Berita

korban virus corona di wuhan/net

Publika

Pembangunan Minus Kemanusiaan

SENIN, 23 MARET 2020 | 18:14 WIB | OLEH: YUDHI HERTANTO

KEMAJUAN menghadirkan dehumanisasi. Kehilangan sentuhan kemanusiaan. Fokus pembangunan adalah pertumbuhan dengan segala aspek turunan yang ditimbulkan.

Kesejahteraan adalah tujuan yang ingin dicapai, dan dinyatakan dalam berbagai mimbar kampanye politik. Praktik yang dihasilkan, kenyataannya tidaklah linier dengan kumandang retorika.

Pada buku Joseph E Stiglitz, Amartya Sen dan Jean Paul Fitoussi, Mengukur Kesejahteraan, 2011, kita dapat memahami bagaimana gembar-gembor pembangunan membawa ilusi dan mimpi dalam cita-cita kesejahteraan. Alih-alih kemakmuran, kita justru terjatuh pada arus dehumanisasi.

Angka-angka disembah layaknya penentu keberhasilan. Padahal, angka-angka kerap dimanipulasi untuk berbagai kepentingan tertentu. Bagi peminat studi ekonomi pembangunan, buku ini jelas sangat penting. Kajian kesejahteraan mengambil porsi terbesar dalam pembahasan pembangunan.

Apakah pembangunan, mampu menjawab kebutuhan substansial bagi manusia? Tantangan yang dimajukan melalui buku ini, adalah ajuan tesis tentang miskonsepsi perhitungan kesejahteraan.

Format tradisional atas ukuran kemakmuran, dilakukan dengan menggunakan indikator tunggal. Nilai Produk Domestik Bruto -PDB sebagai akumulasi dari seluruh total produksi barang dan jasa, menjadi acuan yang kerap disitir.

Rumusan yang dimajukan melalui buku ini, mempergunakan adopsi Indeks Pembangunan Manusia -IPM. Kombinasi kedua orientasi ini memang tidak mudah, PDB berfokus pada aspek produksi, sedangkan IPM terkonsentrasi di sisi individu secara subjektif.

Dengan begitu, format ukuran menjadi meluas, termasuk: pendidikan, kesehatan, aktivitas pribadi, keterlibatan sosial politik, hingga ukuran mikro di level rumah tangga. Angka-angka makro kerap berbohong.

Sejatinya angka numerik, adalah sarana hitung pengukuran. Mewakili aspek kuantitatif yang bebas kepentingan. Hal itu menjadi berbeda, ketika angka-angka mulai dibaca, dipersepsi, dijadikan dasar kebijakan. Terdapat kepentingan disana.

Ukuran kesejahteraan, menurut para penulis ditempatkan pada kerangka makna individu. Diberi sentuhan kualitatif secara subjektif. Indikatornya atas apa yang dirasakan dalam kebutuhan keseharian.

Perdebatan ini, nampaknya sudah lama terjadi. Sejak jaman dulu, Phytagoras sudah berbicara, tentang Universal Matesis, bahwa apa-apa yang tidak terukur tidaklah eksis. Tidaklah sepenuhnya benar.

Terlebih karena keberadaan, bukan tentang dunia di luar sana, tetapi lebih tentang makna kehadiran diri individu. Sekarang, jika setiap hari kita disuguhkan pada angka-angka korban Corona, maka apa artinya? Bergantung kepentingan masing-masing.

Para akademisi dan ilmuwan kemudian berbicara tentang dampak ekonomi, sosial bahkan politik, tetapi luput membaca dampak yang paling hakiki.

Tentang dampak kemanusiaan, serta tentang eksistensi manusia itu sendiri. Akankah kita justru menguatkan ego individu, ataukah bersama-sama mengembangkan basis kemanusiaan dalam menghadapi wabah pandemi?

Lantas, apakah ukuran kesejahteraan, menjadi berguna di situasi yang pelik ini? Para pengguna formula angka-angka dalam merumuskan kebijakan publik, perlu sesekali membayangkan wajah-wajah korban dan keluarganya, di luar soal angka-angka semata.

Penulis sedang menempuh Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Populer

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Kaki Kanan Aktor Senior Dorman Borisman Dikubur di Halaman Rumah

Kamis, 02 Mei 2024 | 13:53

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

Pj Gubernur Jabar Ingin Persiapan Penyelenggaraan Ibadah Haji Sempurna

Kamis, 02 Mei 2024 | 03:58

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

Kantongi Sertifikasi NBTC, Poco F6 Segera Diluncurkan

Sabtu, 04 Mei 2024 | 08:24

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

UPDATE

Eko Darmanto Bakal Didakwa Terima Gratifikasi dan TPPU Rp37,7 M

Senin, 06 Mei 2024 | 16:06

Fahri Hamzah: Akademisi Mau Terjun Politik Harus Ganti Baju Dulu

Senin, 06 Mei 2024 | 15:56

Pileg di Intan Jaya Molor Karena Ulah OPM

Senin, 06 Mei 2024 | 15:56

Gaduh Investasi Bodong, Pengamat: Jangan Cuma Nasabah, Bank Juga Perlu Perlindungan

Senin, 06 Mei 2024 | 15:46

Tertinggi dalam Lima Tahun, Ekonomi RI di Kuartal I 2024 Tumbuh 5,11 Persen

Senin, 06 Mei 2024 | 15:46

Parnas Tak Punya Keberanian Usung Kader Internal jadi Cagub/Cawagub Aceh

Senin, 06 Mei 2024 | 15:45

PDIP Buka Pendaftaran Cagub-Cawagub Jakarta 8 Mei 2024

Senin, 06 Mei 2024 | 15:35

Dirut Pertamina: Kita Harus Gerak Bersama

Senin, 06 Mei 2024 | 15:35

Banyak Pelanggan Masih Pakai Ponsel Jadul, Telstra Tunda Penutupan Jaringan 3G di Australia

Senin, 06 Mei 2024 | 15:31

Maju sebagai Cagub Jateng, Sudaryono Dapat Perintah Khusus Prabowo

Senin, 06 Mei 2024 | 15:24

Selengkapnya