Berita

Radar Tri Baskoro/Net

Publika

Pembangkangan Sipil

RABU, 20 MEI 2020 | 12:46 WIB

ISTILAH civil disobedience (pembangkangan sipil) dipergunakan pertama kali oleh Henry David Thoreau dalam esai yang ia tulis pada 1848 untuk menjelaskan penolakannya terhadap pajak yang dikenakan pemerintah Amerika untuk membiayai perang mereka di Meksiko. Pembangkangan Thoreau berkaitan dengan rencana pemerintah AS untuk memperluas praktik perbudakan di perbatasan Meksiko.

Menurut Thoreau, pembangkangan sipil adalah tindakan moral. Semua orang, kata Thoreau, seharusnya menolak siapa pun yang mau mendikte atau membungkam hati nurani mereka. Sebaliknya, justru mereka memiliki kewajiban untuk meluruskan tindakan pihak yang menjadikan mereka pelaku ketidakadilan. Pembangkangan Thoreau ini berbuah penjara bagi dirinya.

Thoreau tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Baginya, melayani masyarakat dengan sepenuh kesadaran adalah tindakan segelintir orang yang kemudian didaulat sebagai pahlawan, martir, patriot, dan pembaharu.   Sebagian dari mereka menentang pemerintah. Tidak heran bila pemerintah kerap menganggap mereka sebagai musuh.


Generasi kemudian bangga menjadi penerus Thoreau, mereka protes dan menyebutnya sebagai pembangkangan sipil. Itu sebabnya mereka pun menjadi musuh pemerintah.

Sepanjang sejarah, tindak pembangkangan sipil acap berhasil memaksa penilaian ulang atas parameter moral yang berlaku di masyarakat. Ambil contoh gerakan Boston Tea Party. Gerakan tersebut menentang pengenaan pajak tak langsung (teh) oleh Inggris kepada koloni Amerika, karena menurut mereka “no taxation without representation”. Pembangkangan tersebut telah memicu pergolakan yang pada akhirnya melahirkan negara Amerika Serikat.

Demikian juga gerakan pembangkangan terhadap hukum-hukum Inggris yang dipimpin Oleh Mahatma Gandhi, membawa kemerdekaan bagi India. Tidak terkecuali adalah gerakan sipil Martin Luther King Jr, gerakan wanita memilih, gerakan demokrasi Aungsan Suu Kyi di Birma, semuanya adalah contoh gerakan pembangkangan sipil.

Dalam Demokrasi Dan Hukum


Dalam demokrasi kita hanya memiliki kesempatan 5 tahun sekali untuk memutuskan bagaimana negara dijalankan. Setelah itu praktis partai politik mengendalikan melalui anggota-anggotanya di legislatif dan eksekutif.

Ketika partai politik itu dikuasai oligarki, praktik politik seperti di atas tidak adil. Pembangkangan sipil adalah metode yang powerful untuk menjadikan suara rakyat diperhitungkan.

Namun pemerintah selalu mengatakan bahwa pembangkangan adalah pelanggaran hukum. Hal itu tidak perlu dibantah. Dalam gelar aksi protes sudah umum bila peserta protes memenuhi jalan dan menyebabkan macet. Ini jelas pelanggaran hukum.

Namun banyak ahli hukum berpendapat bahwa pelanggaran itu dapat diabaikan, sepanjang aksi berlangsung damai dan tujuannya memperjuangkan keadilan.

Perlu diketahui demokrasi tidak selalu memberi keadilan. Tirani mayoritas atau oligarki selalu menghantui demokrasi. Dalam konteks itu Churchill pernah berkata, “Demokrasi adalah bentuk pemerintahan terburuk, kecuali semua bentuk lain yang pernah ada dalam sejarah.” Walau demokrasi bukan pemerintahan terbaik, ia masih yang terbaik dibanding bentuk pemerintahan lain.

Oleh karena itu demokrasi menciptakan ‘check and balance mechanism’. Mekanisme tersebut dirancang untuk menciptakan penghalang bagi tirani (oligarki). Namun betapapun bagusnya sistem dirancang, keadilan tidak selalu menjadi produk proses politik.

Maka demokrasi perlu menyediakan cara lain agar masyarakat bisa menggugah pemerintah supaya mau mengubah perspektifnya. Dalam hal ini demokrasi menjustifikasi civil disobedience untuk mendahulukan penegakan keadilan ketimbangan mematuhi hukum teknis (aturan lalu lintas, keramaian, dll),

Perjuangan keadilan berada di atas segalanya. Aksi yang tidak memenuhi maksud itu, misalnya aksi massa sektarian dan teror, bukan aksi yang bisa ditoleransi oleh demokrasi.

Radhar Tri Baskoro

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

UPDATE

Perbankan Nasional Didorong Lebih Sehat dan Tangguh di 2026

Senin, 22 Desember 2025 | 08:06

Paus Leo XIV Panggil Kardinal di Seluruh Dunia ke Vatikan

Senin, 22 Desember 2025 | 08:00

Implementasi KHL dalam Perspektif Konstitusi: Sinergi Pekerja, Pengusaha, dan Negara

Senin, 22 Desember 2025 | 07:45

FLPP Pecah Rekor, Ribuan MBR Miliki Rumah

Senin, 22 Desember 2025 | 07:24

Jaksa Yadyn Soal Tarik Jaksa dari KPK: Fitnah!

Senin, 22 Desember 2025 | 07:15

Sanad Tarekat PUI

Senin, 22 Desember 2025 | 07:10

Kemenkop–DJP Bangun Ekosistem Data untuk Percepatan Digitalisasi Koperasi

Senin, 22 Desember 2025 | 07:00

FDII 2025 Angkat Kisah Rempah Kenang Kejayaan Nusantara

Senin, 22 Desember 2025 | 06:56

Polemik Homebase Dosen di Indonesia

Senin, 22 Desember 2025 | 06:30

KKP Bidik 35 Titik Pesisir Indonesia Buat KNMP Tahap Dua

Senin, 22 Desember 2025 | 05:59

Selengkapnya