Berita

Muhammad Najib/RMOL

Muhammad Najib

Rasialisme Dalam Politik

KAMIS, 11 JUNI 2020 | 15:10 WIB | OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB

"TIDAK ada perbedaan antara Arab dan non-Arab (Ajam)", demikianlah potongan hadits Nabi Muhammad saw yang secara konsisten beliau praktikan saat menjadi pemimpin di negara Madinah.

Lebih dari itu tidak ada perbedaan perlakuan antara yang penganut Islam dan non-Muslim di hadapan hukum. Banyak kisah kasus percekcokan antara Muslim dan non-Muslim yang kemudian dimenangkan oleh non-Muslim di depan pengadilan yang sering diceritan oleh para mubalig.

Praktik keadilan dalam pemerintahan seperti ini dilanjutkan oleh Khalifahu Rasyidin atau empat khalifah sesudah Rasulullah. Bahkan Umar bin Khattab yang menjadi Khalifah ke-2 melakukannya dengan cara yang sangat ekstrim, dimana anaknya sendiri dihukum di depan umum karena melakukan kesalahan.

Di era Bani Umayyah, kemudian Bani Abbasiyah, sampai Kesulthanan Turki Usmani, praktik non diskriminatif baik dalam pemerintahan maupun lembaga pengadilan terus dilanjutkan, meskipun dengan derajat yang berbeda-beda yang sangat dipengaruhi oleh sikap dan karakter sang pemimpin.

Di sinilah sebenarnya salah satu rahasia kokohanya sebuah pemerintahan dan keagungan nilai-nilai Islam. Nilai-nilai keadilan menjadi kunci dalam pengamalan ajaran Islam, khususnya dalam pengelolaan negara.

Kata-kata yang terkait dengan "adil" dan "keadilan" disebutkan dalam Al Qur'an tidak kurang dari 53 kali. Salah satu potongan ayat yang sangat tegas dalam masalah keadilan dan perbedaan ras berbunyi: "Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu golongan mendorong munculnya sikap untuk berlaku tidak adil" (Al Maidah: 8).

Nilai luhur dan mulia ini bersifat universal, karena itu siapapun yang mempraktikannya akan membawa kebaikan bersama, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dan pengaruhnya semakin besar bila dipraktikan oleh para penguasa atau mereka yang memiliki kekuasaan.

Sayang tabiat para politisi dimanapun dari dulu sampai sekarang cendrung untuk bersikap dan berprilaku sebaliknya, disebabkan dorongan nafsu terhadap  kekuasaan yang berlebihan.

Lebih dari itu, demi kekuasaan seringkali keadilan bukan saja diabaikan bahkan dikorbankan. Sebaliknya rasialisme baik terkait dengan perbedaan etnis maupun agama dieksploitasi demi meraih atau mempertahankan kekuasaan.

Sebagai politisi sejak awal ketika masih menjadi kandidat presiden, Donald Trump secara terbuka telah memainkan isu rasial untuk memenangkan pilpres melalui pemilu di Amerika.

Kalkulasi politiknya sederhana, jumlah kulit putih asal Eropa di Amerika lebih dari 70 persen, sisanya adalah mereka yang berkulit hitam asal Afrika, Hispanik asal Amerika Selatan, dan kulit berwarna asal Asia. Strategi yang dipilih Trump adalah fokus pada penduduk kulit putih.

Strategi ini sebenarnya sangat jitu jika dilihat hanya dalam perspektif jangka pendek dalam meraih kekuasaan, dan mengabaikan dampak kerusakan jangka panjang yang ditimbulkannya.

Apalagi di Amerika, persoalan rasialisme telah muncul sejak berdirinya. Karena itu kehadiran Donald Trump seperti membangkitkan luka lama, sekaligus mengubur prestasi sejumlah tokoh dalam meredam tabiat rasialis kelompok kulit putih di negri ini.

Biasanya setelah menang para politisi mengubah sikap atau paling tidak mengubah tampilan, sehingga nampak lebih adil dan lebih bijaksana. Akan tetapi Donald Trump ternyata berbeda. Bukan saja berbagai kebijakannya pekat dengan spirit rasialis, juga tampilan dan narasi sang Presiden sering kali provokatif dengan semangat rasialisme yang sangat tinggi.

Perlakuan keji sampai mati seorang kulit hitam bernama George Floyd oleh seorang polisi berkulit putih, tidak bisa dilepaskan dari prilaku Donald Trump yang kini menghuni Gedung Putih. Kasus Floyd sebenarnya hanya puncak gunung es dan merupakan rangkaian dari korban kekerasan yang terus meningkat di Amerika sejak Trump berkuasa.

Bagi ilmuwan sosial yang jeli, sebenarnya kerusakan tatanan sosial dan nilai-nilai yang dibanggakan oleh bangsa Amerika selama ini jauh lebih parah yang dampaknya baru terasa kedepan sesudah Trump meninggalkan Gedung Putih. Dan semua ini akan ditanggung oleh generasi Amerika berikutnya. Apakah sang Presiden bernama Donald Trump peduli dengan semua ini? Wallahua'lam.

Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Melalui Rembug Ngopeni Ngelakoni, Luthfi-Yasin Siap Bangun Jateng

Minggu, 02 Februari 2025 | 05:21

PCNU Bandar Lampung Didorong Jadi Panutan Daerah Lain

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:58

Jawa Timur Berstatus Darurat PMK

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:30

Dituding Korupsi, Kuwu Wanasaba Kidul Didemo Ratusan Warga

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:58

Pelantikan Gubernur Lampung Diundur, Rahmat Mirzani Djausal: Tidak Masalah

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:31

Ketua Gerindra Banjarnegara Laporkan Akun TikTok LPKSM

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:57

Isi Garasi Raffi Ahmad Tembus Rp55 Miliar, Koleksi Menteri Terkaya jadi Biasa Saja

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:39

Ahli Kesehatan Minta Pemerintah Dukung Penelitian Produk Tembakau Alternatif

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:18

Heboh Penahanan Ijazah, BMPS Minta Pemerintah Alokasikan Anggaran Khusus Sekolah Swasta

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:58

Kecewa Bekas Bupati Probolinggo Dituntut Ringan, LIRA Jatim: Ada Apa dengan Ketua KPK yang Baru?

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:42

Selengkapnya