Berita

Pengamat politik dan komunikasi dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing/Net

Publika

Adakah Manfaat Di Balik Perubahan Aturan Mudik?

SENIN, 11 MEI 2020 | 10:53 WIB

BENAR, pasti ada. Perbincangan perubahan aturan mudik menarik disimak dari kajian komunikasi. Ada wacana melihat perubahan aturan mudik dari aspek kelemahan (negatif) saja, sebagai tindakan ego perspektif, sehingga berkesimpulan bahwa aturan tidak konsisten.

Ini tidak saya bahas dalam release kali ini karena sudah diperbincangkan oleh actor sosial tertentu di ruang publik. Saya mengemukakan sisi lain belum terwacanakan  dengan baik agar publik setidaknya mendapat “sepenggal” pencerahan. Apa itu?

Sesungguhnya, ada tersirat manfaat dan makna paripurna manfaat perubahan aturan mudik bagi masyarakat pada umumnya dan bagi yang pulang kampung serta terutama kepada para pemudik. Sayangnya, manfaat tersebut belum dikomunikasikan secara asertif oleh para pejabat pemerintah pusat yang bertangung jawab dan berwenang dalam bidang komunikasi dan informasi terkait dengan segala aspek dampak Covid-19.  


Untuk itu, perlu komunikator komunikasi pemerintah yang kompeten, handal, kredibel bidang komunikasi dan yang tak kalah pentingnya memilik kemampuan komunikasi asertif. Artinya, masyarakat memperoleh pemahaman menyeluruh, mendalam dan menerima tanpa merasa dipaksa serta mereka bisa memetik manfaat dari dinamika perubahan aturan mudik.

Dengan strategi komunukasi semacam ini, aktor sosial tertentu yang ingin mengesankan pemerintah sebagai plin-plan atau mencla-mencle bisa koreksi diri  dan sekaligus masyarakat mendapat “pencerahan” dari perspektif lain.

Dari aspek filosofis, maupun proses sosial dan perspektif kualitatif, perubahan aturan mudik justru membenarkan bahwa setiap fenomena sosial, termasuk perubahan aturan mudik, pasti dinamis dan cair sebagai aksioma sosial realitas sosial. Karena itu, perubahan aturan ini dapat dimaknai sebagai penyempurnaan dari kebijakan sebelumnya sebagai tindakan adaptif terhadap dimanika kehidupan sosial yang bisa terjadi hitungan detik.

Bahkan boleh jadi pemerintah, saya menduga, melihat ada kemungkinan perubahan ke arah postif penanganan Covid-19, namun karena belum pasti, maka belum waktunya disampaikan kepada publik. Jadi, perlu membangun berpikir positif di tengah masyarakat lewat berbagai tindakan komunikasi dari penanggungjawab komunikasi pemerintah.

Sebab, setiap individu manusia dalam suatu kelompok sosial formal (negara misalnya) mapun informal, tak terkecuali orang yang pulang kampung atau mudik, semua  mempunyai kehendak bebas, kreatif, punya cita-cita dan harapan yang membuat kehidupan sosial dinamis. Karena itu, ketika aturan itu kaku, bisa “mengganggu” kebutuhan masyarakat yang bergerak terus. Aturan yang tidak feleksibel pada konteks sosial tertentu bisa “berbahaya”.

Karena itulah, perubahan aturan mudik juga harus dilihat sebagai kehendak baik pemerintah dan meyadari betapa dinamisnya kehudipan sosial dan sekaligus sebagai  bukti bahwa pemerintah pusat sangat adaptif terhadap kebutuhan masyarakat tentang tradisi pulang kampung atau mudik yang memiliki nilai sosial sangat spesial bagi mereka. Jadi, tidak boleh ego sektoral.

Dalam hal terjadinya perubahan aturan atau protocol mudik, menurut saya, pemerintah pusat sangat responsif terhadap dinamika dan situasi sosial karena dampak sosial Covid-19 juga  bergerak fluktuatif bahkan bisa tak terduga di tengah masyarakat heterogen, jumlah penduduk besar dan letak geografis terpisah lautan dengan ribuan pulau, seperti Indonesia. Oleh karena itu, penetapan kebijakan dan aturan penanganan dampak Covid-19 harus unik, dinamis dan implementatif  sesuai dengan konteks waktu, sosial dan ke-Indonesia-an.

Untuk itulah, saya menyarankan agar menteri komunikasi dan informasi, juru bicara presiden, tim komunikasi istana, serta para kepala biro komunikasi dan informasi kementerian dan lembaga pemerintah agar melakukan koordinasi dan komunikasi sesama mereka serta piawai mengelola komunikasi sehingga bisa menjadi leading sektor isu untuk lebih awal melakukan imunisasi komunikasi di ruang publik sebelum pesan tidak produktif berseliweran di dunia maya.

Emrus Sihombing

Pengamat politik dan komunikasi dari Universitas Pelita Harapan (UPH)

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

Makin Botak, Pertanda Hidup Jokowi Tidak Tenang

Selasa, 16 Desember 2025 | 03:15

UPDATE

Bawaslu Usul Hapus Kampanye di Media Elektronik

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:26

Huntap Warga Korban Bencana Sumatera Mulai Dibangun Hari Ini

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:25

OTT Jaksa Jadi Prestasi Sekaligus Ujian bagi KPK

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:11

Trauma Healing Kunci Pemulihan Mental Korban Bencana di Sumatera

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:42

Lula dan Milei Saling Serang soal Venezuela di KTT Mercosur

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:35

Langkah Muhammadiyah Salurkan Bantuan Kemanusiaan Luar Negeri Layak Ditiru

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:24

Jadi Tersangka KPK, Harta Bupati Bekasi Naik Rp68 Miliar selama 6 Tahun

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:56

Netanyahu-Trump Diisukan Bahas Rencana Serangan Baru ke Fasilitas Rudal Balistik Iran

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:32

Status Bencana dan Kritik yang Kehilangan Arah

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:55

Cak Imin Serukan Istiqomah Ala Mbah Bisri di Tengah Kisruh PBNU

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:28

Selengkapnya