Berita

Ilustrasi/Net

Muhammad Najib

Antara Khilafah Dan Kerajaan

KAMIS, 21 MEI 2020 | 13:47 WIB | OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB

ISTILAH "khalifah" memiliki dimensi sakral, oleh karena paling tidak dua kali digunakan dalam Al Qur'an: pertama, dalam Surah Al Baqarah 30: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".

Kedua, dalam surah As Sad 26: "Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah".

Jika yang pertama kata "khalifah" lebih menekankan pada makna sebagai wakil atau pengganti Tuhan di muka bumi, yang bertugas merawat dan memakmurkan dunia dan segenap isinya. Sementara pada yang kedua, lebih menekankan maknanya sebagai pemimpin yang salah satu tugas pentingnya adalah menegakkan keadilan.


"Khilafah" memiliki akar kata yang sama dengan "khalifah", yang secara sederhana dapat dimaknani sebagai sistem pemerintahan atau cara untuk mengelola negara. Pertanyaannya kemudian, bagaimana sistem pemerintahan atau cara mengelola negara yang ideal menurut Al Qur'an?

Tidak ada ayat yang secara eksplisit berbicara tentang bentuk negara atau sistem pemerintahan. Mayoritas para ulama berkesimpulan bahwa bentuk negara atau sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh ruang dan waktu, atau dengan kata lain sesuai dengan situasi dan kondisi.

Contoh yang paling ideal dari bagaimana bentuk negara dan bagaimana mengelolanya, tentu negara Madinah saat dipimpin Rasulullah Muhammad. Itulah sebabnya Muhammad bukan saja sebagai contoh ideal (uswah) tetapi juga sebagai model ideal (qudwah).

Persoalannya kemudian, jika substansi sistemnya ingin kita contoh, maka tantangannya terletak pada bagaimana mengembangkannya sejalan dengan berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat. Karena itu perlu ijtihad atau tajdid dalam bernegara.

Tantangan berikutnya terkait dengan masalah kepemimpinan. Rasulullah mendapat bimbingan langsung dari Allah, sementara manusia sesudahnya tentu tidak memiliki keistimewaan ini. Dengan kata lain, mana dimensi kemanusiaan Muhammad yang memungkinkan untuk ditiru, ternyata tidak mudah untuk memilahnya.

Karena itu para ilmuwan lebih suka merujuk pada para khalifah sesudahnya. Empat khalifah sesudah Rasulullah: Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali yang kemudian dikenal sebagai Khalifahu Rasyidin (khalifah yang lurus). Dikatakan demikian disebabkan keempatnya mempertahankan sistem yang diwariskan Rasulullah dan keempatnya juga berusaha semaksimal mungkin mengikuti cara Rasulullah dalam memimpin.

Adapun generasi sesudahnya, dimulai dari Muawiyah yang mengubah sistem khilafah menjadi kerajaan dan mengubah seorang khalifah menjadi seorang raja, meskipun istilah khalifah dan khilafah masih digunakan.

Setelah dinasti Bani Umayyah yang dibangun Muawiyah runtuh, lalu diganti oleh dinasti Abbasiyah, serta generasi sesudahnya sampai sekarang, ternyata semuanya mempraktikan sistem kerajaan, meskipun nama pemimpinnya terkadang masih menggunakan istilah khalifah, sultan, Emir atau amir, akan tetapi substansinya adalah raja.

Yang lebih memprihatinkan lagi, sistem kerajaan yang dipraktikan di sebagian besar negara muslim adalah model kerajaan primitif, sehingga raja memiliki kekuasaan absolut tanpa batas dan tanpa kontrol. Titah raja adalah hukum. Karena itu, baik dan buruknya sebuah kerajaan sangat ditentukan oleh baik dan buruknya sang raja.

Kerajaan modern yang dikembangkan dengan prinsip demokrasi seperti yang dipraktikan Inggris, Jepang, atau Malaysia, begitu juga bentuk republik yang mempraktikan demokrasi, secara substansial jauh lebih dekat dengan sistem khilafah yang dibangun dengan prinsip syura.

Bagi umat Islam Indonesia, demokrasi yang dibangunnya sejak 1945 telah mengakomodasi substansi syura dan memasukkan agama dalam sistem ketatanegaraannya. Bahkan menyebutkan nama Tuhan dalam sila pertama Pancasila, yang menjadi ideologi negara.

Hal ini harus dipandang sebagai bagian dari ijtihad para ulama yang ikut dalam menyusun sistem ketatanegaraan kita. Di satu sisi aspirasi umat Islam terakomodasi, dan pada saat bersamaan hak umat lain tidak diabaikan (Alqur'an, Ali Imran:64).

Untuk membuat sebuah negara menjadi maju dan makmur, selain masalah sistem atau wadah, sebenarnya yang tidak kalah pentingnya adalah pengelola negara itu sendiri atau bagaimana isinya.

Secara teoritis dikatakan bawa sistem yang kurang baik di tangan pejabat yang baik, jauh lebih baik dari pada sistem yang baik di tangan pejabat yang buruk. Meskipun demikian, yang tidak boleh dilupakan bahwa sistem yang baik dapat mencegah para pejabat negara yang bermaksud menyalah gunakan jabatannya.

Karena itu upaya untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusianya khususnya terkait kualitas moral, sama pentingnya dengan membuat sistem yang baik. Apalagi sistem ketatanegaraan kita terbuka untuk disempurnakan secara terus-menerus sesuai dengan tuntutan zaman.

Jika kita tidak terlalu fanatik dengan judul atau simbol dan lebih berorientasi pada substansi, maka sistem ketatanegaraan Indonesia sebenarnya sudah mendekati substansi sistem khilafah. Jika kini belum mencapai kondisi ideal, tidak bisa dilepaskan dari kualitas sumber daya manusianya, khususnya terkait dengan kualitas moral.

Jika masalah kualitas moral baik para pejabat maupun rakyatnya dapat ditingkatkan, maka bukan mustahil kita akan semakin dekat dengan janji Allah yang digambarkan sebagai negara yang baldatun tayibatun warabbun gafur.

Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

UPDATE

Program Belanja Dikebut, Pemerintah Kejar Transaksi Rp110 Triliun

Sabtu, 27 Desember 2025 | 08:07

OJK Ingatkan Risiko Tinggi di Asuransi Kredit

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:48

Australia Dukung Serangan Udara AS terhadap ISIS di Nigeria

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:32

Libur Natal Pangkas Hari Perdagangan, Nilai Transaksi BEI Turun Tajam

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:17

Israel Pecat Tentara Cadangan yang Tabrak Warga Palestina saat Shalat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:03

Barzakh itu Indah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:38

Wagub Babel Hellyana seperti Sendirian

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:21

Banjir Cirebon Cermin Politik Infrastruktur Nasional Rapuh

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:13

Jokowi sedang Balas Dendam terhadap Roy Suryo Cs

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:06

Komdigi Ajak Warga Perkuat Literasi Data Pribadi

Sabtu, 27 Desember 2025 | 05:47

Selengkapnya