WALISONGO atau Wali-9 (jumlahnya 9 orang) adalah para ulama di Nusantara yang sangat berjasa terhadap berkembangnya Islam di tanah Jawa.
Banyak sekali cerita tentang Walisongo khususnya yang berkembang di masyarakat Jawa dibumbui bahkan didominasi oleh mitos. Tulisan ini mencoba melihatnya dari perspektif politik yang bertumpu pada data-data historis.
Sebelum kita memasuki wilayah politk, perlu dijawab terlebih dahulu siapa sebenarnya Walisongo, dan dari mana asal-muasalnya?
Dari penelusuran sejarah ternyata muncul banyak versi tentang Walisongo, dan dari berbagai versi tersebut yang paling rasional dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah adalah versi yang dibuat oleh peneliti dan antropolog dari Universitas Utrecht, berkebangsaan Belanda bernama Martin Van Bruinessen yang telah membandingkan hasil penelitiannya dengan tulisan Gubernur Jenderal Inggris Thomas Standford Raffles dalam buku 'History of Java' dan tulisan Sayyid Alwi bin Tahir bin Abdallah Al Haddar Al Haddad dalam bukunya 'Sejarah Islam di Timur Jauh'.
Dikisahkan bahwa cerita tentang Walisongo berawal dari seorang ulama pengembara bernama Syekh Jumadil Kubro alias Jamaluddin Hussein Al Akbar alias Sayyid Hussein Jumadil Kubro berasal dari Samarkand, Uzbekistan, di Asia Tengah.
Ia diyakini sebagai turunan ke-10 dari Husein cucu Rasulullah, dan kakek buyutnya berasal dari Hadramaut, Yaman bernama Muhammad Shohib Mirbath yang bergaris keturunan ke Imam Jafar Shodiq.
Meskipun demikian, Samarkand diduga bukan tempat aslinya, meskipun ia sempat menetap di sini dalam rentang waktu yang panjang. Pada saat itu Samarkand merupakan salah satu pusat pendidikan dan pusat ilmu, sehingga wajar para ulama suka berkumpul dan menetap di kota ini.
Bukhara asal Imam Bukhari dan Termez asal Imam At Tirmizi berada tidak jauh dari Samarkand, dan sampai sekarang merupakan bagian dari negara Uzbekistan.
Jamaluddin Hussein Al Akbar lahir sekitar tahun 1270 sebagai putera Ahmad Syah Jalaluddin, bangsawan dari Nasrabad di India.
Setelah tidak lagi menjabat sebagai Gubernur Deccan di India, Jumadil Kubro mengembara ke berbagai belahan dunia untuk berdakwah. Ia mengembara sampai ke Maroko, Kelantan (Malaysia), Jawa (era Majapahit) dan akhirnya sampai ke Gowa di Sulawesi Selatan. Dia wafat dan dimakamkan di Trowulan sekitar tahun 1376 masehi, namun versi lain mengatakan bahwa ia dimakamkan di Wajo.
Semasa di Maroko, Sayyid Hussein Jumadil Kubro menikah dengan anak bangsawan setempat yang melahirkan Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Malik Maghribi yang kemudian dikenal dengan Sunan Gresik.
Sewaktu di Samarkand, dia menikah dengan putri bangsawan Uzbekistan dan lahirlah Ibrahim Zainuddin Al Akbar As Samarkandi alias Ibrahim Asmorokandi. Orang Asia Tengah memiliki ciri hidung tidak terlalu mancung, mata agak sipit, dan warna kulit kuning.
Ibrahim Asmorokandi lalu dibawa berdakwah ke Champa (bagian dari Vietnam sekarang), kemudian menikah dengan puteri dari Champa dan lahirlah cucu Jumadil Kubro yaitu Sunan Ampel, yang menjadi ayah dari Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Cucu satunya lagi dari puteri Champa adalah Maulana Ishaq yang menjadi ayah dari Sunan Giri dan kakek dari Sunan Kudus.
Kesultanan Champa yang beragama Islam kemudian dikalahkan oleh Kerajaan Vietnam, dan mengusir penduduknya yang kemudian mendapatkan perlindungan dan menetap di Kamboja sampai saat ini.
Ketika berada di Kelantan, Jumadil Kubro menikah juga dengan puteri Raja Chermin. Cicitnya adalah Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati. Sementara Sunan Muria dan ayahnya Sunan Kalijaga merupakan famili jauh.
Disamping melahirkan para ulama, keturunan Jumadil Kubro juga melahirkan raja-raja atau para Sulthan di kawasan Asia Tenggara dari Patani (Thailand), Malaysia, Mindanao (Philippina), sampai ke Indonesia.
Bila disederhanakan, maka seluruh wali yang dikenal dengan Walisongo memiliki hubungan darah atau tali-temali kekeluargaan. Walaupun peradaban Islam waktu itu sudah sangat maju, akan tetapi secara politik mengalami decline baik di Andalusia (di Barat), maupun di Timur.
Bagdad telah dihancur-leburkan oleh tentara Mongol. Meskipun tumbuh kesultanan-kesultanan baru di kawasan Asia Tengah. Sementara Kesulthanan Turki Usmani baru mulai tumbuh. Karena itu sangat wajar jika dakwah dikembangkan melalui jalur perdagangan atau bisnis.
Strategi dakwah di tanah Jawa mulai berubah, ketika Jimbun mendirikan Kesultanan Demak yang menjadi Kesultanan Islam pertama di tanah Jawa. Jimbun adalah anak Prabu Brawijaya dengan istrinya asal Champa yang beragama Islam.
Putri Champa ibu Jimbun merupakan bagian dari keluarga besar Walisongo, itulah sebabnya Jimbun kemudian dititipkan dan dididik oleh Sunan Ampel, bahkan kemudian diangkat sebagai menantu.
Karena itu dukungan politik yang diberikan Walisongo terhadap berdirinya Kesultanan Demak, dapat dikatakan sebagai perubahan strategi dakwah dari jalur perdagangan ke jalur politik, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan kekeluargaan yang dimilikinya tentu ikut mempengaruhinya.
Selanjutnya Jimbun mendeklarasikan dirinya sebagai Sulthan dengan gelar Raden Fatah, pada saat ketika Kesultanan Turki Usmani mencapai prestasi yang gemilang, dengan mengalahkan Bizantium, kemudian mengubah mengubah nama kota Konstantinopel menjadi Istanbul pada tahun 1453. Sulthan Muhammad yang memimpin penyerbuan itu kemudian mendapat gelar Al Fatih (Sang Pembuka/Sang Pemenang/Sang Penakluk).
Demak berdiri tahun 1500 M, berarti hanya 47 tahun sesudah Muhammad Al Fatih mengalahkan Bizantium. Maka dengan mudah dapat diduga bahwa julukan Raden "Fatah" yang akar katanya sama dengan Al "Fatih" dalam Bahasa Arab, dipengaruhi atau terinspirasi oleh prestasi politik Turki Usmani.
Selanjutnya sulthan-sulthan di tanah Jawa dan Nusantara pada umumnya membangun hubungan politik, militer, dan perdagangan dengan Turki Usmani yang terus memimpin dunia Islam sampai pada perang dunia pertama.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.