Berita

Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma/Net

Politik

Lieus Sungkharisma: Soal Pancasila, Orang Tionghoa Harus Belajar Dari 5 Tokoh BPUPKI

SELASA, 30 JUNI 2020 | 19:40 WIB | LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL

Belakangan ini masyarakat Indonesia digemparkan dengan aksi penolakan terhadap Rancangan Undang Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang sempat dibahas di DPR RI.

Penolakan RUU HIP itu bukan hanya datang dari umat Islam yang menyatakan menolak karena dinilai berbau membangkitkan komunisme di Indonesia. Sejumlah tokoh masyarakat Tionghoa juga turut bersuara dan menolak dilanjutkannya pembahasan RUU tersebut.

"Usulan RUU HIP itu sangat kontra produktif dan sesungguhnya sangat tidak penting untuk dibahas," ucap Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma dalam keterangan rilisnya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (30/6).

Menurut Lieus, terdapat tiga hal krusial yang ditengarai berpotensi mendegradasi Pancasila sebagai ideologi bangsa dalam RUU HIP tersebut.

Pertama, tentang adanya klausul Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila (Gotongroyong). Kedua, adanya Pasal 7 Ayat 2 yang menyebut "Ketuhanan yang Berkebudayaan" Yang dinilai akan menggantikan Sila Pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ketiga, dalam draf RUU HIP tersebut juga tidak dicantumkannya TAP MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, serta larangan terhadap setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunis/Masxisme-Leninisme.

"Menurut saya munculnya RUU HIP ini cenderung mengingkari kesepakatan yang sudah diputuskan oleh para pendiri bangsa selama berlangsungnya sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945," kata Lieus.

Sehingga hal tersebut membuat tokoh Tionghoa turut bersuara. Apalagi, dalam sidang BPUPKI 1945 terdapat para tokoh bangsa diantaranya adalah lima tokoh dari Tionghoa.

Diantaranya, Yap Tjwan Bing, Mr. Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoei, Oey Tjong Hauw dan Liem Koen Hian yang sepakat untuk mendirikan negara Indonesia berdasarkan lima prinsip yang diusulkan Bung Karno dengan menyingkirkan berbagai sekat perbedaan yang ada.

"Lima prinsip inilah yang kemudian dirumuskan menjadi Pancasila pada Sidang BPUPKI pada tanggal 18 Agustus 1945," terang Lieus.

Sebagaimana Liem Koen Hian, dalam pidatonya pada sidang kedua BPUPKI pada tanggal 11 Juli 1945, menyebut bahwa semua orang Tionghoa akan menjadi bangsa Indonesia. Begitu juga dengan Oei Tjong Hauw yang mengatakan bahwa jikalau ada seseorang yang berbuat salah, jangan bangsanya yang dipersalahkan.

"Kerakyatan daripada negara merdeka bukan satu barang yang ditawarkan pada orang apakah dia mau atau tidak. Satu negara merdeka harus menetapkan rakyatnya dalam undang-undang," tutur Lieus.

Oleh karena itu sambung Lieus, orang Tionghoa saat ini harus belajar dari sejarah pembentukan RI tersebut. Yakni dengan menyingkirkan sekat-sekat perbedaan demi satu tujuan bersama, yaitu berdiri tegaknya NKRI.

"Jika ada yang tidak baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seharusnya bukan Pancasilanya yang diutak-atik, diubah, diperas-peras. Tapi perilaku dan sikap para pemimpin dan warga bangsalah yang mestinya di introspeksi. Terutama karena Pancasila adalah buah olah pikir, urun rembug dan kesepakatan para pendiri bangsa yang tidak lahir dari sekedipan mata," jelas Lieus.

Tak hanya itu, tambah Lieus, upaya untuk memelihara dan mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan nyata seringkali tak sama pada setiap orang.

"Akan selalu ada persepsi yang berbeda. Tapi itu tidak berarti Pancasilanya yang harus diotak-atik,” tegasnya.

Sehingga, Lieus menegaskan, dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang plurakis, Sila-Sila dalam Pancasila sejatinya sudah final dan mengikat.

Dengan demikian, Lieus berharap para elit bangsa seperti tokoh agama, politisi, pejabat pemerintahan, akademisi, seniman, budayawan, wartawan, harus mengambil peran pentingnya masing-masing dalam mengamalkan Pancasila.

"Sayang, peran itulah yang saat ini terabaikan. Semua hal yang terkait negara dan bangsa, semuanya kini diambil alih oleh politisi," pungkasnya.

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Kaki Kanan Aktor Senior Dorman Borisman Dikubur di Halaman Rumah

Kamis, 02 Mei 2024 | 13:53

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

UPDATE

2.700 Calon Jemaah Haji Jember Mulai Berangkat 20 Mei 2024

Sabtu, 04 Mei 2024 | 13:49

Bertahun Tertunda, Starliner Boeing Akhirnya Siap Untuk Misi Awak Pertama

Sabtu, 04 Mei 2024 | 13:39

Pidato di OECD, Airlangga: Indonesia Punya Leadership di ASEAN dan G20

Sabtu, 04 Mei 2024 | 13:27

Jokowi: Pabrik Baterai Listrik Pertama di RI akan Beroperasi Bulan Depan

Sabtu, 04 Mei 2024 | 13:09

Keputusan PDIP Koalisi atau Oposisi Tergantung Megawati

Sabtu, 04 Mei 2024 | 12:49

Sri Mulyani Jamin Sistem Keuangan Indonesia Tetap Stabil di Tengah Konflik Geopolitik Global

Sabtu, 04 Mei 2024 | 12:40

PKB Lagi Proses Masuk Koalisi Prabowo-Gibran

Sabtu, 04 Mei 2024 | 12:26

Menko Airlangga Bahas 3 Isu saat Wakili Indonesia Bicara di OECD

Sabtu, 04 Mei 2024 | 12:11

LPS: Orang yang Punya Tabungan di Atas Rp5 Miliar Meningkat 9,14 Persen pada Maret 2024

Sabtu, 04 Mei 2024 | 11:58

PKS Sulit Gabung Prabowo-Gibran kalau Ngarep Kursi Menteri

Sabtu, 04 Mei 2024 | 11:51

Selengkapnya