuk menembak burung dengan kerikil bulat. Mereka juga mencari sarang burung untuk diunduh.

Anak-anak burung (piyik) akan dipelihara dari kecil disuapi dengan ulat atau belalang supaya jinak. Masa kecil era 1970-an hingga 1980-an belum mengenal game, telfon genggam, komputer, sinyal atau pulsa. Semua permainan disediakan oleh alam.

Bagi generasi yang lahir di tahun 1990-an atau setelahnya masuk di abad dua puluh satu, yaitu setelah tahun 2000, sawah, sungai, lumpur, kerbau, dan burung tidak termasuk dalam daftar mainan. Anak-anak milenial lebih akrab dengan alat-alat teknologi untuk menghibur diri. Pelepah pisang, pelepah pinang, daun jati, dan batang bambu bukan hiburan lagi. Alam sempat dilupakan dan kesenangan berganti. Terutama ketika dunia sudah daring, permainan teka-teki juga diambil dari internet, mencari sarang burung bukanlah permainan yang mengasyikkan.

Generasi abad dua puluh dan abad dua puluh satu berbeda selera, karena sedari kecil permainan mereka sudah berlainan. Alam menjadi asing bagi generasi milenial. Gawai adalah teman mereka.

Ketika lahan menyempit, sawah berkurang, sungai telah kotor oleh sampah plastik, udara terpolusi bahan bakar, anak-anak abad dua puluh satu lebih memilih bermain di kamar sendiri dengan menyentuh layar gawai android.

Pada tahun 1980-an, sungai adalah tempat bermain, dengan ban bekas, sarung, dan batang pisang. Anak milenial saat ini lebih asyik mencuci mata di mall, yang juga menyediakan tempat bermain lebih asyik.

Saat musim pandemik Covid-19, muda dan tua, di kota-kota Indonesia bersepeda lagi. Alam kembali diingat bagi generasi tua. Yang muda baru mengenal dengan kacamata yang berbeda.
Tetapi ada hikmah tersembunyi dengan gemarnya anak-anak bermain gawai, komputer, dan benda berteknologi.

Generasi millenial sepertinya tidak sempat mengganggu alam. Burung-burung bebas membuat sarang, bertelur dan mengeram hingga telur menetas, karena tidak ada yang menembak atau mengambilnya sebagai permainan.

Sering munculnya burung cit madu, kutilang, jalak, kacer, dan perkutut menunjukkan bahwa makhluk-makluk bertulang belakang dan bersayap (aves) ini siap hidup lagi berdampingan dengan manusia. Dalam hal ini, kita patut bersyukur.

Seharusnya seperti di India, Malaysia atau Singapura dimana burung-burung gagak dan jalak bebas berkeliaran di halaman rumah dan jalanan, anak-anak Indonesia jika mempertahankan diri tidak tergoda untuk menembak, memikat, dan menangkap burung liar, alam negeri ini akan seindah alam negeri tetangga.

Perlu diingat bahwa kerusakan alam Indonesia dengan hilangnya habitat banyak burung sangatlah parah, tanpa harus mengundang ahli biologi dan burung untuk mengatakan ini. Banyak makhluk liar telah ditangkap, ditangkarkan, diperjualbalikan, atau disantap.

Ingat Covid-19 bermula dari pemerkosaan hak hewan liar berupa kelelawar (Chiroptera), dikerangkeng lalu mayatnya dihidangkan. Virus yang seharusnya diasuh oleh makhluk malam penghuni gua-gua ini lalu pindah ke tubuh manusia. Rantai ekosistem alam terganggu. Manusia menangung akibatnya.

Sayangnya, keseimbangan alam belum masuk dalam prioritas program pemerintah ataupun kesadaran masyarakat kita. Akhlak, moral, dan norma masyarakat masih perlu diingatkan untuk keselarasan alam.

Program politik juga belum menekankan pentingnya kesadaran adanya pemanasan global. Para pengkhotbah dan pendakwah agama belum menyentuh isu-isu lingkungan. Keseharian kita masih jauh dari penghormatan pada alam dan lingkungan.

Ingatlah bahwa manusia ini hanyalah bagian dari alam, bukan penguasanya. Indonesia dipercaya oleh Tuhan dengan kekayaan biodiversitasnya yang luar biasa. Seharusnya, cara bersyukurnya dengan berkomitmen untuk menjaga dan melindunginya, bukan menghabiskan semuanya sampai tak tersisa dan tak seimbang.

Kita tak tahu persis apakah nyanyian burung kutilang, cit madu, jalak dan dengungan perkutut menandakan suka atau duka. Jika itu perlambang suka, berarti burung-burung itu mengumumkan kembalinya mereka ke mata kita.

Jika suara mereka itu hanya jeritan atau tangisan, mungkin itu maknanya mereka ikut berbelasungkawa atas banyaknya manusia yang berguguran di era pandemi ini.

Handai taulan dan sahabat banyak yang berduka di tembok-tembok ratapan Facebook dan cuitan twitter. Burung-burung itu sepertinya ikut mengantar kepergian sebagian dari kita.

Camkanlah bahwa manusia dan burung statusnya sama, keduanya hanyalah makhluk. Keduanya hanya terbuat dari debu pecahan bintang supernova yang meledak jutaan tahun yang lalu.

Semua zat di tubuh kita mengandung zat-zat bintang mati yang meledak. Kita hanyalah serpihan, burung atau manusia. Terbang, berjalan, atau berfikir, kita hanyalah penopang semesta yang terus berputar dan bergerak.

Penulis adalah Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Populer

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Kaki Kanan Aktor Senior Dorman Borisman Dikubur di Halaman Rumah

Kamis, 02 Mei 2024 | 13:53

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

Pj Gubernur Jabar Ingin Persiapan Penyelenggaraan Ibadah Haji Sempurna

Kamis, 02 Mei 2024 | 03:58

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

Telkom Buka Suara Soal Tagihan ‘Telepon Tidur’ Rp9 Triliun Pertahun

Kamis, 25 April 2024 | 21:18

UPDATE

Lanal Banten dan Stakeholder Berjibaku Padamkan Api di Kapal MT. Gebang

Minggu, 05 Mei 2024 | 19:55

Indonesia Tetapkan 5,5 Juta Hektare Kawasan Konservasi untuk Habitat Penyu

Minggu, 05 Mei 2024 | 19:41

Kepercayaan Global Terus Meningkat pada Dunia Pelayaran Indonesia

Minggu, 05 Mei 2024 | 19:27

TNI AU Distribusikan Bantuan Korban Banjir di Sulsel Pakai Helikopter

Minggu, 05 Mei 2024 | 19:05

Taruna Jadi Korban Kekerasan, Alumni Minta Ketua STIP Mundur

Minggu, 05 Mei 2024 | 18:42

Gerindra Minta Jangan Adu Domba Relawan dan TKN

Minggu, 05 Mei 2024 | 18:19

Ketua Alumni Akpol 91 Lepas Purna Bhakti 13 Anggota

Minggu, 05 Mei 2024 | 17:52

Jadi Lokasi Mesum, Satpol PP Bangun Posko Keamanan di RTH Tubagus Angke

Minggu, 05 Mei 2024 | 17:24

Perbenihan Nasional Ikan Nila Diperluas untuk Datangkan Cuan

Minggu, 05 Mei 2024 | 16:59

Komandan KRI Diponegoro-365 Sowan ke Pimpinan AL Cyprus

Minggu, 05 Mei 2024 | 16:52

Selengkapnya