Berita

Analis ekonomi dan politik Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra/Ist

Publika

Rasio Utang Yang Berbahaya, Efek Crowding Out, Dan Solusinya

SELASA, 30 JUNI 2020 | 12:25 WIB | OLEH: GEDE SANDRA

BANYAK pihak yang mengatakan bahwa rasio utang Indonesia, terutama Debt to GDP ratio yang menyatakan perbandingan antara total seluruh utang dengan PDB, berada dalam batas aman.

Data terakhir rasio utang terhadap PDB Indonesia (q1-2020) adalah di 34,5 persen. Masih sangat jauh dibandingkan dengan rasio utang negara-negara Amerika Serikat (106 persen) dan Jepang (230 persen), menurut pihak-pihak tersebut. Benarkah?

Yang pertama, tentu kita tidak dapat membandingkan Indonesia dengan Amerika ataupun Jepang. Amerika Serikat dan Jepang adalah negara yang mayoritas surat utangnya dipegang oleh domestik, sebesar lebih dari 90 persen untuk Jepang dan 70 persen untuk AS. Sedangkan Indonesia sebaliknya, 60 persen surat utang (dalam USD maupun Rp) dimiliki oleh asing.


Yang kedua, adalah tentang rasio. Batas aman rasio utang terhadap PDB 60 persen tidak relevan diterapkan bagi Indonesia, karena batas 60 persen hanya untuk negara-negara maju di Eropa dan OECD. Menurut IMF pada tahun 2002, rasio yang wajar untuk negara-negara berkembang adalah sebesar 40 persen. (Assessing Vulnerability. International Monetary Fund (IMF). May 28, 2002).

Menurut tulisan Anthony Budiawan di harian Kompas (“Benarkah Utang Indonesia Aman?”. Anthony Budiawan. Opini. Kompas. Juni 2019), ambang batas rasio utang 60 persen untuk anggota OECD diputuskan dalam perjanjian Maastricht tahun 1992.

Dalam perjanjian tersebut diperoleh kesepakatan: ambang batas rasio utang terhadap PDB dari dua kali lipat dari pendapatan pajak (tax ratio) negara-negara Eropa saat itu yang berada di kisaran 30-an persen.

Sementara, pendapatan pajak Indonesia tahun 2019 hanya 10-an persen, jadi batas aman dari rasio utang terhadap PDB Indonesia sebenarnya adalah hanya 20 persen.

Selain rasio total utang terhadap PDB, ada satu rasio lagi yang perlu diperhatikan, yaitu debt service ratio (DSR). DSR (tier 2) Indonesia per kuartal 1-2020 sudah di 48,6 persen. Ini jauh di atas batas aman DSR untuk negara berkembang (berpendapatan menengah ke bawah) yang seharusnya hanya maksimal (strong policy government) di kisaran 25 persen. (https://www.imf.org/external/np/exr/facts/pdf/jdsf.pdf)

Dengan DSR Indonesia (tier 2) yang sudah mencapai 48,6 persen, maka kita sebenarnya sudah jauh sekali di atas ambang batas aman tersebut.

Ada masalah lain dalam agresifnya pemerintah menerbitan surat utang, yang ternyata malah menimbulkan crowding out effect.

Penerbitan surat utang yang berbunga tinggi menyebabkan pemerintah kebanjiran uang dari sektor perbankan- yang seharusnya digunakan juga untuk swasta. Kemudian uang pinjaman dari publik yang disalurkan perbankan tersebut digunakan oleh pemerintah untuk membangun (spending) berbagai infrastruktur dan melunasi cicilan pokok dan bunga utang lama.

Tidak ada jatah kredit untuk sektor swasta, karena uang perbankan tersedot oleh surat utang pemerintah. Sektor swasta Indonesia kemudian “berkerumun di luar pasar (crowding out)”, tidak diikutkan dalam perekonomian. Dampak utamanya adalah pertumbuhan kredit perbankan yang mencapai yang terendah sepanjang sejarah pada tahun 2019, hanya 6,08 persen.

Renegosiasi utang tidak mungkin ditawar lagi, sebagai solusi utama atas krisis utang yang sudah terjadi. Untuk utang luar negeri yang non surat utang, sebisa mungkin untuk dilakukan dalam bentuk debt swap.

Negosiasi debt swap dengan negara kreditor dapat dilakukan dengan memanfaatkan isu lingkungan. Biasa disebut juga sebagai debt- to- nature swap. Jadi, negara kreditor akan menghapuskan sebagian utang luar negeri Indonesia, bila Indonesia melakukan konservasi hutannya di dalam negeri. Isunya adalah penyelamatan paru-paru dunia, suatu isu yang sedang menjadi keprihatinan global saat ini.Parlemen di negara-negara kreditor Indonesia pasti akan dengan senang hati melakukan debt to nature swap untuk utang Indonesia.

Untuk utang-utang yang berbentuk bond, surat utang, yang dapat dilakukan adalah renegosiasi dengan jalan debt-switching. Menukar surat utang yang bertenor panjang dengan yang pendek, dan surat utang yang berbunga ketinggian dengan surat utang baru yang berbunga lebih rendah.

Ini adalah jalan untuk mengurangi beban bunga dari surat utang Indonesia. Yang pada gilirannya juga akan menyelamatkan Bangsa Indonesia di masa depan dari beban bunga utang yang mencekik anggaran negara.

Penulis adalah analis ekonomi dan politik Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR)

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya