Berita

Salamuddin Daeng/Net

Publika

Wabah Corona Ditelikung Darurat Fiskal, Moneter Dan Keuangan

SENIN, 06 APRIL 2020 | 21:39 WIB | OLEH: SALAMUDDIN DAENG

ASLINYA tanpa wabah, APBN, sektor keuangan dan moneter Indonesia menuju kebangkrutan. Akibat ketergantungan pada utang, investasi asing dan barang barang impor. Disertai tata kelola keuangan yang buruk,  ambisi mega proyek, APBN menjadi bancakan, korupsi merajalela dan berbagai bentuk kejahatan ekonomi lainnya. Aslinya Indonesia menuju kebangrutan akibat dari hal-hal di atas.

Pada saat krisis 97/98 masa keadaan  ekonomi krisis telah menjadi peluang moral hazard dan penjarahan kekayaan dan keuangan negara oleh segelintir elite. Memang rumus penjarahan dari dulu sama yakni dengan cara ciptakan krisis (Aksi) , ciptakan kepanikan (Reaksi), munculkan skema perampasan kekayaan dan keuangan negara (Solusi). Contohnya krisis 98 itu tadi. Bangsa Indonesia tak berkutik dijarah oligarki taipan dan asing.

Sekarang ada wabah corona, dan telah dimanfaatkan pemerintah sebagai peluang besar untuk menetapkan keadaan darurat, mulai darurat wabah, darurat bencana, atau darurat lainnya.

Pokoknya darurat sebagai alasan membuat hukum darurat. Kalau hukum darurat maka kekuasaan penuh di tangan pemerintah dalam hal anggaran negara, keuangan negara dan kebijakan moneter.

Nah ! Presiden RI telah memberlakukan Perppu 1/2020  Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona. Perpu ini melibas habis semua  UU yang berkaitan dengan fiskal, APBN serta UU bidang moneter dan keuangan.

Perppu mensentralisasi kewenangan fiskal dan moneter dan keuangan di tangan pemerintah, Menteri Keuangan sangat powerfull. Perppu ini memberi keleluasaan kepada pemerintah dan institusi keuangan dalam membuat kebijakan tanpa bisa dituntut secara hukum, dan hanya bisa dipersoalkan melalaui peradilan Tata Usaha Negara.

Perppu ini berisikan tentang kebijakan kelonggaran fiskal tanpa batas kepada pemerintah dalam mencari anggaran, dan mengalokasikannya suka suka pemerintah. Menabrak UUD tentang kewenangan lembaga negara, dan menabrak berbagai UU keuangan negara, perpajakan, otonomi daerah dan lainnya.

Perppu ini memberi kelonggaran tanpa batas untuk mengambil utang dan mengalokasikan anggaran. Perppu memberlakukan defisit angaran di atas 3 persen dari PDB untuk menutup kekurangan APBN melalui pembiayaan atau utang.

Defisit diatas 3 persen ini bisa 10 persen, bisa juga 20 persen, tidak ada batasnya. Selama ini hanya boleh 3 persen GDP menurut UU keuangan negara.

Perppu memberi kelonggaran tanpa batas kepada pemerintah mengambil utang. Pemerintah akan menerbitkan obligasi untuk dibeli BI di pasar perdana (mungkin sudah dilakukan). Harganya ditentukan suka-suka penerintah karena langsung dibeli BI.

Ini jelas BLBI jilid II, melalui skema pembelian obligasi pemerintah di Pasar perdana oleh Bank Indonesia. Artinya harga obligasi pemerintah ditentukan oleh menteri keuangan atau harga suka menteri keuangan dan BI.

Perppu ini akan menjadi dasar hukum untuk memberikan dana talangan kepada bank-bank dan lembaga keuangan non bank, asuransi yang akan kolaps pada tahun 2020-2021 sebagaimana perkiraan banyak analis jauh sebelum corona.

Kondisi keuangan nasional yang buruk akibat korupsi dan praktik keuangan yang buruk oleh lembaga keuangan baik bank, non bank dan asuransi.

Perppu menjadi alasan untuk meloloskan penggunaan anggaran pajak rakyat sukasuka Menteri Keuangan,  tanpa pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dengan demikian DPR tidak lagi memiliki hak budgeting dan pengawasan. Semua kebijakan alokasi angaran dibebaskan dari audit sebagaimana mestinya dan dibebaskan dari segala gugatan pidana.

Perppu ini bukan menjawab masalah korona atau menjawab masalah kemanusian akibat wabah. Perppu ini merupakan landasan hukum dalam menumpuk utang pemerintah, mengganjal APBN dari kebangkrutan akibat korupsi.

Selain itu, Perppu ini juga untuk menolong oligarki ekonomi nasioanal yang tengah sekarat akibat praktik keuangan yang kotor yang dilakukan bersama oligarki kekuasan yang korup.

Penulis adalah peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Populer

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Jokowi Kena Karma Mengolok-olok SBY-Hambalang

Jumat, 07 Februari 2025 | 16:45

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Alfiansyah Komeng Harus Dipecat

Jumat, 07 Februari 2025 | 18:05

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

Pengamat: Bahlil Sengaja Bikin Skenario agar Rakyat Benci Prabowo

Selasa, 04 Februari 2025 | 14:20

UPDATE

Masyarakat Tidak Perlu Panik, DPR Pastikan Distribusi Gas Melon Lancar

Senin, 10 Februari 2025 | 23:18

Polres Pelabuhan Belawan Tangkap Empat Pelaku Tawuran, Hasil Tes Urine Positif Narkoba

Senin, 10 Februari 2025 | 22:50

Dekatkan Dunia Usaha dengan Mahasiswa, UNHAS Gandeng Asprindo

Senin, 10 Februari 2025 | 22:31

Faizal Assegaf: Raja Kecil itu Bahlil

Senin, 10 Februari 2025 | 22:20

Polda Metro Jaya: Pers Berikan Manfaat Bagi Polisi dan Masyarakat

Senin, 10 Februari 2025 | 22:08

Ketua Komisi V: Anggaran IKN Diblokir Bukan Berarti Dihentikan

Senin, 10 Februari 2025 | 22:02

Jenderal Agus Subiyanto Rotasi 65 Pati, Paling Banyak Matra Angkatan Darat

Senin, 10 Februari 2025 | 21:56

Wariskan Banyak Masalah, Jokowi Harus Diseret ke Penjara

Senin, 10 Februari 2025 | 21:51

Tim Transisi Pramono-Rano Pastikan Warga Tak Terkendala Air Bersih

Senin, 10 Februari 2025 | 21:46

Ted Sioeng Akui Sempat Kabur ke Singapura, Diringkus di China

Senin, 10 Februari 2025 | 21:44

Selengkapnya