KONDISI ekonomi semakin hari semakin melemah terjadi di Indonesia sejak periode kedua Bapak Jokowi menjabat sebagai presiden, dan kondisi ini diperparah lagi dengan munculnya virus covid-19 yang telah mengakibatkan terpuruknya kinerja perekonomian Indonesia.
Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 diproyeksikan turun di angka 2,3 persen bahkan dimungkinkan terpuruk sampai negatif (minus), rasio utang sakarang pada PDB sebesar 36,53 persen.
Terpuruknya perekonomian nasional tersebut merupakan beban yang sangat berat bagi pemerintah, dunia usaha, industri dan masyarakat.
Krisis yang diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terlihat selama periode Januari dan ditambah lebih para lagi dengan mewabahnya Covid-19 di mana tingkat penularanya semakin masif membuat Rupiah terjun bebas diangka 16.000 rupiah per dolar AS.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami depresiasi yang tinggi dibandingkan dengan nilai tukar pada periode-priode sebelumnya, dampak melemahnya rupiah telah meluas ke berbagai sektor kehidupan. sektor yang secara langsung dipengaruhi oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ini adalah kenaikan harga barang impor , baik barang jadi maupun bahan baku industri.
Pandemik corona dan ancaman krisis ekonomi itulah yang kini di depan mata. Untuk itu, pemerintah sekarang mengambil kebijakan satu paket, antara penanganan pandemi corona dengan antisipasi terjadinya krisis ekonomi. Korban covid-19 yang terus meningkat setiap hari, menyebabkan pemerintah mengeluarkan Perppu 1/2020.
Perppu ini judulnya cukup panjang yaitu, “Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuanganâ€. Atas dasar Perppu ini pemerintah mengubah secara signifikan postur APBN 2020. Orientasi APBN 2020 bukan lagi “penguatan daya saing dan SDM†melainkan pada penanganan wabah corona dan ancaman terhadap perekonomian.
Untuk penanganan pandemi corona sendiri, pemerintah mengalokasikan dana sekitar Rp 405,1 triliun. Rencana alokasi anggarannya adalah sebagai berikut: bidang kesehatan Rp 75 triliun (18,5 persen), jarring pengaman social Rp 110 triliun (27,2 persen), insentif pajak dan KUR Rp 70,1 (17,3 persen), pemulihan ekonomi Rp 150 triliun (37 persen).
Anggaran ini cukup besar karena jumlahnya sekitar 21 persen dari rencana penerimaan negara dari pajak pada tahun 2020 (Rp 1.865,7 triliun).
Perlu diketahui, anggaran ini tidak masuk dalam APBN 2020 sehingga pemerintah perlu mengubah ulang postur APBN 2020. Perubahan postur anggaran APBN 2020 tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) 54/2020 tentang, “Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020â€.
Secara umum, perubahannya adalah sebagai berikut: pendapatan negara dari Rp 2.233,1 triliun menjadi Rp 1.760,8 triliun atau berubah minus 21,1 persen; penerimaan pajak dari Rp 1.865,7 triliun menjadi Rp 1.462,6 triliun atau berubah minus 21,6 persen; PBPB dari Rp 366,9 triliun menjadi Rp 297,7 triliun (-18,9 persen); Hibah Rp 498,7 triliun jadi Rp 498,7 triliun (0 persen); belanja negara Rp 2.540,4 triliun menjadi Rp 2.613,8 triliun (2,9 persen); pusat Rp 1.683,4 triliun jadi Rp 1.851,1 triliun (10,0 persen); dan transfer daerah dari Rp 856,9 triliun menjadi Rp 762,7 triliun (-11,0 persen).
Kemudian total defisit dari dari Rp 307,2 triliun menjadi Rp 852,9 triliun (177,6 persen); pembiayaan utang Rp 351,8 triliun menjadi Rp 1.006,4 triliun (186,1 persen); dan defisit PDB dari 1,76 persen menjadi 5,07 persen.
Kalau melihat perubahan APBN 2020, maka terjadi perubahan yang signifikan. Yang paling mencolok adalah persentase defisit APBN terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) yang mencapai 5,07 persen. Persentase ini jelas melanggar UU Keuangan Negara yang membatasi defisit paling tinggi hanya 3 persen.
Sumber defisit itu terutama karena pendapatan negara diperkirakan turun sekitar 21,1 persen dibandingkan APBN 2020. Penurunan ini karenakan terpuruknya ekonomi sepanjang 2020 akibat dampak dari wabah covid -19. Di samping itu, pemerintah juga memberikan banyak kelonggaran pajak, sehingga penerimaan negara diperkirakan turun sekitar 21,1 persen.
Di tengah penurunan penerimaan, anggaran belanja negara justru mengalami kenaikan sekitar 2,9 persen dibandingkan APBN 2020. Kenaikan ini untuk penanggulangan corona mencapai Rp 405,1 triliun. Karena penerimaan menurun sementara belanja negara meningkat, maka terjadilah defisit anggaran sebesar Rp 852,9 triliun. Ini adalah defisit anggaran terbesar sepanjang sejarah APBN.
Pemerintah menanggulangi defisit yang sangat besar ini dengan menambah utang baru. Utang baru yang direncanakan pada tahun 2020 sebesar Rp 351,8 triliun, namun karena wabah corona meningkat menjadi Rp 1.006,4 triliun.
Utang baru ini sebagian besar dalam bentuk Surat Berhaga Negara (SBN). Awalnya, nilai SBN yang akan diterbitkan hanya senilai Rp 389,3 triliun. Namun karena adanya wabah corona dan antisipasi krisis maka kebutuhannya meningkat menjadi Rp 549,6 triliun atau mengalami kenaikan 41,2 persen.
Hal baru dalam perubahan APBN 2020 adalah munculnya instrumen baru yaitu surat utang dalam rangka wabah covid-19, disebut pandemic bond. Nilainya sekitar Rp 449,8 triliun. Jadi total SBN yang akan diterbitkan mencapai Rp 999,4 triliun.
Rincian perubahan utang baru pemerintah adalah sebagai berikut: jenis utang SBN di APBN 2020 sebesar Rp 389,3 triliun menjadi Rp 549,6 triliun dalam Perppu APBN atau terjadi perubahan 41,2 persen; pinjaman -Rp 37,46 triliun menjadi Rp 6,9 triliun (-118,4 persen); pandemik bond dari 0 menjadi Rp 449,8 triliun; pembiayaan utang dari Rp 351,9 triliun menjadi Rp 1.006,3 triliun (186 persen).
Untuk apa pembiayaan utang sebanyak itu? Alokasi terbesar adalah untuk menutup defisit anggaran sebesar Rp 852,9 Triliun. Sisanya digunakan untuk pembiayaan investasi dan kewajiban penjaminan.
Alokasi selengkapnya dari pembiayaan utang adalah sebagai berikut: pembiayaan defisit dari Rp 307,2 persen di APBN 2020 menjadi Rp 852,9 di Perppu APBN atau mengalami perubahan 177,6 persen; pembiayaan investasi dari Rp 74,2 triliun menjadi Rp 229,3 persen (209 persen); kewajiban penjaminan Rp 0,6 triliun menjadi Rp 0,6 triliun atau tetap; total kewajiban Rp 382 persen menjadi Rp 1.082,8 triliun (183,5 persen); dan penerimaan pinjaman Rp 5,1 triliun menjadi Rp 5,8 persen (13,7 persen).
Kemudian saldo anggaran lebih dari Rp 25 triliun menjadi Rp 70,6 triliun (182,6 persen); jumlah penerimaan Rp 30,1 triliun menjadi Rp 76,4 persen (154 persen); total pembiayaan utang Rp 351,9 triliun menjadi Rp 1.006,4 triliun (186 persen).
Perubahan paling signifikan dari alokasi pembiayaan utang tersebut terdiri dari dua hal. Pertama adalah besarnya defisit anggaran dan kedua adalah membengkaknya pembiayaan investasi. Dalam APBN perubahan tertulis sebesar Rp 229,3 triliun. Ini adalah angka netto, setelah dikurangi penerimaan investasi. Peningkatan pembiayaan investasi terutama dikarenakan masuknya komponen baru yaitu (1) pembiayaan pemulihan ekonomi karena corona sebesar Rp 150 triliun dan (2) pembiayaan lnvestasi Lainnya yang dialokasikan sebesar Rp 168,56 triliun.
Dengan peningkatan pembiayaan utang sebesar Rp 1.006,4 triliun tersebut, maka telah terjadi lonjakan utang sebesar 21,1 persen. Lonjakan terbesar terjadi pada utang dalam bentuk SBN sekitar 24,9 persen. Sehingga Jumlah hutang negara menjadi sebesar 5.784 triliun.
Peningkatan total utang sebesar 21,1 persen tersebut, langsung meningkatkan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 36,53 persen. Angka rasio ini memang masih jauh dari batas maksimal yang diperbolehkan UU Keuangan Negara yaitu 60 persen. Namun, kalau melihat kecenderungannya, peningkatan rasio sebesar 36,53 persen tersebut sudah cukup tinggi, bahkan bergerak naik terus. Artinya alarem keterpurukan ekonomin sudah mulai menyalah.
Peningkatan beban utang tersebut tentu saja berisiko. Paling tidak, pendapatan negara pada APBN untuk masa yang akan datang, akan semakin banyak digunakan untuk membayar utang. Ya, itulah risiko kita sebagai generasi yang akan menangung beban hutang negara yang sangat besar ini.
Selain masalah hutang diatas regulas sebagai dasar perombakan APBN 2020 Menuai kritik yang masif dari berbagai kalangan masyarakat baik ahli hukum, ekonomi dan anggota dewan. Ada satu pasal dalam Perppu nomer 1 tahun 2020 yang di angap tidak sesuai dan melangar konstitusi, adapaun pasal yang di highlight adalah sebagi berikut;
Ketentuan Penutup Pasal 27
1. Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merrrpakan kerrrgian negara.
2. Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Berdasarkan pasal di atas pemerintah, menteri keuangan selaku ketua KKSK, anggota KKSK, seluruh pegawai keuangan, Bank Indonesia, OJK, LPS, dan pejabat lainya. Mereka bisa mengeluarkan kebijalan dengan alasan pengamana perekonomian nasional dalam kondisi pandemi Covid-19, salah satu contoh kebijakab yang mungkin dikeluarkan adalah penalangan kepada lembaga keuangan yang berpotensi bangkrut, dan anggaran tersebut sudah di persiapkan sebesar Rp 150 triliun, kebijakan yang dikeluarkan tersebut apabila dalam prosrsnya ada masalah atau menyalahgunakan kekuasaan abuse of power, mereka tetap tidak bisa dikenai hukuman. Alias KEBAL HUKUM. Dengan PERPPU No 1 tahun 2020 mereka memiliki kekebalan hukum. Inilah yang diangap oleh publik sebagai kepentingan oligarki.
Selain itu, juga pemerintah dengan penerbitan Perppu 1/2020 ditengarai telah membajak fungsi-fungsi DPR RI, dimana dalam proses pembuatan perppu tersebut fungsi legislasi, controling, dan budgeting nyaris tidak diberi ruang untuk ikut andil dalam proses pembuatannya.
Hal ini tidak sesuai dengan UU 12/2011 pasal 52 ayat 1 yang berbunyi “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikutâ€.
Di sisi lain pasca penetapan perppu ketelibatan DPR RI dalam hal pengawasan juga tidak berarti, karena tidak bisa mengevaluasi kerja pemerintahan dibidang keuangan, karena di Perppu 1/2020 ada pasal 27 yang secara eksplisit menyatakan kekebalan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan dibidang keuangan. Ini menunjukan betapa otoriternya pemerintahan sekarang.
Maka, menjadi lumrah ketila publik melakukan protes secara masif karena perppu ini dinilai caacat secara hukum, karena melangar UUD pasal 27 atat 1 yang mengatakan bahwa; â€Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Qomaruddin
Kepala Biro Pembangunan Desa dan Daerah Tertinggal DPP Partai Demokrat