Berita

Ketum PP Muhammadiyah saat mengulas sosok Buya Syafii Maarif/Repro

Politik

Sosok Buya Syafii Maarif Di Mata Ketum PP Muhammadiyah

MINGGU, 31 MEI 2020 | 02:32 WIB | LAPORAN: FAISAL ARISTAMA

Hari ini Minggu (31/5) adalah momen kelahiran Guru Bangsa Buya Ahmad Syafii Maarif. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2000-2005 itu lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus Minangkabau pada 31 Mei 1935.

Semua tokoh dan elite bangsa mengenal sepak terjang pria yang karip disapa Buya Syafii sebagai pribadi yang sederhana dan berintegritas.

Salah satu tokoh yang memberikan testimoni terhadap sepak terjang Buya Syafii adalah Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir.

Dalam acara Bincang Jaringan Intelektual Berkemajuan memperingati 85 tahun kelahiran Buya Syafii yang bertemakan "Mencari Negarawan" Sabtu Malam (30/5), Haedar Nashir memberikan ulasannya selama 29 menit 19 detik.

Haedar Nashir mengungkapkan bahwa sosok Buya Syafii Maarif merupakan simbol kenegarawan. Konsistensinya dalam kecintaan pada pemikiran, sikap hiduap dan tindakannya telah dipandang oleh masyarakat luas dan sangat bermakna bagi kehidupan bangsa.

"Dalam konteks bangsa, Buya telah hadir menjadi sosok yang memberi warna yang menghadirkan pemahaman tentang pluralisme atau kemajemukan dalam beragama berbangsa bernegara. Di satu pihak tetapi pada prinsip-prinsip kita berislam tetapi menghadirkan Islam yang inklusif," demikian salah satu kutipan testimoni Haedar Nashir, Sabtu (30/5).

Berikut ini testimoni lengkap Haedar Nashir tentang sosok dan kiprah perjuangan Buya Syafii Maarif:

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Buya adalah sosok yang sepesial baik dalam perjalanan pergerakan Muhammadiyah. Lebih-lebih, dalam kehidupan bangsa.

Sekarang Buya adalah sosok yang disebut sebagai Bapak Bangsa karena kecintaannya pemikirannya, sikap hidup dan tindakannya dipandang oleh masyarakat luas sebagai sosok negarawan bangsa.

Buya Syafii hadir sebagai tokoh Muhammadiyah maupun tokoh bangsa, tidak dalam perjalanan yang singkat dan linier.

Beliau menapaki perjalanan dan perjuangan hidup yang luar biasa yang dalam puncak perjalanan itu kemudian membawa dirinya menjadi sosok yang memberi makna yang yang spesial bagi kehidupan bangsa.

Buya sebagai tokoh Muhammadiyah telah ikut menorehkan pemikiran-pemikiran maju bahkan sebagian orang menyebutnya sebagai pemikiran liberal dalam makna positif yang sering keluar dari tatanan dan status quo pemikiran.

Di era Buya lah lahir pemikiran tentang Khittah Muhammadiyah 2002 di Denpasar sekaligus juga dakwah kultural yang sempat menjadi polemik di tubuh persyarikatan.

Tapi dalam konteks Muhammadiyah, Buya paham betul bagaimana membingkai pemikiran-pemikiran itu dalam satu sistem dan kolektivitas, sehingga menghasilkan pemikiran bersama yang memberi warna dalam perjalanan Muhammadiyah yakni Muhammadiyah yang berwajah kultural tanpa wajah politik.

Politik memang penting tapi ketika politik masuk pada pusaran pergumulan kekuasaan praktis dan terlibat dalam sikap-sikap partisan disitulah bukan ranahnya Muhammadiyah dan tradisi ini sebenarnya merupakan kelanjutan dan mata rantai dari khittah Muhammadiyah yang telah ditetapkan oleh para pendahulu sejak tahun 1968-1971 sampai seterusnya.

Dan warna Muhammadiyah yang kultural itu sesungguhnya adalah karakter Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah bil hikmah sekaligus juga mencerminkan kepribadian dan khittah Muhammadiyah.

Dalam konteks bangsa Buya, telah hadir menjadi sosok yang memberi warna yang menghadirkan pemahaman tentang pluralisme atau kemajemukan dalam beragama berbangsa bernegara. Di satu pihak tetapi pada prinsip-prinsip kita berislam tetapi menghadirkan Islam yang inklusif.

Warna ini sangat kuat yang kadang dan dalam beberapa hal kemudian menimbulkan salah paham dan kontroversi dikalangan sebagian umat bahkan sebagian warga Muhammadiyah. Tetapi lama-kelamaan kita memahami karakter pemikiran inklusif itu sebagai bagian tidak terpisahkan dari alam pikiran Muhammadiyah, yang juga bersamaan dengan itu telah bertumbuh menjadi pemikiran-pemikiran yang sebenarnya punya dasar pada apa yang telah diletakkan oleh Kyai haji Ahmad Dahlan Islam yang inklusif dan berkemajuan.

Kiprah Buya sebagai sosok yang mewakili kekuatan civil society dia tidak anti kekuasaan dan anti rezim tetapi juga tidak tidak larut dan tidak masuk pada rezim itu.

Tentu setiap orang punya kekurangan, tetapi benang merahnya adalah Buya ingin menghadirkan Islam Muhammadiyah dan wawasan kebangsaan yang merawat kemajemukan.

Tentu kemajemukan itu bukan sesuatu yang sekali jadi dan statis selalu berproses, tapi hal yang sangat penting kita pahami adalah baik dalam konteks di tubuh umat Islam maupun dalam kehidupan kebangsaan kita tidak bisa mengingkari adanya kemajemukan. Kemajemukan adalah sesuatu yang bersifat sunnatullah tinggal bagaimana kita memberikan perspektif pemahaman dan pemikiran yang luas di mana kita bisa hidup berdampingan dan dalam spirit Al Hujarat 13.

Semangat kemajemukan yang juga bersifat universal juga menjadi bagian dari keprihatinan dan konsep pemikiran Buya. Buya Syafii membawa Islam pada kancah pemikiran kemanusiaan universal tanpa sekat. Pemikiran pemikiran humanisme Islamnya telah memberi warna pada orientasi kemanusiaan universal.

Fondasi ini tentu perlu terus diwacanakan oleh generasi muda dengan kritik dengan perspektif baru bila perlu dan horizon pemikiran yang semakin luas.

Dalam konteks kenegaraan, kita memang sekarang ini memerlukan pemikiran sosok dan orientasi tindakan para elit bangsa dari puncak sampai bawah yang betul-betul berjiwa kenegarawanan yakni meletakkan kepentingan bangsa yang lebih luas secara jujur authentic diatas kepentingan kelompok golongan apalagi pribadi.

Masuk pada wilayah ini memang tidak mudah karena memerlukan pembongkaran orientasi egoisme atau ananiyah baik dalam konteks pribadi maupun dalam konteks kepentingan kelompok.

Dalam konteks kepentingan pribadi sosok negarawan harus mampu mengeliminasi hasrat-hasrat pribadi jangka pendek pendek atau terselubung yang membuat kita kehilangan kejujuran untuk bicara tentang bangsa baik ketika kita berbicara tentang sesuatu yang positif dan bersifat progres maupun sesuatu yang bersifat kritik dan kita pandang sebagai kemunduran.

Kritik maupun sifatnya supporting terhadap kehidupan kebangsaan adalah sesuatu yang wajar dan alamiah. tidak ada problem soal mendukung atau kritik terhadap situasi kebangsaan Tetapi semuanya harus dilakukan dengan cara yang jujur dan otentik serta meletakkan kepentingan bangsa diatas kepentingan yang lain.

Dalam konteks lain, sikap kenegarawanan adalah kata sejalan tindakan. Kita memerlukan para elite bangsa baik di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan yang menunjukkan konsistensi antara apa yang dinyatakan dan dikatakan dengan apa yang dilakukan atau diperbuat.

Manusia tidak ada yang sempurna siapapun dia, tetapi konsistensi itu akan menunjukkan benang merah sikap kenegarawanan seseorang. Bahkan siapapun elite bangsa boleh jadi pernah berbuat salah, tetapi jujur ketika salah itu adalah jiwa kenegarawanan.

Kita saat ini juga memerlukan jiwa kenegarawanan yang sifatnya teladan. Menjadi contoh bagi rakyat dan masyarakat banyak. Ketika kita bicara tentang demokrasi tunjukkan sikap demokrat yang sejati, bersedia menerima kritik dan dialog, bukan menghadirkan diri yang digdaya anti kritik.

Kita juga ingin menyaksikan para tokoh bangsa di dalam dan di luar pemerintahan yang mampu menghadirkan uswah hasanah. Di mana gerakan kebangsaan apapun bentuknya muaranya adalah mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Tidak ada kepentingan kepentingan pribadi yang menyelinap di dalam pergerakan itu, biarpun orang tahu dan mungkin juga sebagai sesuatu yang wajar bahwa orang memiliki kepentingan tertentu.

Tetapi perbedaan antara negarawan dan politisi adalah kepentingan politik itu di satu pihak, ketika dia menjadi politisi tentu harus terbuka di lahan partai politik dan pergerakan politik tidak bersembunyi di balik pergerakan masa atau pergerakan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Dimana di situ memang bukan ladang yang untuk pergulatan politik.

Menjadi politisi itu juga penting dan baik. Tetapi sikap autentik, jujur dan menggunakan jalur yang semestinya, itulah yang penting.

Tampillah anak muda maupun siapapun dia untuk perjuangan politik kekuasaan tapi pergunakanlah kendaraan yang tepat yakni partai politik atau yang secara terbuka dimaklumatkan sebagai pergerakan politik.

Jangan memanfaatkan Ormas dan civil society yang murni dan autentik untuk pergerakan di bidang itu sebagai kendaraan politik. Disinilah pentingnya di tubuh politisi pun ada jiwa futuwwah.

Kenegarawanan mesti langka, tetapi harus menjadi milik kita bersama para elit bangsa dimanapun. Di pemerintahan baik di legislatif, eksekutif, yudikatif dan lembaga-lembaga lain. Tunjukkan, bahwa semuanya berjuang untuk bangsa dan negara.

Wajar ketika manusia atau aktor politik berjuang untuk meraih kekuasaan tersebut dimulai dengan janji dan segala simbolisme politik yang melahirkan simpati rakyat yang sekarang disebut dengan populisme, tetapi sekali dan setelah Dia memegang jabatan itu tunjukkan jiwa kenegarawanan.

Populisme itu penting tetapi populisme yang betul-betul autentik. Dengan kekuasaan di eksekutif, legislatif dan yudikatif jika ingin populis buktikan dengan kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah yang memihak kepentingan rakyat yang benar yang baik yang lurus dan membawa bangsa ini maju.

Bukan populisme parsial dan simbolik hanya menyenangkan hati rakyat seketika, tetapi tidak pernah mengubah nasib rakyat yang menderita dari kemiskinan dari marjinalisasi dari terhegemoni oleh banyak kekuatan politik maupun ekonomi. Yang akhirnya rakyat hanya menjadi objek penderita pada setiap kontestasi politik atas nama populisme.

Termasuk atas nama agama tidak salah ada pergerakan politik atas nama agama tetapi tempatkan di jalurnya dan jangan agama hanya dijadikan alat. Apalagi disertai dengan kepentingan-kepentingan politik terselubung yang membuat umat terombang-ambing di jalan politisasi agama yang akhirnya satu sama lain saling terlibat di dalam konflik kepentingan agama bahkan konflik atas nama dan memiliki sentimen keagamaan.

Disinilah pentingnya tanggung jawab luhur para politisi para negarawan dan para elit bangsa maupun di tubuh kekuatan-kekuatan agama.

Konteks kenegarawanan juga diperlukan ketika bangsa ini saat ini berada dalam proses perubahan yang belum pernah selesai pasca kita reformasi. Reformasi merupakan pilihan niscaya dari pergerakan rakyat dengan seluruh komponen dan kekuatan bangsa termasuk para tokohnya untuk mengubah rezim yang otoriter menjadi rezim yang demokrasi. Tetapi reformasi tidak bisa dilepaskan dari konteks jiwa landasan dan cita-cita hidup bangsa yang diletakkan oleh para pendiri bangsa tahun 1945.

Reformasi harus membawa cita-cita menjadikan Indonesia yang bersatu, maju, berdaulat adil dan makmur. Reformasi tidak untuk reformasi, demokrasi tidak untuk demokrasi, tetapi harus membawa kemajuan. Dan kemajuan itu tidak semata-mata pragmatis, tetapi harus punya pondasi dan sisi kebangsaan yang kokoh.

Untuk apa kita bernegara jika kita hanya berpikir tentang nilai guna, membangun Indonesia hanya bersifat fisik tetapi lepas jiwa dan ruhnya. Jadikan Pancasila betul-betul sebagai dasar kita bernegara yang kita wujudkan bukan hanya dalam kata-kata tetapi dalam tindakan.

Buya Syafii Maarif, sering mengatakan bahwa sila yang paling terlantar di Republik ini adalah sila ke-5 keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jangan-jangan kita juga mengalami peluruhan sila pertama sila kedua sila ketiga dan keempat.

Nilai-nilai ketuhanan Jangan dianggap sebagai sesuatu yang parsial bahkan dengan titik kompromi antara Ki bagus Hadikusumo dengan Bung Hatta dan para tokoh bangsa yang lain dengan penghapusan 7 kata sesungguhnya sila ketuhanan yang maha esa memiliki fondasi yang kuat untuk menjadi jiwa bangsa dan alam pikiran bangsa ini.

Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lima nilai dasar ini harus menjadi jiwa filosofis bingkai untuk kita berfikir dan bertindak dalam konteks bernegara. Jangan sampai para elite bangsa atas nama Pancasila tapi sesungguhnya pemikiran dan langkahnya tidak sejalan dengan 5 dasar dan visi kebangsaan itu.

Pancasila pun jangan dibawa pada tafsir-tafsir masa lalu. Jadikan rujukan Pancasila adalah Pancasila 18 Agustus yang telah menjadi kompromi bersama. Kalau masing-masing membawa dan menafsirkan Pancasila sesuai dengan selera kelompoknya hati-hati nanti akan terjadi konflik ideologi.

Di sinilah kecintaan pada Pancasila harus disertai dengan alam pikiran yang luas Jangan semata-mata karena ideologi yang terbatas. Tantangan kita sesungguhnya bagaimana mewujudkan Pancasila itu.

Jika Buya Syafii Maarif selalu menyoroti sila yang kelima artinya apa? Negara baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif harus peduli dan bertindak atas nama negara. Jangan sampai segolongan kecil orang menguasai hajat hidup rakyat dan kekuatan sumber daya alam kita hanya untuk kepentingan mereka.

Bisakah negara pejabat negara di tiga pilar strategis itu bertindak imperatif agar tidak ada golongan kecil yang menguasai Indonesia. Itu jiwa negarawan.

Tapi kalau abai dan hanya pada peduli persoalan-persoalan yang parsial, sensitif terhadap isu-isu yang sesungguhnya bisa kita selesaikan, pada persoalan besar yakni kesenjangan sosial dan Buya Syafi'i telah menyuarakan itu.

Di sinilah pentingnya jiwa dan perspektif yang luas dari para elite negara baik di dalam pemerintahan maupun juga di luar pemerintah.

Terakhir, Kita menghendaki agar jiwa negarawan itu juga tumbuh menjadi alam pikiran kolektif, kta sebagai bangsa termasuk warga negara. Masa depan Indonesia sesungguhnya tergantung kita.

Sistem politik ekonomi dan budaya kita saat ini sudah sangat sangat liberal. Yang intinya siapa yang kuat dia yang menang, politik pun sama siapa yang kuat dia yang akan menang. Pasti dia yang punya kekuatan politik dia akan menentukan merah hitam hijau nya negara ini.

Tetapi pernahkah mau mendengar suara kebenaran di luar itu?

Jika ada elite bangsa yang bersuara lain tetapi untuk meluruskan arah dan kiblat bangsa, dengarkanlah dan jangan dianggap itu sebagai makar dan sampai terbukti bahwa itu makar.

Tetapi juga yang bersuara menyuarakan kebenaran itu sekali lagi harus autentik jangan menyelinap dan membawa misi-misi kebenaran itu hanya untuk kepentingan dan alam pikirannya sendiri. Musyawarah dan dialog itu menjadi penting. Indonesia tidak bisa dibawa oleh satu golongan oleh satu kelompok oleh satu kekuatan saja.

Bukankah Bung Karno pernah mengatakan di sidang BPUPKI bahwa Indonesia yang akan dibangun dan dimerdekakan saat itu adalah sebuah negara semua untuk semua, bukan negara untuk satu orang untuk satu golongan. Apakah itu golongan bangsawan atau golongan yang kaya, tetapi semua untuk semua.

Mewujudkan nya pun memang tidak gampang. Para tokoh bangsa yang dikenal negarawan pada periode pertama pemerintahan yang kita sebut dengan orde lama atau apapun namanya juga ada kekeliruan-kekeliruan dalam cara mengurus negara.

Orde Baru juga sama ada kekeliruan di dalam mengurus negara di samping kedua-duanya juga ada kelebihan dan kemajuan. Saat ini pun sama. Kemajuan ada tetapi juga ada problem-problem yang harus kita selesaikan dan kita luruskan bersama.

Disinilah pentingnya perspektif yang luas, bagi generasi muda, bukalah horison kebangsaan yang lebih mendalam dan lebih luas perspektifnya agar lebih maju lebih berjiwa negarawan dari generasi sebelumnya.

Kenegarawanan jangan dijadikan sebagai khazanah keilmuan untuk menara gading, tetapi untuk orientasi dalam pikiran dan tindakan kita seluruh keluarga bangsa, yakni meletakkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan.

Mudah-mudahan kita bisa mengambil mozaik dari kekayaan pemikiran Buya Syafii Maarif bersama para tokoh bangsa yang lain untuk Indonesia berkemajuan.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.Tahniah Buya Syafii Maarif Dan Lahirnya Pemuda Negarawan.

Populer

Gempa Megathrust Bisa Bikin Jakarta Lumpuh, Begini Penjelasan BMKG

Jumat, 22 Maret 2024 | 06:27

KPK Lelang 22 iPhone dan Samsung, Harga Mulai Rp575 Ribu

Senin, 25 Maret 2024 | 16:46

Pj Gubernur Jawa Barat Dukung KKL II Pemuda Katolik

Kamis, 21 Maret 2024 | 08:22

KPK Diminta Segera Tangkap Direktur Eksekutif LPEI

Jumat, 22 Maret 2024 | 15:59

Bawaslu Bakal Ungkap Dugaan Pengerahan Bansos Jokowi untuk Menangkan Prabowo-Gibran

Rabu, 27 Maret 2024 | 18:34

Connie Bakrie Resmi Dipolisikan

Sabtu, 23 Maret 2024 | 03:11

KPK Lelang Gedung Lampung Nahdiyin Center

Selasa, 26 Maret 2024 | 10:12

UPDATE

Pasca Penangkapan NW, Polda Sumut Ramai Papan Bunga

Kamis, 28 Maret 2024 | 21:58

Mahfud Kutip Pernyataan Yusril Soal Mahkamah Kalkulator, Yusril: Tidak Tepat!

Kamis, 28 Maret 2024 | 21:50

Namanya Diseret di Sidang MK, Jokowi Irit Bicara

Kamis, 28 Maret 2024 | 21:43

Serukan Penegakan Kedaulatan Rakyat, GPKR Gelar Aksi Damai di Gedung MK

Kamis, 28 Maret 2024 | 21:39

4 Perusahaan Diduga Kuat Langgar UU dalam Operasional Pelabuhan Panjang

Kamis, 28 Maret 2024 | 21:29

Rahmat Bagja Bantah Kenaikan Tukin Bawaslu Pengaruhi Netralitas di Pemilu 2024

Kamis, 28 Maret 2024 | 21:21

Ketum JNK Dukung Gus Barra Maju Pilbup Mojokerto Periode 2024-2029

Kamis, 28 Maret 2024 | 21:13

Serahkan LKPD 2023 ke BPK, Pemprov Sumut Target Raih WTP ke 10

Kamis, 28 Maret 2024 | 21:04

Demi Kenyamanan, Jokowi Imbau Masyarakat Mudik Lebih Awal

Kamis, 28 Maret 2024 | 21:00

Paskah 2024, Polda Sumut Tingkatkan Pengamanan

Kamis, 28 Maret 2024 | 20:53

Selengkapnya