Berita

Gurubesar FK Unair, Abdurachman/Ist

Publika

Covid-19 Ancam Dokter Belia, Pentingnya Sikap!

SELASA, 28 APRIL 2020 | 16:55 WIB

DOKTER Michael Robert Marampe dari Manado (25/4) dan dokter Berkatmu Indrawan Janguk (27/4) yang bertugas di Instalalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah dr. Muhamad Soewandhie Surabaya menjadi warning bagi profesi dokter.

Terbuka bukti bahwa dokter yang diintai Covid-19 tidak harus yang berusia hampir sempurna. Covid-19 menghempas para dokter yang masih sangat belia sekaligus dua orang dalam waktu dua hari.

Data terakhir korban dokter meninggal yang dikonfirmasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) akibat Covid-19 berjumlah 24 orang (18/4), sebagian besar mereka terhitung senior.


Apakah usia yang menjadikan dokter memiliki risiko lebih tinggi dari sejawatnya atau bukan, melihat dua orang dokter yang baru meninggal masih baru saja lulus? Artinya baik Michael maupun Indrawan baru memiliki usia yang sangat belia.

Lalu bagaimana prasyarat yang dimajukan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Republik Indonesia yang mengajak partisipasi para dokter untuk mendukung pertahanan negara di bidang kesehatan melalui Indonesia memanggil https://bit.ly/komdukkeskemhan2020.

Kemenhan memasukkan kriteria usia dan beberapa kompetensi; berusia di bawah 40 tahun, memliki profesi dokter, dokter spesialis (Paru, Penyakit Dalam, Radiologi, patologi Klinik, Spesialis Anestesi, Kesehatan Jiwa).

Selain itu, para dokter yang ikut mendaftar harus bersedia mengikuti bimbingan teknis (Bimtek) selama 14 hari di Balai Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Pertahanan.

Sesuai data meninggalnya dua orang dokter sangat belia ini, peran usia perlu dikaji ulang. Atau adakah kriteria lain yang lebih penting?

Dokter sebagai benteng terakhir penanganan medis pandemik Covid-19 memiliki peran yang sangat strategis. Peran strategis bukan semata-mata ditentukan oleh usia, kompetensi, tetapi yang lebih penting adalah sikapnya.

Sikap positif dokter mengantar dirinya tetap sehat dan pasien yang dirawat segera sembuh, sikap negatif mengantar pasien tak mampu bertahan bahkan dirinya bisa menjadi korban.

Dr. Bruno Klopfer pada tahun 1950-an melaporkan contoh kasus limfoma maligna (tumor ganas kelenjar getah bening) yang dirawatnya. Sejumlah tumor besar terdapat di sekujur tubuh pasien. Dada pasien dipenuhi cairan, sulit bernafas. Kondisinya sangat menghawatirkan.

Dalam keyakinan Klopfer pasien itu akan meninggal dalam dua minggu ke depan, jika seluruh perawatan dilepaskan kecuali oksigen. Langkah terakhir yang dilakukan Klopfer adalah menginjeksi pasien dengan Krebiozen. Obat eksperimental yang kemudian diumumkan bahwa obat itu mubazir. Kisah yang digambarkan Klopfer setelah injeksi itu:

“Saya sangat takjub! Saya meninggalkannya dalam keadaan demam, sulit bernafas, kondisinya sangat lemah. Sekarang ia berjalan-jalan di sekitar ruangan-ruangan di rumah sakit. Dengan riangnya berbincang bersama para perawat, membawa pengaruh keceriaan kepada siapa pun yang mau mendengarkan.

Benjolan tumor itu meleleh seperti bola salju di dalam oven. Hanya dalam beberapa hari ukuran tumornya sudah separuh ukuran awal. Pastilah hal ini merupakan penyusutan yang lebih pesat dibandingkan tumor mana pun yang bisa didiagnosis dengan diagnosis tingkat tinggi. Tidak ada perawatan lain selain satu suntikan yang kemudian diketahui sia-sia itu.

Dalam sepuluh hari, praktis tumor itu telah lenyap. Pasien kembali bertugas sebagai pilot penerbangan swasta
”.

Helifax-Grof (1973) mengungkap sebuah kasus. Kasus itu terjadi pada seorang pengacara, usia lima puluh tahunan. Punya tiga orang anak. Sedang di puncak karier. Tubuhnya atletis, tampak kondisi kesehatannya yang bugar. Satu-satunya persoalan adalah sakit perut yang dirasakannya datang dan pergi selama beberapa minggu.

Hasil tes kesehatan tidak ditemukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Tetapi pria itu bersikeras untuk dilakukan scan perut. Sekadar ingin memastikan bahwa tidak ada sesuatu yang berarti di dalam perut. Walau terkesan merasa lebih tahu dari dokter yang merawat, sang dokter mengikuti saja kemauannya.

Betapa terkejut dokter itu ketika menemukan benjolan dalam pankreas. Radiolog mengatakan kemungkinan kanker.

Dengan bijak sang dokter melakukan diskusi dengannya atas beberapa kemungkinan yang bisa ditempuh, termasuk kemungkinan operasi.

“Tak ada operasi”, pasien itu menyanggah sang dokter dengan penuh hormat. “Tak ada gunanya, tak seorang pun selamat dari kanker pankreas,” katanya.  

Dokternya kembali menjelaskan bahwa kesimpulannya belum sepenuhnya benar. Meskipun data statistik belum menggembirakan, namun sebagian penderita berhasil selamat. Walau demikian, informasi radiolog bukanlah diagnosis pasti. Masih diperlukan serangkaian pemeriksaan untuk memperoleh hasil akurat.

Hari itu juga pasien itu minta dimasukkan rumah sakit. Ia terlihat ketakutan. Apa pun informasi yang ditujukan untuk membuatnya tenang seolah tak berguna. Tatapannya hampa. Ia enggan bicara kepada siapa pun.

Di malam hari ketika sang dokter berkunjung, pasien itu dalam keadaan terbaring kaku. Rahangnya mengencang, alis matanya mengerut. Informasi tentang hasil tes darahnya yang normal, tidak membuatnya berubah. Ia tidak peduli. Lalu, keesokan harinya sang dokter telah menemukannya meninggal di atas pembaringannya.

Sikap positif Klopfer meyakinkan pasien untuk sembuh dengan hanya satu suntikan mengantar pasien selamat dari tumor yang “pasti” membawanya meninggal tak lebih dari dua minggu. Sikap dokter sebagaimana yang dikisahkan Helifax-Grof, tak mampu mengunkit keyakinan pasien, sikap demikian mengantar pasien segera “pulang” sebelum waktunya.

Melihat begitu pentingnya peran sikap positif para dokter, maka sangat perlu ditambahkan persyaratan bahwa dokter yang berpartisipasi harus memiliki sikap positif yang tinggi. Atau di dalam Bimtek perlu ditambahkan materi peningkatan sikap positif.

Sikap positif dokter merupakan “penentu” apakah pasien Covid-19 mampu bertahan atau harus meninggal. Sikap positif sangat penting dimiliki para dokter untuk menjaga pasien covid, terlebih untuk menjaga dirinya agar selamat.

Abdurachman

Gurubesar FK Unair, yang juga Dewan Pakar IDI Jatim, peneliti Anatomy of Personality, dan President Asia Pacific International Congress of Anatomist-6

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

UPDATE

Perbankan Nasional Didorong Lebih Sehat dan Tangguh di 2026

Senin, 22 Desember 2025 | 08:06

Paus Leo XIV Panggil Kardinal di Seluruh Dunia ke Vatikan

Senin, 22 Desember 2025 | 08:00

Implementasi KHL dalam Perspektif Konstitusi: Sinergi Pekerja, Pengusaha, dan Negara

Senin, 22 Desember 2025 | 07:45

FLPP Pecah Rekor, Ribuan MBR Miliki Rumah

Senin, 22 Desember 2025 | 07:24

Jaksa Yadyn Soal Tarik Jaksa dari KPK: Fitnah!

Senin, 22 Desember 2025 | 07:15

Sanad Tarekat PUI

Senin, 22 Desember 2025 | 07:10

Kemenkop–DJP Bangun Ekosistem Data untuk Percepatan Digitalisasi Koperasi

Senin, 22 Desember 2025 | 07:00

FDII 2025 Angkat Kisah Rempah Kenang Kejayaan Nusantara

Senin, 22 Desember 2025 | 06:56

Polemik Homebase Dosen di Indonesia

Senin, 22 Desember 2025 | 06:30

KKP Bidik 35 Titik Pesisir Indonesia Buat KNMP Tahap Dua

Senin, 22 Desember 2025 | 05:59

Selengkapnya