Dinamika Pilwakot Solo memasuki fase yang mulai matang. Turbulensi yang sempat mengejut dan menyita perhatian publik kini mereda. Kota yang pernah dipimpin Joko Widodo selama dua periode, meski tak penuh, karena sang Walikota-sekarang Presiden RI naik tingkat terpilih menjadi Gubernur DKI Jaya.
Luar biasa. Ya, luar biasa karena sepak terjang mantan juragan mebel ini membuat jagat politik nasional bergoyang genjrang alias mobat mabit bin meriung riung sebegitu rupa.
Adalah Gibran Rakabuming Raka yang menjadi pemantik suasana Pilwakot Kota Solo menjadi encer. Putra Sulung mantan Walikota Solo, Joko Widodo periode 2005-2012 tiba tiba kedhereng untuk ikut berlaga. Maaf istilah saya menggunakan terminologi Jawa kedhereng karena Gibran sebelumnya seperti tak berminat terjun ke politik.
Statmennya pun bisa ditafsir mengarah ke sana, yakni tak ingin larut di pusaran politik dinasti. Memang tak ada larangan, dan sah sah saja owner perusahaan catering Cili Pari ini berubah sikap, atau lantas memilih untuk terjun ke gelanggang politik, dalam hal ini Pilwakot Kota Solo. Itu hak dan sangat asasi bagi siapa pun.
Yang menarik di sini langkah dan sikap Gibran tak terlihat dari awal. Artinya minat, kemudian sikap, dan manifestasi itu ditunjukkan tidak terkesan ujug ujug. Kali ini sulit untuk tidak mengatakan keputusan Gibran kenthal nuansa ujug ujug tersebut. Dua indikator yang dapat menjadi pisau analisa terkait langkah politik putra sulung presiden Jokowi itu. Pertama tahapan Pilwakot telah berjalan, dan DPC PDI Perjuangan Kota Solo telah membuat rekomendasi, yakni mengusulkan Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa.
Sampai di sini, catatan yang dapat menjadi refleksi adalah, mengapa Gibran tidak mendaftar ketika DPC PDI Perjuangan Kota Solo membuka pendaftaran. Andai jalur atau mekanisme itu dilalui langkah politik Gibran akan sangat elok. Sebab dengan cara tersebut kontroversi, juga kondusivitas akan lebih menghadirkan suasana kebathinan yang utuh.
Kedua, meski membicarakan ikhwal Pilwakota Kota Solo sama saja membahas agenda yang sudah basi, karena semua itu sudah terjadi, namun setidaknya fenomena ini dapat menjadi renungan secara filosofis juga kultural. Apalagi Solo adalah episentrum budaya jawa yang lekat falsafah adi luhung, juga nilai nilai Jawa yang kita dituntut dapat berlaku kafah, mikul duwur mendhem jero.
Pesan yang ingin saya sampaikan di sini, terkait hal di atas adalah sebagai seorang putra orang nomor satu di pertiwi ini, Gibran setidaknya perlu ngrungkebi nilai nilai dan falsafah tersebut. Dengan begitu ke depan ketika menjadi pemimpim, termasuk insya allah menjadi Walikota Solo secara politis akan teguh dan jejeg dengan paugeran paugeran yang menjadi value tentang Jawa atau sebagai Wong Jowo itu sendiri.
Langkah NegarawanIndonesia menganut sistem demokrasi. Bukan ambigu, tetapi demokrasi yang kita anut, meski mereduksi nilai nilai demokrasi barat, namun demokrasi kita bukan itu. Demokrasi kita adalah demokrasi Pancasila.
Apa itu Demokrasi Pancasila?? Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang memijakkan sikap, pandangan, dan manifestasi dalam mengimplementasikan nilai nilai itu tidak melepaskan etika, dan sendi sendiri kehidupan berbangsa, bernegara sesuai tata nilai kebudayaan yang telah terpateri, mengakar di bumi pertiwi ini.
Kita terlahir, ditempa dan terbentuk oleh peradaban yang diakui dunia. Kita terlahir, hidup, dan menjalaninya sebagai bangsa beradab, bukan penakluk. Jauh berabab abad silam, sebelum imperialis dan kolonialis datang mencabik, mengoyak, sampai menerungku kedaulatan, kita adalah bangsa yang beradab dengan warisan warisan luhur tiada terkira. Kejayaan Mapapahit, Sriwijaya, mahakarya agung, seperti Borobudur, Prambanan adalah monumen abadi yang diakui dunia.
Karenanya Pancasila yang memijakan pada nilai nilai di atas, bukan sikap yang ambigu, apalagi banci dengan kelamin yang tidak jelas. Bukan. Tri Sakti Bung Karno adalah manifestasi nyata atas kepribadian bangsa ini. Nyata dan jelas sekali bagaimana personifikasi ke-Indonesian mereflesikan pemikiran pemikiran Soekarno.
Simak butir butir Tri Sakti yang dicetuskan proklamator, sekaligus Presiden I Republik Indonesia, yakni ‘Berdaulat secara politik, Berdikari secara ekonomi, dan Berkepribadian secara budaya’ . Menilik butir butir di atas, itulah pandangan, sikap yang orisinal, otentik dan riil untuk menjadi kredo sebuah bangsa. Bukankah ketika itu kita justru disegani, juga dihormati oleh bangsa bangsa lain di belahan bumi ini.
Karenanya kembali menguh sikap dan pandangan kita dalam berbangsa, jadiri itu mesti dikedepankan. Demokrasi secara substantif bukanlah mekanisme presure untuk mencari kemenangan. Namun demokrasi adalah piranti melihat perbedaan dalam bingkai keberagaman, sebagai sebuah taman sari bernegara.
Kembali dalam konteks kontestasi untuk menduduki jabatan publik, demokrasi tidak semata mata unjuk kekuatan sebagai jalan merebu ingat merebut bukan meraih kekuasaan. Bukan. Saya prihatin melihata kecenderungan yang menjadi fenomena umum, Pilkada, baik itu Pemilihan Bupati, Walikota, dan juga Gubernur tak lebih panggung adu kekuatan. Gladiator gladiator diadu, siapa yang kuat mereka yang menang.
Bukan seperti itu, demokrasi Pancasila bukan demokrasi seperti itu. Anda mau setuju atau tidak, silakan, tetapi saya ingin meningatkan dan meneguhkan demokrasi Pancasila harus tetap memijakkan pada nilai nilai ke-Indonesiaan. Sudah pasti dalam berjalan ada berbeda pendapat, tetapi bukan perbedaan adalah cara untuk menyempurnakan sebuah harmoni.
Seperti sekali lagi taman sari, kebun binatang menjadi tidak menarik jika di sana hanya ada satu jenis binatang, karena itu akan menjadi kandang saja. Juga pasar malam, di sana akan menarik jika ada dangdut, keroncong, tong setan dan sulap, karena kalau hanya tong setan saja, namanya akan menjadi kandang setan...
Akhirnya sebagai penutup, sesuai dengan judul catatan ini, sungguh kami menyampaikan takzim dengan sikap Achmad Purnomo yang menunjukkan kenegarawanannya undur, bukan mundur dari Pilwakot Kota Solo. Tak elok dan tak bijak, di saat rakyat tengah berkubang, bergulat, bertahan hidup dari Pandemi Covid yang belum jelas kapan berakhirnya kompetisi berebut, bukan untuk meraih atau menjadi Walikota Solo justru terjadi.
Atas dasar itulah Achmad Purnomo, yang saat ini adalah Wakil Walikota mendampingi Hady Rudyatmo, yang akrab dipanggilan Rudy dan berdasar Keputuan Pleno DPC PDI Perjuangan Kota Solo telah direkomendasikan menjadi calon walikota berpasangan dengan Teguh Prakosa memutuskan untuk undur, alis menarik diri.
Keputusan yang angat menginspirasi, memberi pelajaran dan pencerahan. Apalagi di tengah situasi prihatin karena Pandemi Covid 19 langkah dan keputusan Achmad Purnomo merupakn bentuk teladan yang kita perlu catatan sebagai langkah negarawan.
Penulis adalah Anggota Pokja Hukum Dewan Pers, Pemimpin Umum RMOL Jateng.