Berita

Ilustrasi/Net

Publika

Kemerdekaan Pers Dan Cek Kosong RUU Cipta Kerja

SABTU, 18 APRIL 2020 | 21:41 WIB | OLEH: WINA ARMADA SUKARDI

DEWAN Pers pada tanggal 16 April lalu mengeluarkan pernyataan pers. Salah satu isi menyatakan menolak pembahasan RUU Cipta Kerja khususnya adanya upaya perubahan terhadap Pasal 11 dan Pasal 18 UU 40/1999 tentang Pers.

Proses pembahasan RUU Hak Cipta Kerja sendiri belum ada tanda-tanda ditunda.

Dibandingkan dengan Undang-Undang (UU) lain. Undang-undang Pers mempunyai tiga karakteristik khas yang berbeda.

Pertama, Undang-undang (UU) Pers memberikan perlindungan memadai terhadap kemerdekaan pers. Hal ini dapat dilihat dari ketegasan UU Pers yang melarang adanya sensor dan tidak boleh ada izin apapun terkait pemberitaan. Bagi yang menghalang-halangi tugas pers, diancam hukuman. Kemudian wartawan yang sedang melaksanakan tugasnya dilindungi oleh hukum.

Kedua, UU Pers bersifat swaregulasi. Artinya, semua peraturan di bidang pers diatur oleh masyarakat pers sendiri.

Ketiga, UU Pers lugas  mengatur, tidak ada pintu apapun bagi pemerintah untuk melakukan  intervensi kepada pers. UU Pers satu-satunya perundangan yang tidak memberikan ruang buat hadirnya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai penjabaran pelaksanaan UU.

Bukti Sejarah​

Rumusan UU Pers  seperti itu tidak terlepas dari latar belakang perkembangan kemerdekan pers di Indonesia. Dari sejarah telah terbukti, siapapun pemerintah yang berkuasa, cenderung melakukan intervensi kepada pers, terutama  melalui pintu regulasi.

Oleh sebab itu, pada proses pembuatan UU Pers yang lahir di awal era reformasi, masyarakat pers tegas menolak bentuk campur tangan apapun dari pemerintah, termasuk kemungkinan adanya regulasi melalui PP. Kala itu munculnya  PP untuk melaksanakan UU Pers dikhawatirkan mereduksi makna kemerdekaan pers, seperti telah bertbukti pada semua  pemerintahan sebelumnya.

Masyarakat pers sendiri menyadari, sebenarnya  UU Pers sudah memerlukan sejumlah  penyempurnaan. Hanya saja, selama ini masyarakat pers tidak yakin,  jika UU Pers direvisi ke DPR hasilnya akan lebih sempurna sebagaimana diharapkan.

Ada kecemasan revisi UU Pers di tangan DPR, memasukan banyak kepentingan politik, sehingga UU Pers justeru menjadi  lebih buruk. Itulah sebabnya masyarakat pers sampai sekarang sepakat, belum waktunya UU Pers direvisi.

UU Pers dipandang sebagai salah satu produk regulasi era reformasi yang masih murni. Di tengah berbagai kekurangannya, UU Pers masih dinilai “sakral.”

Kini lewat metode omnibus law, RUU Cipta Kerja “menyentuh” UU Pers. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah  rencana revisi  UU Pers melalui  RUU Cipta Kerja akan  lebih mendorong kemajuan usaha pers, ataukah justru akan menghambat kemerdekaan pers?

Salah satu prinsip utama RUU Cipta Kerja meneguhkan asas, otoritas tertinggi penyelenggaraan negara berada di tangan pemerintah pusat, dalam hal ini presiden. Semua peraturan harus tunduk dan sinkron kepada pemerintah pusat dan karenanya tidak ada peraturan yang boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat. Tak heran dalam  RUU ini  sampai ada 489 PP yang harus dibuat.

Menghapus Izin berbelit

Mekanisme omnibus law mengintegrasikan berbagai peraturan perundang-undangan dengan membuat norma, standar dan ketentuan baru yang “seragam,” agar semuanya menjadi sinkron. RUU Cipta Kerja ingin menghilangkan birokrasi dan izin yang berbelit-belit, bahkan izin-izin dan yang tidak perlu, langsung dipangkas.

Di samping itu, diperjelas antara pidana administratif dan pidana penjara sebagai “ultimum remedium” (pidana penjara sebagai jalan terakhir). Berangkat dari sinilah RUU Cipta Kerja masuk juga ke dalam UU Pers. Tujuannya agar usaha pers dapat lebih berkembang melalui kemungkinan adanya investasi.

Ada dua cara RUU Cipta  Kerja  masuk ke UU Pers, yaitu cara tidak langsung dan cara langsung. Disebut cara tidak langsung, karena  RUU Cipta Kerja mengubah peraturan di bidang lain, tetapi dampaknnya ke bidang pers.

Misalnya ketentuaan tentang badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang semula modal dasarnya Rp 50 juta, nanti dibebaskan tanpa batas modal minimal lagi. Dengan begitu perusahan pers yang berbentuk PT otomatis juga  tidak perlu memiliki modal minimal Rp 50 juta lagi.

Sedangkan cara langsung, merevisi langsung tiga hal di  UU Pers. Pertama, sesuai dengan ketentuan di bidang lain, ancaman sanksi  di bawah satu tahun diganti dengan sanksi pidana  denda.

Jumlah sanksi denda administratif diseragamkan menjadi Rp 2 miliar, baik untuk masyarakat (yang melakukan penyensoran dan menghambat atau menghalangi kemerdekaan pers) maupun untuk pihak pers (yang melanggar melanggar  norma agama, kesusilaan dan asas praduga tidak bersalah serta hak jawab).

Pada UU Pers yang sekarang,  masing-masing denda Rp 500 juta. Kesamaan jumlah sanksi Rp 2 miliar untuk masyarakat dan pers merupakan penerapan asas resiprokal atau timbal balik  atau kesetaraan antara masyarakat dan pers.

Dari aspek ini penambahan jumlah denda tidak begitu bermasalah dan justeru menuntut pers untuk lebih profesional.

Kedua, perubahan pola investasi. Dalam UU Pers modal asing boleh masuk melalui pasar modal tapi tidak boleh menjadi pemegang saham mayoritas. Ketentuan ini diubah oleh RUU Cipta Kerja dengan membolehkan modal asing yang masuk melalui pasar modal menjadi mayoritas.

Mekanismenya diatur melalui PP. Meskipun ketentuan ini menabrak “kesakralan” UU Pers yang sebelumnnya tidak mengenal adanya PP, namun ruang gerakannya masih di area investasi korporasi.

Kontradiktif

Ketiga, perubahaan pengenaan sanksi buat pers. Melalui RUU Cipta Kerja, pemerintah kembali diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif  kepada pers. Lebih hebat lagi, kewenangan pemerintahkan menjatuhkan sanksi itu diberikan melalui “cek kosong.”

Pada UU Pers sekarang, perusahaan pers yang melanggar administrasi soal badan hukum dan pencantuman nama, alamat dan penanggung jawab, diancam dengan denda Rp 100 juta. Ketentuan  ini  dalam RUU Cipta Kerja diubah dengan hanya menyebut  “dijatuhkan sanksi administratif” yang jenis, besaran denda, tata cara dan mekanisme administratifnya diatur PP. Ketentuan inilah di bidang pers yang menjadi  kontroversial dan ramai diperdebatkan.

Walaupun disebut sebagai “sanksi admnistratif” tetapi dapat menjadi pasal karet yang merembet kemana-mana.  Pers Indonesia punya pengalaman soal Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang semula bersifat admnistratif namun dalam praktik berubah menjadi senjata mematikan bagi pers. SIUPP dijadikan pemerintah alat pembredelan  sekaligus pembungkaman buat pers.

Tentu pengalaman buruk sejarah pers Indonesia itu tidak boleh diulang. Dari sudut pandang ini, pemberian sanksi kepada pers oleh pemerintah melalui pasal cek kosong dalam RUU Cipta Kerja dapat menggangu pelaksanaan kemerdekaan pers, karena dapat diisi apapun sesuai kehendak pemerintah yang berkuasa.

​Metode omnibus law RUU Cipta Kerja  ingin menyingkirkan perizinan yang tidak perlu, berbelit-belit, dan tumpang tindih serta dapat cepat dilaksanakan. UU Pers sendiri sesungguhnya sudah memenuhi semua prinsip itu.

Maka kalau UU Pers tidak diubah sekalipun, tetap sama sekali  tidak mengganggu tujuan RUU Cipta Kerja, bahkan dalam keadaan yang seperti sekarang UU Pers mendukung RUU Cipta kerja.

Kalau UU Pers harus tetap  direvisi, dengan memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah untuk menjatuhkan sanksi terhadap pers, justru menjadikan RUU Cipta Kerja menjadi lebih rumit sekaligus kontradiktif dengan tujuan yang ingin dicapai oleh RUU Cipta Kerja sendiri.

Kalau memang soal sanksi administratif UU Pers mau tetap harus direvisi dari aspek ini, solusinya sederhana saja. Tetapkan saja ancaman sanksi denda bersifat konkrit dengan menyebut nilai nominal buat pers yang melanggar ketentuan itu. Misalnya juga denda Rp 2 miliar. Tapi jangan berikan cek kosong kepada pemerintah sebagaimana pernah terjadi pada sejarah pers di masa lalu.

Penulis adalah Ketua Komisi Hukum dan Perundangan Dewan Pers 2010-2017

Populer

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Jokowi Kena Karma Mengolok-olok SBY-Hambalang

Jumat, 07 Februari 2025 | 16:45

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Alfiansyah Komeng Harus Dipecat

Jumat, 07 Februari 2025 | 18:05

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

Pengamat: Bahlil Sengaja Bikin Skenario agar Rakyat Benci Prabowo

Selasa, 04 Februari 2025 | 14:20

UPDATE

Dirjen Anggaran Kemenkeu Jadi Tersangka, Kejagung Didesak Periksa Tan Kian

Sabtu, 08 Februari 2025 | 21:31

Kawal Kesejahteraan Rakyat, AHY Pede Demokrat Bangkit di 2029

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:55

Rocky Gerung: Bahlil Bisa Bikin Kabinet Prabowo Pecah

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:53

Era Jokowi Meninggalkan Warisan Utang dan Persoalan Hukum

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:01

Tepis Dasco, Bahlil Klaim Satu Frame dengan Prabowo soal LPG 3 Kg

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:50

Dominus Litis Revisi UU Kejaksaan, Bisa Rugikan Hak Korban dan tersangka

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:28

Tarik Tunai Pakai EDC BCA Resmi Kena Biaya Admin Rp4 Ribu

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:16

Ekspor Perdana, Pertamina Bawa UMKM Tempe Sukabumi Mendunia

Sabtu, 08 Februari 2025 | 18:41

TNI AL Bersama Tim Gabungan Temukan Jenazah Jurnalis Sahril Helmi

Sabtu, 08 Februari 2025 | 18:22

Penasehat Hukum Ungkap Dugaan KPK Langgar Hukum di Balik Status Tersangka Sekjen PDIP

Sabtu, 08 Februari 2025 | 17:42

Selengkapnya