BANYAK kalangan mempertanyakan hak impunity (kekebalan) pejabat pemerintah dalam rangka menyelenggarakan kebijakan stabilitas sistem keuangan, untuk penanganan pandemik corona sebagaimana diatur dalam Pasal 27 (2) dan ayat (3) Perppu No 1 Tahun 2020.
Pada intinya, Perppu tersebut menyatakan, “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perrrndangundanganâ€.
Impunity berasal dari bahasa latin, impunitas bermakna kebebasan dari hukuman, serupa dengan untouchable yang bermakna kebal hukum. Impunity bermakna penyelengara negara memiliki kompetensi untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap penting dalam mewujudkan kehidupan kenegaraan secara cepat, tanpa intimidasi atas ketakutan dari jeratan hukum dan lainnya.
Impunity diberikan oleh negara dalam rangka kebebasan bertindak (diskresi), supaya penyelengara negara/pemerintah dapat melaksanakan kewajibannya dengan bebas, tidak tergantung pada perturan/keputusan yang terkadang terlambat memberikan respons dikarenakan keadaan/kondisi yang tidak dimungkinkan, biasanya dalam kondisi luar biasa yang harus segera ditindaklanjuti, karena jika menunggu sistem birokrasi yang berjenjang dan berbelit-belit, maka tidak cukup waktu untuk menghadapi kondisi sebagaimana dimkasud.
Dalam perspektif kewenangan, jabatan kenegaraan/pemerintahan merupakan alat publik yang harus melaksanakan wewenang dan tugasnya dalam rangka pencapaian perlidungan dan kesejahteraan rakyat yang kadang terganjal dengan rumitnya aturan normaif, sehingga diberikan kebebasan berekspresi (
freiesermessen) sekaligus melekat fungsi
impunity.
Impunity juga dikenal dalam hukum internasional misalnya Deklarasi Wina 1993, Vienna Convention 1961 dll, yang pada prinsipnya pejabat negara, terutama kepala negara yang identik dengan
souvereign immunity terkiat dengan kekebalan hukum. Dengan demikian
impunity ini bukan hanya berlaku dalam lapangan hukum nasional, tetapi juga dalam hukum internasional.
Dalam persepektif hukum nasional,
impunity ini juga dikenal dalam berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya dalam Pasal 10 UU Ombudsman, Pasal 16 UU Advokat, termasuk UU MD3 dan lain-lain.
Jika membaca secara komprehensif makna
impunity dalam Pasal 27 ayat (2) Perppu sebagaimana dimaksud “…tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perrrndang-undanganâ€.
Makna kalimat “tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana†harus dibaca dalam ‘satu napas’/ secara sistematis, dengan kalimat jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perrrndang-undanganâ€, sehingga tidak dapat dituntut dalam hal keadaan menunjukan/mensyaratkan sifat adanya iktikad baik, sedangkan pembuktian itikad baik seyogyanya dilaksanakan di hadapan hakim dalam pengadilan.
Apabila dibaca dalam ranah ‘persamaan dihadapan hukum’atau
equality before the law, maka ‘persamaan di depan hukum harus diartikan secara dinamis. Jika terdapat dua orang bersengketa datang ke hadapan hakim, maka mereka harus diperlakukan sama oleh hakim tersebut (
audi at alteram partem), untuk menunjukan iktikad baik, sehingga tidak secara mutatis mutandis tidak dapat ditunut di hadapan pengadilan.
Berdasarkan hal tersebut, maka yang dimaksudkan tidak dapat dituntut dalam bidang perdata yang mensyaratkan sifat iktikad baik, adalah terkait dengan Pasal 1244 KUHPerdata “Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. Bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada itikat buruk kepadanyaâ€.
Syarat sifat memengaruhi ‘keadaan memaksa’ (
force majeure), terlepas
absolute overmacht atau
relative overmacht, sehingga keadaan tersebut menghalangi pemenuhan prestasi dan ini berlaku untuk semua subjek hukum bukan hanya pelaksana fungsi kenegaraan.
Dalam perspektif pidana, dapat dilihat dalam Pasal 50, 51 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 50 KUHP “Barangsiapa melakukan untuk menjalankan peraturan undang-undang, tidak boleh dihukumâ€. Pengertian ‘tidak bisa dipidana’ masuk ke dalam ranah hakim pengadilan, bukan ranah penuntutan, sehingga harus dibuktikan ke pengadilan, hakim yang berwenang mempertimbangkan Pasal 50 KUHP.
Demikian halnya dengan Pasal 51 ayat (1) harus dibuktkan di pengadilan “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidanaâ€.
Apalagi berkaitan dengan Pasal 51 ayat (2) menyatakan, “perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya". Melekat didalamnya mensyaratkan itikad baik, yang menjadi kewenangan hakim dalam persidangan untuk memberikan penilaian.
Pada prinsipnya Pasal 50, 51 ayat (1) dan ayat (2) KUHPidana berlatarbelakanag alasan pembenar dan alasan pemaaf sebagai dasar penghapusan pidana untuk menghindari kemungkinan penjatuhan pidana yang tidak adil atau pemidaaan yang tidak tepat terhadap orang yang tidak bersalah, dalam hukum pidana juga harus memerhatikan prinsip seseorang tidak dapat dihukum jika tidak memiliki kesalahan (
Geen Straf Zonder Schuld) yang hal itu semata-mata bertujuan untuk menemukan kebenaran materiil.
Perdebatan
impunity juga terkait dengan Pasl 27 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negaraâ€.
Sangat jelas dalam Pasal 49 UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN, karena PTUN tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan: a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian, hak
impunity itu dikenal dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, dan bukan hal yang baru dan/atau mengada-ada diatur dalam Perppu No 1 Tahun 2020, sehingga dalam peraturan perundang-undangan merupakan suatu kelaziman.
Sangat disadari jika Pasal 26 dan 27 dibaca dalam satu napas, maka terkesan ada perlakuan diskriminatif di hadapan hukum, bagi setiap orang yang melanggar Perppu dapat dipidana namun bagi pejabat pelaksanan tidak dapat diajukan kepengadilan baik perdata, pidana, dan PTUN.
Namun sesungguhunya dalam rangka penyelenggaraan fungsi-fungsi kenegaraan merupakan suatu kelaziman memberikan hak
impunity agar tidak ada keraguan dan bergerak cepat melaksanakan tugas dan wewenang penyelenggaraan negara.
Atang IrawanDosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung